Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) merupakan salah satu jenis ikan asli dari perairan Indonesia termasuk ikan unggulan lokal dari Sungai Batanghari Provinsi Jambi yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera, memiliki prospek sebagai komoditi ekspor karena dagingnya yang berwarna putih, hampir sama dengan Pangasius bocourti yang merupakan komoditas ekspor dari Taiwan. Populasi ikan Patin Jambal saat ini di alam semakin menurun sebagai akibat tingginya intensitas penangkapan.
Dewasa ini, permintaan pasar untuk ikan tersebut dari
tahun ketahun selalu mengalami peningkatan baik di pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri,
bahkan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menempatkan ikan ini sebagai
pilihan bagi mereka yang ingin hidup sehat. Selain sebagai ikan konsumsi, ikan
ini pada saat ukuran kecil dapat digunakan sebagai ikan hias (Khairuman dan
Sudenda, 2002).
Nilai ekonomis yang cukup tinggi menyebabkan ikan ini mendapat perhatian dan
diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Selain itu ikan ini
mempunyai beberapa kelebihan antara lain responsif terhadap pemberian makanan
tambahan, mempunyai pertumbuhan relatif cepat karena dalam umur enam bulan ikan
ini bisa mencapai panjang 35-40 cm, dan
sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini
tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk membesarkan tubuhnya, bahkan
kandungan oksigen rendah pun sudah memenuhi syarat untuk membesarkannya
(Siregar, 2002).
Tercatat pada tahun 2005 tingkat pemanfaatan budidaya di
keramba sebesar 115.000 unit dengan tingkat pemanfaatan 7995 unit (6,9%). Hal
tersebut membuka peluang yang sangat besar untuk melakukan budidaya ikan patin
jambal. Ikan patin jambal merupakan ikan yang mempunyai peluang ekspor yang
besar karena karakteristik dagingnya dan disukai oleh masyarakat luar negeri.
Gambar 1. Ikan Patin Jambal |
Menurut Cholik et al., (2005) klasifikasi
Ikan Patin Jambal adalah sebagai
berikut :
Phyllum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo :
Silluriformes
Famili : Pangasiidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius djambal
Morfologi
Ikan
ini mempunyai rasio panjang standar/panjang kepala 4,12, kepala relatif
panjang, melebar ke arah punggung. Mata berukuran sedang pada sisi kepala.
Mulut subterminal relatif kecil dan melebar ke samping. Mempunyai gigi tajam
dan sungut mencapai belakang mata. Jarak antara ujung moncong dengan tepi mata
lebih panjang. Rasio panjang standar/tinggi badan 3,0. Tubuh relatif memanjang.
Warna punggung abu-abu kehitaman, pucat pada bagian perut dan sirip transparan.
Perut lebih lebar dibandingkan panjang kepala. Jarak sirip perut ke ujung
moncong relatif panjang (DKP Jambi, 2006).
Gambar 2. Morfologi Ikan Patin Jambal terdiri dari : Sungut (a),
Sirip dada (b), Sirip punggung (c), Sirip perut (d), Sirip dubur (e), Sirip
adifose dan Sirip Ekor (g).
Pakan dan Kebiasaan
Makan
Ikan ini termasuk ikan omnivora. Makanan ikan ini
diantaranya ikan-ikan kecil, cacing, detritus, serangga, biji-bijian,
udang-udang kecil dan mollusca (Susanto dan Amri, 2002). Ikan ini memerlukan
makanan sebagai sumber energi yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Lubis,
2006).
Pemberian pakan tambahan pada proses pembesaran
patin sangat mutlak untuk memacu
pertumbuhan. Pakan tambahan itu berupa pelet atau sisa-sisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasanya 3-4% dari bobot total ikan per hari. Pellet
ini ada yang dibuat sendiri (pelet lokal) dan ada pula pelet buatan pabrik
(pelet komersil). Pakan tambahan lainnya yang juga bisa diberikan adalah limbah
ikan, udang-udangan, moluska dan bekicot. Pemberian
pakan jenis ini sesuai dengan pakan ikan patin di alam (Susanto dan Amri, 2002).
