Rabu, 15 Agustus 2018

Mengenal Cacing Lumbricus


Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta dan hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing ini bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.  Jenis-jenis yang paling banyak dikembangkan oleh manusia berasal dari famili Megascolicidae dan Lumbricidae dengan genus Lumbricus, Eiseinia, Pheretima, Perionyx, Diplocardi, dan Lidrillus. Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakkan antara lain : Pheretima, Perionyx, dan Lumbricus.
Cacing tanah jenis  Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih, jumlah segmen sekitar 27-32. Cacing jenis Lumbricus rubellus memiliki keunggulan lebih dibandingkan kedua jenis cacing yang lain diatas, karena produktivitasnya tinggi serta tidak banyak bergerak.
Cacing Lumricus rubellus merupakan salah satu dari sekian banyak species cacing tanah yang ada di muka bumi belakangan ini marak dibicarakan karena banyaknya manfaat yang bisa diberikan dalam kehidupan manusia, mulai dari sebagai pakan ternak, obat, kosmetik, penghasil pupuk organik, pelenyap sampah hingga makanan manusia.
Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi lebih baik. Selain itu, cacing tanah dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan kodok.Banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari cacing tanah menyebabkan prospek usahanya semakin cerah. Khususnya di dunia perikanan cacing  L. rubellus sangat cocok digunakan sebagai pakan untuk induk ikan karena komposisi nutrisinya yang sangat bagus, dimana kandungan proteinnya berkisar antara 64-76%.

Gambar 1. Cacing Lumbricus rubellus


A. Klasifikasi
Kingdom          : Animalia
Phylum            : Annelida
Class               : Clitellata
Order               : Haplotaxida
Family             : Lumbricidae
Genus             : Lumbricus
Species           : Lumbricus rubellus

Palungkung (2010) mengemukakan bahwa cacing tanah adalah nama yang umum digunakan untuk kelompok Oligochaeta, termasuk dalam filum Annelida.  Filum annelida terbagi menjadi tiga kelas sebagai berikut :

1. Polychaeta
Disetiap segmennya terdapat sepasang kaki (parapodia). Jumlah segmennya lebih dari 200 segmen.  Contoh cacing  kelas ini adalah cacing wawo (lysidice oele) dan cacing Palalo (Eunice viridis).
2. Hirudinae
Tubuhnya pipi dan hidup sebagai predator di airlaut dan air tawar.  Memiliki dua alat pengisap makanan yang terletak dibagian anterior (mulut) dan posteriaor (anus).  Contoh cacing dari kelas ini adalah lintah (Hidudo menicinalis)
3. Oligochaeta
Kelas oligochaeta terbagi menjadi 12 famili.  Cacing dari kelas ini disebut dengan cacing tanah.  Beberapa famili yang terkenal adalah Lumbricidae, Acnthrodrilidae, Octochaetidae, dan megascoleidae.

Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, penampakan warna, dan makanan kesukaannya. Cacing lumbricus  masuk dalam kelompok cacing Efigaesis yaitu cacing yang aktif dipermukaan.  Warnanya gelap kotorannya tidak tampak jelas dan tidak membuat lubang saat mengeluarkan kotoran.  Cacing ini memakan serasah dipermukaan tanah dan tidak mencernah tanah.

B. Ciri-ciri Fisik Cacing Lumbricus rubellus
Ciri-ciri fisik cacing tanah antara lain pada tubuhnya terdapat segnmen luar dan dalam, berambut serta mempunyai kerangka luar.  Tubuhnya dilindungi oleh kutikula  (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak seperti kebanyakan binatang, dan tidak memiliki mata.
Cacing tanah tidak memiliki mata tetapi pada tubuhnya terdapat prostomium.  Prostomiumini merupakan organ saraf perasa dan perbentuk seperti bibir.  Organ ini terbentuk dari tonjolan daging yang dapat menutupi lubang mulut.  Prostomium terdapat dibagian depan tubuhnya.  Dengan adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda-benda di sekelilingnya. Itulah sebabnya cacing tanah dapat menemukan bahan organik yang menjadi makanannya walaupun tidak punya mata.

C. Perkembangbiakan cacing tanah
Cacing tanah termasuk hewan hermaprodit, yaitu memiliki alat kelamin jantan dan betina dalam satu tubuh. Namun demikian, untuk pembuahan, tidak dapat dilakukannya sendiri. Dari perkawinan sepasang cacing tanah, masing-masing akan dihasilkan satu kokon yang berisi telur-telur. Kokon berbentuk lonjong dan berukuran sekitar 1/3 besar kepala korek api. Kokon ini diletakkan di tempat yang lembab. Dalam waktu 14-21 hari kokon akan menetas. Setiap kokon akan menghasilkan 2-20 ekor, rata-rata 4 ekor. Diperkirakan 100 ekor cacing dapat menghasilkan 100.000 cacing dalam waktu 1 tahun. Cacing tanah mulai dewasa setelah berumur 2-3 bulan yang ditandai dengan adanya gelang (klitelum) pada tubuh bagian depan. Selama 7-10 hari setelah perkawinan cacing dewasa akan dihasilkan 1 kokon.

