Selasa, 09 April 2019

Budidaya Pakan Alami (Tubifex sp)


Usaha budidaya ikan menunjukkan perkembangan yang sangat pesat.  Jenis ikan yang dibudidayakan juga semakin beragam, mulai dari ikan konsumsi hingga ikan hias.  Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya ikan adalah ketersediaan pakannya.  Dalam penyediaan pakan harus diperhatikan beberapa faktor, yaitu jumlah dan kualitas pakan, kemudahan untuk menyediakannya, serta lama waktu pengambilan pakan yang berkaitan dengan jenis ikan maupun umurnya.  Jenis pakan yang diberikan pada ikan berupa pakan alami maupun pakan buatan, dan ketersediaan pakan alami merupakan faktor penting dalam usaha budidaya ikan khususnya pada kegiatan pembenihannya.
Pakan alami mencakup fitoplankton, zooplankton dan bentos. Fitoplankton, zooplankton dan bentos berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral bagi larva atau benih ikan. Disamping mengandung gizi yang lengkap dan mudah dicerna, pakan alami tidak mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan
Berbagai jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena pakan alami mengandung semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang bergerak tetapi tidak begitu aktif sehingga memungkinkan dan mempermudah larva/benih ikan untuk memangsanya Untuk dapat menyediakan pakan alami dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, salah satu cara adalah dengan mengkulturnya, Adapun jenis pakan alami yang dapat dibudidayakan antara lain Daphnia sp dan cacing Tubifex sp (cacing rambut),  jenis pakan alami ini mempunyai arti penting dalam dunia budidaya, terutama untuk larva patin, lele, gurame dan glass eel.  Ketersediaan Daphnia sp, moina dan cacing rambut (Tubifex sp) di masyarakat sangatlah penting sehingga perlu dilakukan  kultur pakan alam ini guna menunjang kegitan perbenihan  yang ada.


Gambar 1. Cacing Sutera (Tubifex sp)

A. Klasifikasi Cacing Sutra
Tubifex sp. dikenal dengan nama cacing sutra atau cacing rambut secara sistematika  (Mueller,1774) mengklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom          : Animalia
Filum               :  Annelida
Kelas               : Clitella
Sub Kelas       : Oligochaeta
Ordo                : Haplotaxida
Sub Ordo        : Tubificina
Famili             : Tubificidae
Genus             : Tubifex
Spesies           : Tubifex sp

B. Biologi dan Morfologi
Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan ke dalam kelompok Nematoda, bentuk tubuhnya yang panjang dan sangat halus. Tubifex sp. memiliki warna tubuh yang dominan kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya 10 – 30 mm berwarna merah kecoklatan, terdiri dari 30 – 60 segmen (Anonimous, 2003). Cacing rambut mempunyai dinding tebal terdiri dari 2 lapis otot membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Dari setiap segmen pada bagian punggung dan perut, keluar seta dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut. saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih (2001), menyatakan spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus.
Menurut Pennak (1978), Cacing sutra (Tubifex sp) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuhnya kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis, pertukaran oksigen dan karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh darah. Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat membantu fungsi pernafasan (Wilmoth, 1967). Hal yang sama juga disampaikan oleh (Sugiarti et al., 2005) bahwa hampir semua oligochaeta bernafas dengan cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan insang. Cacing sutra ini bisa hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang pendek. Cacing sutra dapat mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen lebih banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat sedikit.
 Cacing ini sangat senang hidup berkelompok atau bergerombol karena masing-masing individu berkumpul menjadi koloni yang sulit diurai dan saling berkaitan satu sama lainnya didasar perairan yang banyak mengandung bahan organik terlarut. Tubifex sp. memiliki kandungan gizi 57% protein dan 13% lemak dalam tubuhnya (www.maswira.blogspod.com, 2009).

C. Habitat Cacing Sutra (Tubifex sp)
Cacing sutra biasa hidup pada perairan-perairan jernih yang sedikit mengalir, dengan dasar banyak bahan organik (Djarijah, 1996). Cacing rambut dapat hidup di sungai atau danau bersedimen lembek. Cacing dewasa dapat ditemukan dipermukaan sedimen dengan kedalaman 2 cm. Cacing rambut hidup diperairan dengan kondisi dasar berpasir (41,4%), tanah halus (46,0%) dan lempung (11,3%) (Brinkhurst dan Cook, 1974 dalam  Sulmartiwi, 2004).
Penyebaran cacing rambut ditentukan oleh kadar oksigen, lingkungan dan tipe dasar sedimen. Pada kadar oksigen air 1,7 mg/l dan kecepatan arus 300 sampai 600 ml/menit (Sulmartiwi , 2004) pertumbuhan populasi cacing paling tinggi. Menurut Gilbert dan Granath (2003), Tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing limbah (sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur organik bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik yang hampir tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista pelindung dan penurunan aktifitas metabolisme merupakan strategi hidup Tubifex untuk dapat bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan makanan. Cacing Tubifex sp memiliki oligochaeta yang bergerak dengan kontraksi peristaltik (Seymur, 1969). Kontraksi otot melingkar dan pemanjangan segmen tubuh adalah hal terpenting dalam merangkak berlahan dan selalu menghasilkan tekanan cairan tubuh. Kontraksi otot memajang penting dalam menggali, memperluas galian atau melekatkan diri pada dinding liang yang digali (Barnes, 1974).
Membenamkan kepala merupakan kebiasaan cacing ini untuk mencari makan. Sementara itu, ekornya yang mengarah ke permukaan air berfungsi untuk bernapas (Sitanggang, 2002 dalam Sulmartiwi , 2004).  Cacing ini hidup pada subtrat lumpur dengan kedalaman 0 – 4 cm. Seperti hewan air lain maka air memegang peranan penting buat kelangsungan hidup cacing ini.  sifat hidup Cacing Tubifex sp menunjukan organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam lumpur seperti benang kusut dan kepala terkubur serta ekornya melambai-lambai dalam air kemudian bergerak berputar-putar (Chekanovskaya, 1967).