Media
Pembesaran Ikan Patin
Ikan Patin dapat dibesarkan secara intensif di beberapa
media, seperti kolam, jaring apung atau keramba. Pembesaran ikan patin di
jaring apung hanya dapat dilakukan di daerah-daerah yang memiliki waduk atau
danau yang memenuhi syarat untuk budidaya perikanan. Pembesaran patin di keramba
umumnya dilakukan para petani ikan di sungai-sungai yang terdapat di Jawa,
Sumatera dan Kalimantan (Khairuman dan Sudenda, 2002).
Ada tiga jenis keramba yang biasa digunakan untuk pembesaran
ikan patin. Pertama, keramba dasar yang terpasang di dasar perairan. Kedua, keramba
di bawah permukaan air. Ketiga, keramba di permukaan air. Sebelum digunakan
untuk pembesaran ikan patin, keramba perlu dipersiapkan terlebih dahulu.
Pertama, tentukan terlebih dahulu tempat keramba tersebut akan dipasang. Kedua,
perhatikan kondisi keramba sebagai wadah pemeliharaan ikan. Pastikan bahwa
konstruksi keramba cukup kuat dan mampu menahan beban arus dan tekanan air. Periksa
setiap sisi keramba dari kemungkinan bolong untuk mencegah ikan meloloskan
diri. Jika tidak ada yang beres, sebaiknya segera diperbaiki sebelum keramba
dioperasikan karena perbaikan di dalam air sulit dilakukan (Khairuman dan
Sudenda, 2002).
Rakit
Rakit adalah kerangka yang mengapung di permukaan air dan
berfungsi sebagai tempat menggantungkan keramba, kantong, dudukan bangunan dan
jalan, serta sangkar. Kerangka rakit dapat dibuat dari bambu, balok kayu, kayu,
pipa besi dan besi siku (Jangkaru, 1995).
Tinggi kerangka antara 20 – 30 cm di atas permukaan air
dan lebar kerangka antara 30 - 50 cm. Kerangka berfungsi juga sebagai jalan
kontrol atau jalan titian. Untuk memperpanjang umur pakai kerangka bambu, jalan
kontrol dihampari tanaman air seperti enceng gondok dan apu-apu, agar bambu
terlindungi dari panas sinar matahari secara langsung (Jangkaru, 1995).
Pelampung balok
kayu dapat merangkap fungsi sebagai kerangka rakit. Bagian balok yang mencuat di atas permukaan air
terbatas sehingga perlu dipasang tiang sebagai tempat mengikatkan kantong dan
tiang tersebut dipakukan dibadan pelampung. Sama halnya dengan kerangka bambu,
tiang tersebut tidak saja mencuat di atas permukaan air, tetapi sebagian besar
tiang menjorok ke dalam air karena kedua ujungnya berfungsi sebagai peregang
kantong. Pemakaian balok sebagai kerangka merangkap pelampung memberikan
keuntungan bagi kehidupan ikan dalam kantong karena air bagian permukaan
terlindungi dari gelombang. Dengan demikian, pakan tidak cepat keluar dari
kantong. Keuntungan tersebut akan lebih terasa jika lokasi keramba jaring apung
dalam arus atau gelombang air (Jangkaru, 1995).
Kerangka kayu dapat diikatkan pada pelampung drum, ban
atau busa plastik. Kayu yang digunakan sebagai kerangka sebaiknya memiliki daya
tahan tinggi terhadap sifat-sifat air. Ukuran kayu disesuaikan dengan beban
yang dipikulnya (Jangkaru, 1995).