D. Anatomi Cacing Tanah
Tubuh cacing tanah sebagian besar terdiri dari air dan tersusun atas segmen-segmen (sekitar 95 segmen) yang dapat menyusut dan meregang untuk membantu cacing bergerak di dalam tanah. Cacing tanah tidak memiliki tulang, gigi, mata, telinga atau kaki. Cacing tanah memiliki lima jantung.
Cacing tanah memiliki organ perasa yang sensitif terhadap cahaya dan sentuhan (reseptor sel) untuk membedakan perbedaan intensitas cahaya dan merasakan getaran di dalam tanah. Selain itu, mereka juga memiliki kemoreseptor khusus yang bereaksi terhadap rangsangan kimia. Organ- organ perasa pada cacing tanah terletak di bagian anterior (depan/muka).
Kepala cacing tanah terletak pada bagian yang paling dekat dengan clitellum. Mereka biasanya bergerak searah bagian kepala menghadap saat berpindah tempat. Clitellum adalah segmen pada cacing tanah (mirip korset) tempat kelenjar sel. Fungsinya untuk membentuk kokon (kepompong) dari sekresi lendir dimana sel-sel telur akan diletakkan nantinya di dalam kokon ini.
Selama periode kekeringan, beberapa spesies cacing tanah akan kehilangan ciri-ciri seksual sekunder untuk sementara, seperti hilangnya clitellum. Saat keadaan membaik, clitellum akan terbentuk kembali. Clitellum juga bisa menghilang pada usia tua. Cacing tanah bernapas dengan kulit mereka yang tipis. Kulit cacing harus tetap lembab sepanjang waktu untuk memungkinkan untuk menghirup oksigen yang sangat dibutuhkan.
Oksigen yang masuk lewat kulit akan diikat oleh hemoglobin dalam darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh. Jika kulit mereka mengering, cacing tanah akan mati lemas. Kulit cacing tanah sangat sensitif terhadap cahaya matahari langsung ataupun suhu panas yang dapat membuat kulit mereka kering. Cacing tanah adalah hewan berdarah dingin (poikiloterm), mereka tidak mampu menghasilkan panas tubuh. Suhu tubuh mereka  dipengaruhi oleh suhu lingkungan.

E. Makanan Cacing Tanah
Dalam kondisi tepat, cacing tanah dapat makan sebanyak berat tubuh mereka per harinya. Sebagai contoh, 1 kg cacing tanah dapat makan 1 kg makanan setiap hari. Namun disarankan untuk memberikan makanan setengah dari berat tubuh cacing di awal pemeliharaan untuk selanjutnya disesuaikan dengan kemampuan makan cacing. Jika makanan terlalu banyak, tempat pemeliharaan akan menjadi bau karena cacing tidak dapat memproses semua makanan sebelum makanan membusuk. Terlalu sedikit, cacing akan kelaparan.
Cacing tanah akan makan apa saja yang bersifat organik yang dapat diuraikan dan harus lembab. Cacing tanah tidak bisa makan makanan kering. Makanan dicerna dalam ampela, yang bertindak seperti gigi untuk menggiling makanan. Usus memecahnya lebih lanjut dan keluar sebagai kotoran (castings) yang sangat bermanfaat bagi tanaman.


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kabupaten Banyuwangi


Rabu, 08 Agustus 2018

MENCEGAH RESIKO HIGIENE


A. Pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan
Peralatan dalam usaha pengolahan makanan terbagi dalam empat bagian besar, yaitu peralatan pemanas, peralatan pengolahan, peralatan penyimpanan makanan, dan peralatan yang membantu pengolahan. Peralatan ditentukan oleh menu. Dengan dasar ini maka akan terhindar dari pemilikan peralatan yang tidak perlu atau jarang digunakan. Pilihlah peralatan yang mudah dibersihkan. Peralatan makanan, meliputi piring, gelas, sendok, pisau, dan garpu. Peralatan dapat berupa peralatan kaca (china ware), logam (metal ware) atautembikar (ceramic ware). Peralatan masak, meliputi kuali, wajan, dandang,serokan, pisau, talenan, oven, dan lain-lain. Dengan menjaga kebersihan peralatan makan dan masak, telah mambantu mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi makanan yang dapat terjadi karena peralatan yang digunakan. Mencuci berarti membersihkan atau membuat menjadi bersih. Pengertian bersih secara awam bersifat relatif, artinya tidak sama ukurannya bagi setiap orang, waktu, tempat, atau keadaan. Higiene berarti memenuhi persyaratan bersih yang telah diakui berdasarkan persyaratan bersih. Pengertian higienis bersifat umum atau universal, artinya berlaku sama untuk setiap orang, waktu atau keadaan.

Gambar. Peralatan pada Perusahaan Perikanan (Sumber : https://tphpi.files.wordpress.com )

B. Teknik pencucian
Teknik pencucian yang benar akan memberikan hasil akhir pencucian yang sehat dan aman. Oleh sebab itu, perlu di ikuti tahapan – tahapan pencucian sebagai berikut.

1. Scraping
Memisahkan segala kotoran dan sisa-sisa makanan yang terdapat padaperalatan yang akan dicuci, seperti sisa makanan di atas piring, sendok, panci,dan lain-lain.