D. Reproduksi dan Siklus Hidup
 Khairuman dan Amri (2002), menyatakan cacing sutra (Tubifex sp) adalah termasuk organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 (dua) alat kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang telur. Sama seperti cacing yang lain, spesies cacing Tubifex sp ini merupakan jenis hermaprodit tetapi untuk mebuahi sel telurnya diperlukan sperma dari cacing lainya dan berkembang biak dengan car bertelur dari betina yang telah matang telur (Supeni et al., 1994). 
Gambar 2. Siklus Hidup Tubifex sp

Sedangkan menurut Chumaidi dan Suprapto (1986), telur cacing sutra (Tubifex sp) terjadi didalam kokon yaitu suatu bangunan berbentuk bangunan bulat telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuh yang disebut kitelum. Tubuhnya sepanjang 1-2 cm, terdiri dari 30-60 segmen atau ruas.  Telur yang ada didalam tubuh mengalami pembelahan, selanjutnya berkembang membentuk segmen-segmen. Setelah beberapa hari embrio cacing sutra (Tubifex sp) akan keluar dari kokon.
Induk yang dapat menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas menjadi tubifex mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap kokon berkisar antara 4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses perkembangbiakan telur di dalam kokon sampai menetas menjadi embrio tubifex membutuhkan waktu sekitar 10-12 hari. Daur hidup cacing sutra dari telur, menetas hingga menjadi dewasa serta mengeluarkan kokon dibutuhkan waktu sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008). Cacing Tubifex sp dewasa dapat menghasilkan kista telurnya yang dapat bertahan dalam kekeringan selam dua minggu dan lebih lama lagi pada daerah pembuangan yang ditutupi oleh sampah (Arkhipova, 1996).

E. Makan dan Kebiasaan Makan
Menurut Pennak (1978), makanan oligochaeta akuatik sebagian besar terdiri dari ganggang berfilament, diatom dan detritus berbagai tanaman dan hewan. Sebagian besar oligochaeta memperoleh makanan dengan menyaring substrat seperti kebiasaan cacing yang lain. Komponen organik pada substrat ditelan melalui saluran pencernaan. Cacing ini memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat. Cacing sutra mencari makan dengan cara masuk ke dalam sedimen, beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen dan memilih bahan makanan yang kecil serta lembek (Morgan, 1980 dalam Isyaturradhiyah, 1992).
Jumlah makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh cacing sutra (Tubifex sp) adalah 2-8 kali bobot tubuh (Monakov, 1972). Menurut Pondubnaya dan Sorokin (1961) dalam Monakov (1972) cacing tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah permukaan pada kedalaman 2cm-5cm. Dijelaskan pula bahwa pada lapisan tersebut banyak zat-zat makanan yang tertimbun akibat dekomposisi anaerobik. Selain makanan, pertumbuhan populasi cacing sutra juga ditentukan oleh faktor–faktor lain seperti ruang (tempat) dan lingkungan. Pennak (1978) dalam Febrianti (2004) menyatakan bahwa tubificidae memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat.
Menurut (Gilbert dan Granath 2003). Kebiasaan makan Tubifex adalah dengan cara mencerna sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna bakteri secara selektif dan menyerap molekul melalui dinding tubuh. Untuk memacu pertumbuhan cacing sutra perlu penambahan pakan yang cukup. Cacing sutra membutuhkan suplay pakan yang mengandung bahan organik tinggi sehingga kebutuhan pakan bagi cacing sutra terpenuhi.
Kemudian dinyatakan oleh Fadholi et al., (2001) bahwa cara makan Cacing Tubifex sp yaitu dipermukaan atau didalam sedimen dengan membuat lubang berupa tabung dan menyaring makanan atau mengumpulkan partikel halus dipermukaan. Makanan tersebut dapat berupa bahan organik dan detritus.