Kantong
Jaring
Bahan kantong jaring harus bersifat tahan dalam air dan
dapat menahan beban, terutama pada waktu panen. Salah satu bahan yang memenuhi
persyaratan tersebut antara lain jaring polietilen yang umum dipakai untuk
jaring trawl. Jaring tanpa simpul lebih baik digunakan daripada jaring
bersimpul. Dalam air, simpul sering bergeser sehingga ukuran mata jaring
berubah. Simpul juga menjadi tempat menempelnya organisme air seperti alga
benang dan sponge. Kedua organisme air tersebut akan berkembang pesat sehingga
dapat menutupi mata jaring dan selanjutnya menghalangi sirkulasi air. Selain
itu adanya organisme air tersebut akan menambah beban pada jaring (Jangkaru,
1995).
Ukuran benang dan mata jaring ditentukan oleh ukuran dan
jumlah ikan yang dipelihara di dalamnya. Untuk ikan ukuran kecil digunakan mata
jaring dan benang yang berukuran kecil. Ukuran mata jaring merupakan jarak
kedua simpul yang bersilangan pada sebuah mata yang diregangkan. Semakin besar
mata jaring maka semakin jauh jarak
kedua simpul. Ukuran mata jaring yang akan dipakai harus disesuaikan dengan
ukuran ikan yang dipelihara. Sebagai pedoman ukuran mata jaring harus sama
dengan tinggi ikan. Namun dalam prakteknya perlu dikaji lagi ketepatannya
karena badan ikan ada yang pipih dan membulat (Jangkaru, 1995).
Bahan berupa jaring polietilen yang tersedia di pasaran
digulung dan dijual berdasarkan bobot. Jaring polietilen no. 380 D/9 dengan
ukuran mata jaring (mesh size)
sebesar 2 inci (5,08 cm) bisa digunakan sebagai keramba/kantong luar dan no.
380 D/1 dengan ukuran mata jaring 1 inci (2,5 cm) atau 1,5 inci (3,81 cm)
digunakan sebagai keramba dalam (Kordi, 2005).
Pelampung
Pelampung berfungsi mengapungkan kantong, kerangka rakit,
bangunan gudang, ruang jaga dan pelataran kerja. Bahan yang dapat digunakan
sebagai pelampung antara lain bambu, balok kayu, drum, ban bekas dan busa
plastik (styrofoam) (Jangkaru, 1995).
Menurut Cahyono (2001), bahan-bahan yang dapat digunakan
sebagai pelampung dan daya tahannya dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk pelampung
dan daya tahannya.
No
|
Nama Bahan
|
Daya Tahan
|
1
|
Drum Plastik
|
> 3 Tahun
|
2
|
Drum Besi
|
0,5 - 1 Tahun
|
3
|
Styrofoam
|
> 5 Tahun
|
4
|
Drum besi dibungkus plastik
|
0,8 - 1 Tahun
|
5
|
Fibre glass
|
> 5 Tahun
|
6
|
Bambu
|
1 - 1,5 Tahun
|
7
|
Gelondong Kayu
|
1 Tahun
|
Sumber : Cahyono (2001)
Penggunaan drum bekas, baik logam maupun plastik, semakin
populer di kalangan petani ikan. Drum bekas dapat dengan mudah diperoleh di
pedagang barang bekas dan harganya pun relatif murah. Daya apung drum
ditentukan oleh volume udara di dalamnya. Untuk itu harus dipilih drum yang
tidak bocor. Teknik pemasangan drum dalam air ditentukan oleh jenis bahan
kerangka rakit tempat drum diikatkan. Untuk kerangka yang terbuat dari kayu,
maka drum dipasang membujur. Jarak antar drum 2-3 m untuk pelampung dan 1 m
untuk bangunan gudang, ruang jaga serta peralatan kerja. Tumpuan drum pada
kerangka rakit, terutama untuk drum plastik, harus lebar. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah drum robek akibat gesekan (Jangkaru, 1995).