2. Flushing dan soaking
Mengguyur air di atas peralatan yang akan dicuci sehingga bersih dari noda sisa seluruh permukaan peralatan. Perendaman ( soaking ) dimaksudkan untuk memberi kesempatan peresapan air ke dalam sisa makanan yang menempelatau mengeras, sehingga menjadi mudah untuk dibersihkan atau terlepas daripermukaan alat. Waktu perendaman tergantung dari kondisi peralatan.Penggunaan perendaman dengan air panas (60°C) akan lebih cepat daripada airdingin. Minimal waktu perendaman adalah 30 menit – 60 menit.

3. Washing
Mencuci peralatan dengan cara menggosok dan melarutkan sisa makanan dengan zat pencuci, seperti detergen cair atau bubuk,  yang mudah larut dalam air sehingga sedikit kemungkinan membekas pada alat yang dicuci. Padatahap ini dapat digunakan sabut, tapas, atau zat penghilang bauyang dipergunakan, seperti abu gosok, arang, atau air jeruk nipis. Penggunaan sabun biasa sebaiknya harus dihindari, karena sabun biasa tidak dapat melarutkan lemak. Akibatnya, pembersihan lemak tidak sempurna dan kemungkinan bau. Sabun biasa agak sulit larut dalam airdan bila menempel di peralatan akan menimbulkan bekas (noda) bila peralatansudah kering.
Pada tahap penggosokan ini perlu diperhatikan bagian- bagian peralatan yang perlu dibersihkan lebih cermat, yaitu:
a) Bagian peralatan yang terkena makanan (permukaan tempat makanan). 
b)  Bagian peralatan yang kontak dengan tubuh (bibir gelas, ujung sendok). 
c)  Bagian yang tidak rata (bergerigi, berukir, dan berpori).

4. Rinsing
Mencuci peralatan yang telah digosok detergen sampai bersih dengan cara dibilas dengan air bersih. Pada tahap ini, penggunaan air harus banyak,mengalir dan selalu bertukar. Setiap alat yang dibersihkan dibilas dengancara menggosok- gosok dengan tangan atau sampai terasa kesat (tidak licin). Pembilasan sebaiknya dilakukan dengan air bertekanan yang cukup sehingga dapat melarutkan sisa kotoran atau sisa bahan pencuci. Tekanan air yang digunakan dianjurkan dengan tekanan 15 psi ( pound per square inches ) atau tekanan air yang digunakan sama dengan 1,2 kg/cm2.

5. Sanitizing
Tindakan sanitasi untuk membebashamakan peralatan setelah prosespencucian. Peralatan yang selesai dicuci perlu dijamin aman dari mikrobadengan cara sanitasi atau dikenal dengan desinfeksi. Cara desinfeksi yang umum dilakukan ada beberapa macam, yaitu: a) rendam air panas 100ºC selama 2 menit, b)larutkan chlor aktif (50 ppm), c) udara panas (oven), d) sinar ultra violet (sinar pagi 9.00 –11.00) atau peralatan elektrik yangmenghasilkan sinar ultraviolet, dan e ) uap panas ( steam ) yang biasanya terdapat pada mesin cuci piring ( dishwashing machine ).

6. Toweling
Mengeringkan dengan manggunakan kain atau handuk ( towel ) dengan maksud menghilangkan sisa-sisa kotoran yang mungkin masih menempelsebagai akibat proses pencucian, seperti noda detergen, noda  chlor . Prinsip penggunaan lap pada alat yang sudah dicuci bersih sebenarnyatidak boleh karena akan terjadi pencemaran sekunder (rekontaminasi). Toweling ini dapat digunakan dengan syarat bahwa towel yang digunakanharus steril serta sering diganti untuk sejumlah penggunaan. Yang palingbaik adalah sekali pakai ( single use ). Towel yang sudah digunakan dicucidan disterilkan dengan outctov sehingga benar-benar steril setiap akandigunakan. Dalam pembersihan peralatan yang meggunakan tindakan sanitasi kering ( sinar atau oven ), penggunaan towel sebaiknya tidak digunakan.

C. Tujuan pencucian
Tujuan mencuci peralatan makanan dan masak dengan menggunakasarana dan teknis pencucian dapat diuraikan sebagai berikut:

Untuk menghilangkan kotoran – kotoran kasar, dilakukan dengan :
  • Scraping atau pemisahan kotoran sebelum dicuci, agar prosesmencuci lebih mudah, kotoran kasar tidak menyumbat aluranpembuangan limbah dari bak pencuci;
  • Pemakaian sabut, tapas atau abu gosok, agar kotoran keras yang menempal dapat dilepaskan dengan peralatan;
  • penggunaan air bertekanan tinggi (15 psi) dimaksudkan agar dengantekanan air yang kuat dapat membantu melepaskan kotoran yangmelekat. 


Untuk menghilangkan lemak dan minyak, dengan cara :
  • direndam dalam air panas (60°C) sampai larutkan segera dicuci. Jangansampai dibiarkan kembali dingin, karena lemak akan kembalimembeku; dan 
  • direndam dalam larutan detergen (lemon shop) bukan sabun, karenasabun tidak melarutkan lemak.