E. Kualitas Air
Kualitas air media hidup bagi cacing sutra memerlukan kondisi media yang sesuai dengan kondisinya di alam, salah satunya oksigen, pH, suhu, kandungan nutrien, nitrogen dan karbon yang mencukupi agar mendukung bagi kelangsungan hidup cacing sutra. Untuk mendapat kondisi yang sesuai bagi kelangsungan hidup cacing sutra maka diperlukan kisaran suhu yang optimal.
Cacing ini memiliki toleran terhadap pH antara 5,5-7,5 dan 6,0-8,0 (Whitley, 1968). Oksigen terlarut dalam suatu perairan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup cacing sutra dalam media uji. Pada masa embrio cacing sutra membutuhkan oksigen berkisar antara 2,5-7,0 ppm. Apabila kandungan oksigen rendah disuatu perairan kurang dari 2 ppm, maka bisa menghambat aktivitas makan dan reproduksi cacing sutra. Jika kadar oksigen mencapai lebih dari 3 ppm dapat meningkatkan populasi cacing sutra (Marian dan Pandian).
Pada proses dekomposisi bahan organik mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dalam suatu rangkaian reaksi yang kompleks.
Pada proses ini melibatkan enzim untuk mempercepat reaksi atau sebagai katalisator.
Proses respirasi oksigen diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik oleh mikroorganisme. Beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan organik yaitu suhu, setiap kenaikan suhu 10 OC akan meningkatkan proses dekomposisi dan kosumsi oksigen menjadi dua kali lipat. pH, proses dekomposisi bahan organik akan berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis. Pasokan oksigen, proses dekomposisi secara aerob memerlukan oksigen secara terus-menerus. Kadar oksigen yang rendah pada perairan akan membahayakan organisme akuatik karena akan meningkatkan toksisitas (Effendi, 2003).
Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin, 2000).
Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri (Wardoyo, 1995). Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973).

F. Tahapan Kegiatan Budidaya
Menurut Khairuman dkk, 2008, pembudidayaan sebaiknya dimulai secara bertahap yaitu dimulai dari produksi dalam skala kecil untuk digunakan sebagai starter, baru dikultur dalam skala besar. Adapun tahapan kegiatan kultur cacing Tubifex menurut (Rapiuddin, dkk 2010) adalah sebagai berikut:

1. Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan dibersihkan dari sampah, yang dapat menggau tumbuhnya cacing Tubifex.
2. Pembuatan media kultur.
komposisi substrat  yang digunakan pada kultur cacing tubifex adalah sebagai berikut: Lumpur 87,8 % Pupuk organik 5,56 %g , Dedak halus 5,56 %, dan Tepung ikan/pellet 1,1 % dengan ketebalan substrat 7-10 cm. Bahan yang telah disiapkan dicampur rata dan tebar secara merata pada bak atau media kultur yang telah disiapkan.
3. Pemasukan Air
Air dimasukkan secara perlahan pada media kultur dengan mengatur debit air yang mengalir, yaitu sekitar 200 ml/detik.  Media direndam dan di biarkan selama 4 hari supaya terjadi dekomposisi.  Setelah terjadi dekomposisi diharapkan pakan alami sudah mulai tumbuh dan cacing siap ditebar.
4. Penebaran Bibit
Bibit tubifex ditimbang sebanyak 100 gr/m2, lalu dimasukkan kedalam ember atau baskom kemudian disiram air  agar gumpalan buyar. Cacing tubifex yang sudah terurai ini kemudian ditebar keseluruh permukaan pada media budidaya secara merata. Seterusnya atur aliran air yang masuk kedalam media budidaya. Dan terus dikontrol jangan sampai Media budidaya kering atau kelebihan air. Setelah bibit atau starter ditebar kita tebar lagi ampas tahu pada permukaan media dengan maksud untuk mempercepat proses tumbuhnya cacing Tubifex.
5. Pemasangan Penutup media
penutup dipasang diatas media kultur untuk menghindari cahaya matahari langsung. 
6. Pemeliharaan
Dalam masa pemeliharaan yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan air dan pengelolaan pakan.
Pengelolaan air selama pemeliharaan adalah sebagai berikut;
Debit air (Q) : 200 ml/detik  = 1200 ml/menit
Volume air yang digunakan/hari = 1728 l/hari
Persentase pergantian air  685,7%
Pengelolaan pakan ; waktu pemberian pakan dimulai satu minggu setelah penebaran starter cacing Tubifex yang ditandai dengan cacing tubifex mulai kelihatan dipermukaan substrat Masa pemeliharaan cacing tubifex sekitar 3-4 minggu. 
7. Panen
Panen dilakukan dengan cara panen selektif, yaitu dengan cara mengambil gumpalan cacing yang terlihat pada permukaan media. Cacing tubifex yang sudah diangkat dari media kemudian di cuci dan dibilas dengan air untuk membuang lumpurnya, kemuadian didiamkan pada tempat yang gelap dan ditutup dengan kain agar cacing tubifex keluar dari pori-pori kain dan sudah bersih 100%.  Selanjutnya cacing yang sudah bersih diangkat dan ditampung pada steroform atau bak penampungan  yang di aliri air secara terus menerus.


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kabupaten Banyuwangi