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono, B. Budidaya
Ikan di Perairan Umum.Kanisius. Yogyakarta. 2001. Hal 16
Cholik F, A. G. Jagatraya, Poernomo, A. Jauzi. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa, Masyarakat Perikanan
Nusantara dan Taman Akuarium Air Tawar Taman Mini Indonesia Indah. Jakarta.Hal 154.
Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi. 2006. Profil Pengembangan Kawasan Budidaya Patin
Ekspor di Provinsi Jambi. Jambi. Hal 6-7.
Direktorat Jendral Perikanan. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Departemen
Kelautan Dan Perikanan Balai Budidaya Laut Lampung. Hal 10.
Djarijah, A. S.
2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius.
Yogyakarta. Hal 23
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.Hal 56-60
Effendi, MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusatama. Bogor. Hal 115
Hardjamulia, A. 2000. Teknologi
Pembenihan Ikan Patin (Pangasius spp.). Makalah pada temu aplikasi paket teknologi
pertanian IPPTP. Banjarbaru, tanggal 28-29 februari. Hal 6
Jangkaru,
Z. 1993. Pengembangan Perikanan Kolam di
Wilayah Beriklim Basah Tanpa Irigasi. Disampaikan
pada Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta, 25-27 Agustus 1993. Hal 70
Jangkaru,
Z.1995. Pembesaran Ikan Air Tawar di berbagai lingkungan Pemeliharaan. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal 57-69
Khairuman
dan D. Sudenda. 2002. Budidaya Ikan Patin
Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Hal 5 dan 58
Kordi
K, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin.
Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Hal 26, 88 dan 124
Lesmana.
2001. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air
Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 28
Lubis,
E. 2006. Teknik Pembenihan dan Analisa
Finansial Ikan Patin Siam (Pangasius Hypophthalmus) di BBAT Jambi. Karya
Ilmiah Praktek Akhir Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. Hal 58
Nasution.
Z, Dharyati. E dan Rupawan. 1997. Adopsi
Teknologi Budidaya Ikan Patin Pada Masyarakat Tani Di Desa Mariana-Sumatera
Selatan. Jurnal Penelitian dan Perikanan Volume III No. 2 Balai Riset
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Hal 37
Purnamawati.
J. 2002. Perananan Kualitas Air terhadap
keberhasilan budidaya ikan di kolam. Warta penelitian perikanan Indonesia.
Hal 14
Purnomo.K,
Kartamihardja E.S, Koeshendradjana S.2003. Pertumbuhan,
Mortalitas, dan Kebiasaaan Makan Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)
Introduksi Di Waduk Wonogiri. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia Volume 9 No. 3. Balai Riset Perikanan dan
Kelautan. Jakarta. Hal 17
Rangkuti,
F. 2001. Buissness Plan Teknik Membuat
Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hal 59-65
Rochdianto. 2002. Budidaya Ikan di Jaring Terapung.
Swadaya. Jakarta. Hal 46
Schimittou
H.R, M.C Cremer dan Jiang Zhang.2004. Beberapa
Prinsip dan Praktek Budidaya Ikan Pada Kepadatan Tinggi Dalam Keramba Volume
Rendah. American Soybean Association. Hal 17
Slembrouck
J, Oman Komarudin, Maskur dan Marc Legendre. 2005.
Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin
Indonesia, Pangasius Djambal. Karya Pratama. Jakarta. Hal 14.
Suparman,
M. 2006. Studi Tentang Usaha Pembesaran
Udang Galah (Macrobium roseenbergi) Pada Pembudidaya Udang Galah di Minggir
Sleman Yogyakarta Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.Hal 35
Susanto,
H dan K, Amri. 2002. Budidaya Ikan Patin.
Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 6 dan 37
Soeharto, I. 1997. Manajemen
Proyek
Dari Konseptual sampai Operasional. Erlangga.
Jakarta.Hal 433-435
Umar, H. 2003. Studi
Kelayakan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 197-20
Firman
Pra Setia Nugraha,S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab.
Banyuwangi