Untuk menghilangkan bau amis pada ikan dengan cara :
  • melarutkan dengan air perasan jeruk nipis (lemon), dalam larutan pencuci(asam jeruk melarutkan lemak); 
  • menggunakan abu gosok, arang, atau kapur yang mempunyaidaya deodoran (antibau); dan 
  • menggunakan detergen yang baik (lemak yang larut akan melarutkan bau amis/ bau ikan).


Menggunakan tindakan sanitasi dan desinfeksi untuk membebaskan hama dan kuman dengan cara-cara berikut :
  • Direndam dalam air panas dengan suhu 80ºC selama 2 menit dan 100ºC selama 1 menit. 
  • Direndam dalam air mengandung chlor 50 ppm selama 2 menit atau dibubuhi kaporit 2 sendok makan dalam 100 liter air. 
  • Ditempatkan pada sinar matahari sampai kering.d) Ditempatkan pada oven penyimpanan piring.


Pengeringan peralatan yang telah selesai dicuci, dapat  dilakukan dengan menggunakan:
  • handuk khusus yang bersih dan tidak menimbulkan pengotoranulang, 
  • lap bersih sekali pakai yang tidak menimbulkan bekasnya, dan 
  • ditiriskan sampai kering dengan sendirinya.



D. Tes kebersihan
untuk menguji apakah pencucian itu berlangsung dengan baik dan benar, dilakukan pengukuran kebersihan pencucian dengan cara tes kebersihan sebagai berikut.

Tes kebersihan secara fisik dapat dilakukan sebagai berikut : 
  • Dengan menaburkan tepung pada piring yang sudah dicuci dalamkeadaan kering. Bila tepungnya lengket pertanda pencucian belumbersih. 
  • Menaburkan garam pada piring yang kering. Bila garam yang ditaburkan tadilengket pada piring, pertanda pencucian belum bersih. 
  • Penetesan air pada piring yang kering. Bila air jatuh pada piring ternyatamenumpuk/tidak pecah pertanda pencucian belum bersih.
  • Penetesan dengan alkohol, jika terjadi endapan pertanda pencucianbelum bersih. 
  • Penciuman aroma, bila tercium bau amis pertanda pencucian belum bersih.
  • penyimpsnsn, bila peralatan kelihatannya kusam/tidak cemerlang berarti pencucian belum bersih.


E. Inventarisasi
Sebenarnya mengelola inventaris adalah kegiatan yang sulit, karena harus mencatat bahan yang ada didalam refrigerator dan bahan yang ada digudang. Namun , inventarisasi penting dilakukan karena merupakan salah satu kegiatan manajemen yang dapat meningkatkan keuntungan. Penimbunan bahan makanan yang berlebihan akan mendorong terjadinyakontaminasi. Kegiatan inventarisasi makanan, meliputi produk makanan, produk minuman, dan non makanan, seperti lenan, alat pembersih, obat-obat kimia.

F. Fasilitas 
Fasilitas adalah aset yang memerlukan investasi yang besar dibandingkandengan aset yang lain. Dengan fasilitas usaha dapat menarik pembeli sehinggausaha menjadi lancar. Agar sanitasi dapat terjaga merancang berbagai fasilitas fisik termasuk lingkungan menjadi sangat penting. Lingkungan yang terjaga dengan aman,sehat, dan bersih menjadikan makanan dapat diterima di tempat yang layak,disimpan dengan baik, disiapkan, dan diolah dengan aman. Konstruksi lantai, dinding, langit-langit harus dibuat mudah dibersih- kan, bebasdari racun, dan dibuat sesuai keperluan. Demikian juga pen- cahayaan harus dapatmembantu meningkatkan keamanan dan sanitasi. Interior dan eksterior merupakan fasilitas yang harus dikembangkan sesuai dengan harapan konsumen. Fasilitas lainyang perlu diperhatikan adalah penyediaan air bersih, pipa untuk ledeng, saluran pembuangan kotoran, tempat sampah, dan penanganannya. Pengontrolan serangga danbinatang pengerat juga penting karena dapat membawa penyakit yang dapat menularke makanan.



Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi



Jumat, 20 Juli 2018

CARA MENDISTRIBUSIKAN HASIL PRODUKSI PEMBIBITAN IKAN GURAME



Salah satu kendala dalam budidaya ikan gurame khususnya pembibitan dalaha untuk mengirim/distibusi hasil kegiatan pembibitan tersebut. Proses pengangkutan bibit ikan dilakukan secermat mungkin untuk meminimalkan tingkat gangguan yang mungkin timbul akibat pengaruh perubahan lingkungan yang tiba-tiba atau karena proses pemuatan yang kurang hati-hati  yang dapat menyebabkan bibit ikan menjadi stress.



Gambar. Distribusi Ikan Gurame

Selain itu untuk menghindari tingkat stress yang lebih tinggi maka pemindahan bibit ikan dari lokasi kolam pemeliharaan sedapat mungkin tidak dilakukan pada saat kondisi terik sinar matahari. Pemindahan bibit ikan hanya dilakukan pada pagi atau sore hari  dan disaat kondisi cuaca masih cukup bagus (tidak hujan). Mengingat jumlah bibit ikan yang dikirim kali ini cukup besar maka proses pengiriman pun dilaksanakan dalam beberapa tahap dimana dalam setiap tahap pengiriman dapat berlangsung 1 atau 2 kali pengangkutan. Pengiriman tahap pertama terdiri dari 2,5 kwintal bibit ikan gurame berukuran 3 - 4 ekor per kilogram yang kemudian  diteruskan dengan pengiriman 4000 ekor bibit gurame ukuran '3 jari' di tahap kedua dan 3000 ekor bibit gurame ukuran 'jempolan' (13-15 ekor/ kg) di tahap ketiga.
Seperti pengiriman bibit ikan sebelumnya, proses pengiriman kali ini pun dilakukan dengan menggunakan drum-drum plastik terbuka berisi air yang berasal dari masing-masing kolam tempat dimana bibit ikan gurame ini semula dipelihara. Untuk menjaga agar bibit ikan yang terkirim tetap dalam keadaan prima saat tiba di tempat tujuan maka kepadatan ikan dalam setiap drum perlu dibatasi. Masing-masing drum hanya diisi 60 - 70 ekor bibit ikan gurame (ukuran 3 - 4 ekor/ kg) sedangkan untuk yang berukuran '3 jari' dapat dimuat hingga 80 - 90 ekor per drum. Pada setiap drum perlu disertakan pula beberapa tanaman apung seperti kangkung air ataupun apu-apu yang dapat membantu menjaga tingkat kelembaban dan kesegaran air selama proses pengiriman.

Jenis tanaman air yang dimasukkan dalam setiap drum selalu disesuaikan dengan jenis tanaman yang ada lingkungan air kolam dimana bibit ikan berasal. Dengan demikian  diharapkan bibit ikan tetap merasa nyaman saat proses pemindahan dan pengangkutan  menuju lokasi kolam yang baru. Untuk mencegah kemungkinan adanya bibit ikan yang melompat keluar dari drum selama berlangsungnya proses pengiriman maka drum-drum plastik tersebut perlu diberi bahan penutup berupa jaring yang diatur sedemikian rupa sehingga permukaan air dalam setiap drum dapat terlindungi dengan baik namun masih dimungkinkan terjadinya pertukaran udara.

Setiba di lokasi tujuan, setiap drum berisi bibit ikan ukuran '3 jari' ini lantas ditimbang dan dicatat berat kotornya kemudian dibawa menuju kolam-kolam tebar yang telah disiapkan. Saat proses penebaran berlangsung jumlah bibit ikan yang dikeluarkan dari setiap drum kembali dicatat guna dicocokkan dengan data pengiriman. Masing-masing drum yang telah dikeluarkan bibit ikannya kemudian ditimbang kembali. Dengan demikian maka berat bibit ikan dalam setiap drum dapat diketahui dengan mengurangkan berat drum berikut air dan tanaman apungnya (setelah bibit ikan dikeluarkan) terhadap berat kotornya mula-mula. Demikian seterusnya hingga seluruh bibit ikan gurame ini selesai ditebarkan.


Penulis :
Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi

PENTINGNYA SELEKSI BENIH IKAN LELE



Pada setiap kegiatan usaha perikanan seperti usaha pembibitan lele pun diperlukan adanya tahapan seleksi bibit pada setiap interval waktu tertentu. Di kalangan para pembudidaya ikan, aktifitas ini dikenal dengan istilah 'grading'. Prakteknya adalah dengan memisahkan bibit ikan menjadi beberapa golongan berdasarkan ukurannya. Pada dasarnya seleksi bibit memang perlu dilakukan agar tercapai tingkat keseragaman ukuran (sesuai umur ikan) sekaligus untuk mendapatkan bibit yang berkualitas sehat,tidak cacat dan memiliki laju pertumbuhan yang baik. Alasan rasional lainnya adalah bahwa lele tergolong ikan yang bersifat kanibal sehingga jika tidak segera diseleksi dan dipisahkan ruang pemeliharaannya maka lele yang tumbuh lebih cepat (lebih besar) cenderung akan memangsa lele-lele lainnya yang berukuran lebih kecil.



Gambar. Bibit ikan lele

Seleksi bibit lele dapat dilakukan dengan beberapa cara. Umumnya para pembudidaya memilih cara manual yang cukup praktis menggunakan peralatan sederhana yakni berupa susunan saringan benih lele yang terbuat dari ember plastik berlubang-lubang(perforated). Ember jenis ini biasanya banyak tersedia di pasar-pasar ikan tradisional ataupun di beberapa poultry yang menyediakan peralatan dan perlengkapan budidaya perikanan. Diameter lubang-lubang penyaring pada setiap ember biasanya telah dibuat seragam, sesuai dengan ukuran standar benih lele. Dalam prakteknya terkadang diperlukan 2 sampai 3 susunan ember yang berbeda dalam satu kali proses penyaringan terutama jika ukuran bibit lele yang dikehendaki ternyata cukup bervariasi.

Saat dilakukan proses seleksi bibit, ember-ember penyaring ini disusun berdasarkan ukuran diameter lubang-lubang penyaringnya. Ember dengan ukuran diameter lubang-lubang penyaring terbesar berada pada urutan teratas dan ember dengan ukuran lubang-lubang penyaring yang lebih kecil berada pada urutan berikutnya. Demikian seterusnya hingga ember dengan diameter lubang penyaring paling kecil yang sesuai dengan kebutuhan dan variasi ukuran bibit yang dikehendaki.
Awal seleksi bibit lele biasanya dimulai pada rentang waktu 12 hingga 17 hari setelahfase penetasan telur. Telur-telur yang gagal menetas dan benih yang mati hendaknyadipisahkan sesegera mungkin dari lingkungan bak tetas agar tidak menjadi sumber penyakit bagi benih-benih lainnya. Setelah 4 - 6 hari kemudian atau setelah kantung kuning telur (yolksack) pada setiap larva lele habis terserap maka benih akan terlihat lincah bergerak mencari makanan alami yang ada di sekitarnya. Selama 12-17 hari berikutnya benih lele ini telah dapat diberi makanan alami berupa cacing sutera (tubifex)dan pakan buatan (pellet) yang berbentuk serbuk (halus) yang diberikan secara berangsur-angsur hingga benih lele mencapai ukuran standar 2/2 dan 2/3. Pada saat inilah pertama kalinya seleksi (grading) bibit lele mulai dilakukan. Dalam proses seleksi, bibit lele yang berukuran lebih kecil (kerdil atau 'krucilan') disisihkan dan dipelihara di tempat terpisah, demikian pula halnya dengan bibit yang berukuran lebih besar ('bongsor' atau'longgoran'), bibit yang terserang penyakit atau bahkan bibit yang cacat.

Jika dikehendaki, bibit lele hasil seleksi pertama ini sebenarnya telah dapat dijual namun jika tidak maka bibit lele dapat dipelihara lagi selama lebih kurang 21 hari untuk kemudian dilakukan seleksi (grading) kembali. Seleksi bibit lele pada tahap kedua ini akan menghasilkan dua ukuran standar yakni 3/5 dan 4/6. Sama halnya dengan proses seleksi pertama, masing-masing ukuran standar 3/5 dan 4/6 ini dipisahkan demikian pula dengan bibit yang berukuran 'krucilan' maupun 'longgoran'. Pada segmen pembibitan, seleksi bibit (grading) pada ukuran 3/5 atau 4/6 ini merupakan saat panen karena ukuran bibit inilah yang paling banyak diminati oleh pembudidaya pada segmen pembesaranatau yang menekuni pemeliharaan lele hingga mencapai ukuran konsumsi (8-12 ekor/ kilogram).

Namun ada pula beberapa pembudidaya segmen pembibitan yang memilih memelihara kembali bibit lele berukuran 3/5 atau 4/6 tersebut hingga mencapai ukuran 5/7 dan 7/9selama lebih kurang 15 dan 21 hari masa pemeliharaan.

Pada budidaya ikan lele di segmen pembesaran khususnya  media kolam terpal, proses seleksi (grading) ini tidak perlu lagi dilakukan karena pertumbuhan lele umumnya telah mencapai tingkat keseragaman yang dapat dikatakan relatif merata.

Dengan menerapkan pola budidaya secara intensif pada media kolam terpal berukuran standar 4m x 6m dan 4m x 8m dengan jumlah tebaran bibit berkualitas ukuran standar 4/6 dan 5/7 sebanyak 3000 dan 4000 ekor per kolam maka lele ukuran konsumsi akan dapat dipanen setelah  60 hingga 70 hari masa pemeliharaan.


Penulis : 
Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi

Rabu, 18 Juli 2018

PENGENDALIAN PENYAKIT IKAN NILA


Ikan nila merupakan jenis ikan untuk konsumsi dan hidup di air tawar. Ikan ini cenderung sangat mudah dikembangbiakkan serta sangat mudah dipasarkan karena merupakan salah satu jenis iklan yang paling sering dikonsumsi sehari-hari oleh Masyarakat. Dengan teknik budidaya yang sangat mudah, serta pemasarannya yang cukup luas, sehingga budidaya ikan nila sangat layak dilakukan, baik skala rumah tangga maupin skala besar atau perusahaan.



Gambar. Ikan Nila terkena penyakit

Budi daya nila merah telah berkembang di beberapa daerah, bahkan produksinya telah diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Dagingnya putih serta tebal. Rasanya enak, seperti ikan kakap merah. Di beberapa negara Eropa, daging nila merah dimanfaatkan sebagai substitusi bagi daging kakap merah.

Untuk mengetahui jenis penyakit dan Cara pencegahannya, diperlukan diagnose gejala penyakit. Gejala penyakit untuk ikan nila merah yang dibudidayakan dapat diamati dengan tenda-tanda berikut.


a) Penyakit Kulit

Gejala :
  • -       Berwarna merah di bagian tertentu.
  • -       Kulit berubah warna menjadi lebih pucat.
  • -       Tubuh berlendir.

Pengendalian :
  • -     Perendaman ikan dalam larutan PK (kalium permanganat) selama 3o-6o menit dengan dosis 2 g/10 l air. 
  •   -  Pengobatan dilakukan berulang 3 hari kemudian.
  • -      Perendaman ikan dengan Negovon (kalium permanganat) selama 3 menit dengan dosis 2-3,5%.

b) Penyakit Pada Insang

Gejala :
  • -       Tutup insang bengkak.
  • -       Lembar insang pucat/keputihan.

Pengendalian :
  • -       Cara pengendalian sama dengan penyakit kulit.

c) Penyakit Pada Organ Dalam

Gejala :
  • -       Perut ikan bengkak.
  • -       Sisik berdiri.
  • -       Ikan tidak gesit.

Pengendalian :
  • -       Cara pengendaliannya sama dengan penyakit kulit.

Adapun secara umum hal-hal yang dilakukan untuk dapat mencegah timbulnya penyakit pada budi daya ikan nila merah di KJA adalah sebagai berikut.:
  1.  Hindari penebaran ikan secara berlebihan melebihi kapasitas.
  2.  Berikan pakan cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya.
  3. Hindari penggunaan pakan yang sudah berjamur.
  4. Pada prinsipnya pencegahan dapat ditinjau berbagai pendekatan lingkungan, inang dan pathogen. 

Pendekatan lingkungan dilakukan dengan menjaga kualitas air supaya tetap mendukung bagi kehidupan ikan, menjaga wadah budidaya tetap bersih dan sehat dan menghindari pengggantian air yang mendadak sehingga tidak menyebabkan ikan menjadi stress. Selain itu penggunaan probiotik/bioremediasi kini sudah banyak dilaksanakan.
Pendekatan inang dilakukan dengan cara penanganan ikan yang baik/tidak kasar, sehingga tidak mengakibatkan ikan menjadi luka/lecet dan tidak stress, pengaturan kepadatan ikan yang disesuaikan dengan ukuran ikan dan daya dukung lahan, pemberian pakan yang tepat mutu (mengandung bahan nutrisi yang diperlukan oleh ikan). Pakan yang diberikan harus sesuai dengan ukuran bukaan mulut ikan (tepat ukuran). Selain itu pemberian pakan harus tepat waktu pemberian artinya kapan waktu yang tepat untuk memberi pakan. Misalnya untuk ikan yang sifatnya nocturnal (misalnya ikan Lele) pakan porsi terbanyak sebaiknya diberikan pada waktu sore atau malam hari. Sedangkan bagi ikan yang non-nocturnal maka pakan bisa diberikan pagi, siang dan sedikit pada waktu sore hari. Guna menjaga kesehatan ikan juga dapat dilakukan dengan menimbulkan kekebalan ikan. Kekebalan pada ikan dapat dibedakan menjadi kekebalan yang specific (humoral) dan kekebalan non-specific (selular/cell-mediated immunity). Kekebalan spesifik artinya kekebalan yang dibentuk hanya efektif untuk mencegah terhadap suatu patogen tertentu. Misalnya pemberian vaksin anti Vibrio pada ikan maka kekebalan yang terbentuk hanya mampu untuk mencegah penyakit akibat infeksi bakteri Vibrio sp. Sedang kekebalan yang non-spesific adalah kekebalan yang dibentuk untuk sebagai anti dari berbagai infeksi. Kekebalan seperti ini biasa diproduksi dengan cara pemberian immunomodulator yaitu antara lain Vitamin C, Lypopolysaccharide (LPS), dan glucan.
Pendekatan patogen, pada prinsipnya kita menjaga supaya virulensi patogen tidak meningkat. Virulensi patogen biasanya berkaitan erat dengan makin memburuknya lingkungan dan juga dengan derajat stres dari inangnya. Jadi supaya patogen tidak meningkat patogenitasnya kita harus menjaga agar kondisi lingkungan tidak semakin buruk dan menjaga agar inang tetap dalam keadaan kondisi yang prima. Kondisi lingkungan yang makin buruk akan memacu perkembangan patogen lebih meningkat.
Pada intinya, mencegah penyakit dapat dilakukan melalui a). Manajemen Budidaya secara menyeluruh, termasuk di dalamnya penerapan padat tebar yang disesuaikan dengan daya dukung lahan, melaksanakan b). Manajemen lingkungan dan c). Manajemen pakan. Manajemen lingkungan yang dimaksud adalah menjaga lingkungan perairan supaya selalu berada dalam kondisi yang kondusif bagi kehidupan ikan dan tidak banyak menimbulkan tekanan. Pakan yang diberikan pada ikan harus tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu pemberian dan tepat ukuran. 

Pemanfaatan Tanaman Obat Tradisional Dalam Pengendalian Penyakit Ikan
Salah satu alternatif penanggulangan penyakit ikan air tawar yang aman adalah dengan menggunakan tanaman obat. Bahan obat lain yang relatif lebih aman untuk lingkungan dan efektif dalam mengobati penyakit ikan dapat menggunakan bermacam-macam tanaman obat tradisional. Indonesia sebagai negara tropis memiliki kekayaan tanaman yang berpotensi menjadi obat. Banyak jenis tanaman yang mengandung senyawa yang bersifat antimikroba. Sejumlah tanaman mengandung senyawa bersifat bakterisidal (pembunuh bakteri), dan bakteristatik (penghambat pertumbuhan bakteri).
Dari beberapa percobaan, fitofarmaka terbukti efektif mengatasi penyakit ikan air tawar dan memiliki beberapa keuntungan, seperti : Pertama, dapat menjadi bahan alami pengganti antibiotik untuk pengendali penyakit yang disebabkan bakteri. Kedua, ramah terhadap lingkungan, mudah hancur/terurai, dan tidak menyebabkan residu pada ikan dan manusia.Ketiga, mudah diperoleh dan tersedia cukup banyak, keempat harganya ekonomis dan cukup murah.
Fitofarmaka yang dapat dijadikan pengganti antibiotik untuk mengatasi penyakit nila adalah bawang putih(Allium sativum), dan daun ketapang (Termmalia cattapa). Hasil penelitian lainnya menginformasikan bahan lain yang dijadikan bahan antibiotik adalah daun sirih (Piper betle L), daun jambu biji (Psidium guajava L), jombang (Taraxacum officinale) dan daun sambiloto (Androgaphis paniculata). Daun sirih diketahui berdaya antioksidasi, antiseptik, bakterisida, dan fungisida. Tanaman sambiloto bersifat anti bakteri, sedangkan daun jambu biji selain bersifat anti bakteri juga bersifat anti viral.


Penulis :
Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi

Senin, 16 Juli 2018

KANDUNGAN GIZI IKAN LELE


Ikan lele adalah salah satu ikan yang berasal dari Taiwan dan pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985 melalui sebuh perusahaan swasta di Jakarta (Suryanto, 1986). Lele (Clarias sp.) merupakan salah satu dari berbagai jenis ikan yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia, dalam habitatnya ikan lele sangat fleksibel, dapat dibudidayakan dengan padat penebaran tinggi, pertumbuhannya sangat pesat, dan dapat hidup pada lingkungan dengan kadar oksigen rendah.



Gambar. Ilustrasi Ikan Lele

Lele atau ikan keli atau catfish, adalah sejenis ikan yang hidup di air tawar. Lele mudah dikenali karena tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang, serta memiliki “kumis” yang panjang, yang mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Lele, secara ilmiah, terdiri dari banyak spesies. Tidak mengherankan pula apabila lele di Nusantara mempunyai banyak nama daerah. Antara lain: ikan kalang (Sumatra Barat), ikan maut (Gayo dan Aceh), ikan sibakut (Karo), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makassar), ikan cepi (Sulawesi Selatan), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah) atau ikan keli (Malaysia).

Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Nama ilmiahnya, Clarias, berasal dari bahasa Yunani chlaros, yang berarti ‘lincah’, ‘kuat’, merujuk pada kemampuannya untuk tetap hidup dan bergerak di luar air. Lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin, kecuali lele laut yang tergolong ke pembuangan.

alam marga dan suku yang berbeda (Ariidae). Habitatnya  di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Bahkan ikan lele bisa hidup pada air yang tercemar, misalkan di got-got dan selokan AIkan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam, ikan lele memijah pada musim penghujan.

Banyak jenis lele yang merupakan ikan konsumsi yang disukai orang. Sebagian jenis lele telah dibiakkan orang, namun kebanyakan spesiesnya ditangkap dari populasi liar di alam. Lele dumbo yang populer sebagai ikan ternak, sebetulnya adalah jenis asing yang didatangkan (diintroduksi) dari Afrika.

Lele dikembangbiakkan di Indonesia untuk konsumsi dan juga untuk menjaga kualitas air yang tercemar. Seringkali lele ditaruh di tempat-tempat yang tercemar karena bisa menghilangkan kotoran-kotoran. Lele yang ditaruh di tempat-tempat yang kotor harus diberok terlebih dahulu sebelum siap untuk dikonsumsi. Diberok itu ialah maksudnya dipelihara pada air yang mengalir selama beberapa hari dengan maksud untuk membersihkannya.

Kadangkala lele juga ditaruh di sawah karena memakan hama-hama yang berada di sawah. Lele sering pula ditaruh di kolam-kolam atau tempat-tempat air tergenang lainnya untuk menanggulangi tumbuhnya jentik-jentik nyamuk.

Ikhtisar Kandungan Gizi Ikan Lele
  • Lele (budidaya), 1 fillet (141.5g) (dimasak, panas kering) (5 oz.)
  • Kalori: 217
  • Protein: 26.7g
  • Karbohidrat: 0.0g
  • Total Fat: 11.5g
  • Fiber: 0.0g
  • Excellent sumber: Selenium (20.7mcg), dan Vitamin B12 (4mcg)
  • Sumber yang baik: Kalium (459mg), dan Niacin (3.6mg)

Makanan yang merupakan “sumber yang sangat baik” dari nutrisi tertentu menyediakan 20% atau lebih dari nilai harian yang dianjurkan, berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat  (USDA) .
Ketika dimasak (panas kering), lele liar memberikan 0,333 gram omega-3 asam lemak, berasal dari EPA (0.1g), DHA (0.137g), dan ALA (0.096g), per 100 gram ikan lele liar. Ketika dimasak (panas kering), lele bertani memberikan 0,259 gram omega-3 asam lemak, berasal dari EPA (0.049g), DHA (0,128), dan ALA (0.082g), per 100 gram ikan lele bertani.

Penulis :
Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi