Usaha budidaya ikan
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat.
Jenis ikan yang dibudidayakan juga semakin beragam, mulai dari ikan konsumsi
hingga ikan hias. Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan budidaya ikan adalah ketersediaan pakannya. Dalam penyediaan pakan harus diperhatikan
beberapa faktor, yaitu jumlah dan kualitas pakan, kemudahan untuk
menyediakannya, serta lama waktu pengambilan pakan yang berkaitan dengan jenis
ikan maupun umurnya. Jenis pakan yang diberikan
pada ikan berupa pakan alami maupun pakan buatan, dan ketersediaan pakan alami
merupakan faktor penting dalam usaha budidaya ikan khususnya pada kegiatan
pembenihannya.
Pakan alami
mencakup fitoplankton, zooplankton dan bentos. Fitoplankton, zooplankton dan
bentos berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam
amino yang lengkap serta mineral bagi larva atau benih ikan. Disamping
mengandung gizi yang lengkap dan mudah dicerna, pakan alami tidak mencemari
lingkungan perairan dan media pemeliharaan
Berbagai jenis
pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena pakan alami mengandung
semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang
bergerak tetapi tidak begitu aktif sehingga memungkinkan dan mempermudah
larva/benih ikan untuk memangsanya Untuk dapat menyediakan pakan alami dalam
jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, salah satu cara adalah
dengan mengkulturnya, Adapun jenis pakan alami yang dapat dibudidayakan antara
lain Daphnia sp dan cacing Tubifex sp (cacing rambut), jenis pakan alami ini mempunyai arti penting
dalam dunia budidaya, terutama untuk larva patin, lele, gurame dan glass eel. Ketersediaan Daphnia sp, moina dan cacing rambut (Tubifex sp) di masyarakat sangatlah penting sehingga perlu
dilakukan kultur pakan alam ini guna
menunjang kegitan perbenihan yang ada.
Gambar 1. Cacing Sutera (Tubifex sp) |
A. Klasifikasi Cacing Sutra
Tubifex
sp. dikenal dengan nama cacing sutra atau cacing rambut secara sistematika (Mueller,1774) mengklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Clitella
Sub Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Sub Ordo : Tubificina
Famili :
Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies
: Tubifex sp
B. Biologi dan Morfologi
Dalam ilmu
taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan ke dalam kelompok Nematoda, bentuk
tubuhnya yang panjang dan sangat halus. Tubifex sp. memiliki warna tubuh yang
dominan kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya 10 – 30 mm berwarna merah
kecoklatan, terdiri dari 30 – 60 segmen (Anonimous,
2003). Cacing rambut mempunyai dinding tebal terdiri dari 2 lapis otot membujur
dan melingkar sepanjang tubuhnya. Dari setiap segmen pada bagian punggung dan
perut, keluar seta dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut. saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai
dari mulut sampai anus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih
(2001), menyatakan spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil
mulai dari mulut sampai anus.
Menurut Pennak (1978),
Cacing sutra (Tubifex sp) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuhnya
kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis, pertukaran oksigen dan
karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung
pembuluh darah. Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di dasar
perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung
bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga
terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan
tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat
membantu fungsi pernafasan (Wilmoth, 1967). Hal yang sama juga disampaikan oleh
(Sugiarti et al., 2005) bahwa hampir semua oligochaeta bernafas dengan cara
difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan
insang. Cacing sutra ini bisa hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah,
bahkan beberapa jenis dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk
jangka waktu yang pendek. Cacing sutra dapat mengeluarkan bagian posteriornya
dari tabung, guna mendapatkan oksigen lebih banyak, apabila kandungan oksigen
dalam air sangat sedikit.
Cacing ini sangat senang hidup berkelompok
atau bergerombol karena masing-masing individu berkumpul menjadi koloni yang
sulit diurai dan saling berkaitan satu sama lainnya didasar perairan yang
banyak mengandung bahan organik terlarut. Tubifex sp. memiliki kandungan gizi
57% protein dan 13% lemak dalam tubuhnya (www.maswira.blogspod.com, 2009).
C. Habitat Cacing Sutra (Tubifex sp)
Cacing
sutra biasa hidup pada perairan-perairan jernih yang sedikit mengalir, dengan
dasar banyak bahan organik (Djarijah, 1996). Cacing rambut
dapat hidup di sungai atau danau bersedimen lembek. Cacing dewasa dapat
ditemukan dipermukaan sedimen dengan kedalaman 2 cm. Cacing rambut hidup
diperairan dengan kondisi dasar berpasir (41,4%), tanah halus (46,0%) dan
lempung (11,3%) (Brinkhurst dan Cook, 1974 dalam Sulmartiwi, 2004).
Penyebaran cacing
rambut ditentukan oleh kadar oksigen, lingkungan dan tipe dasar sedimen. Pada
kadar oksigen air 1,7 mg/l dan kecepatan arus 300 sampai 600 ml/menit
(Sulmartiwi , 2004) pertumbuhan populasi cacing paling tinggi. Menurut Gilbert
dan Granath (2003), Tubifex disebut juga cacing lumpur (sludge worm), cacing
limbah (sewage worm), ular kapur (lime snake), karena dapat hidup dengan baik
pada perairan yang banyak mengandung limbah dan endapan/sedimen lumpur organik
bahkan dapat hidup pada perairan yang sangat tercemar bahan organik yang hampir
tidak ada spesies lainnya dapat bertahan. Pembentukan kista pelindung dan
penurunan aktifitas metabolisme merupakan strategi hidup Tubifex untuk dapat
bertahan dalam kondisi kekeringan dan kekurangan makanan. Cacing
Tubifex sp memiliki oligochaeta yang bergerak dengan kontraksi peristaltik
(Seymur, 1969). Kontraksi otot melingkar dan pemanjangan segmen tubuh adalah
hal terpenting dalam merangkak berlahan dan selalu menghasilkan tekanan cairan
tubuh. Kontraksi otot memajang penting dalam menggali, memperluas galian atau
melekatkan diri pada dinding liang yang digali (Barnes, 1974).
Membenamkan
kepala merupakan kebiasaan cacing ini untuk mencari makan. Sementara itu,
ekornya yang mengarah ke permukaan air berfungsi untuk bernapas (Sitanggang, 2002 dalam
Sulmartiwi , 2004). Cacing ini hidup pada subtrat lumpur dengan
kedalaman 0 – 4 cm. Seperti hewan air lain maka air memegang peranan penting
buat kelangsungan hidup cacing ini. sifat hidup Cacing Tubifex sp
menunjukan organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam lumpur seperti
benang kusut dan kepala terkubur serta ekornya melambai-lambai dalam air
kemudian bergerak berputar-putar (Chekanovskaya, 1967).
D. Reproduksi dan Siklus Hidup
Khairuman dan Amri
(2002), menyatakan cacing sutra (Tubifex
sp) adalah termasuk organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini
terdapat 2 (dua) alat kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari
betina yang telah matang telur. Sama seperti cacing yang lain, spesies cacing Tubifex sp ini merupakan jenis
hermaprodit tetapi untuk mebuahi sel telurnya diperlukan sperma dari cacing
lainya dan berkembang biak dengan car bertelur dari betina yang telah matang
telur (Supeni et al., 1994).
Gambar 2. Siklus Hidup Tubifex sp |
Sedangkan menurut Chumaidi
dan Suprapto (1986), telur cacing sutra (Tubifex
sp) terjadi didalam kokon yaitu suatu bangunan berbentuk bangunan bulat
telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis
dari salah satu segmen tubuh yang disebut kitelum. Tubuhnya sepanjang 1-2 cm,
terdiri dari 30-60 segmen atau ruas. Telur yang ada didalam tubuh
mengalami pembelahan, selanjutnya berkembang membentuk segmen-segmen. Setelah
beberapa hari embrio cacing sutra (Tubifex
sp) akan keluar dari kokon.
Induk yang dapat
menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas menjadi tubifex
mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap kokon berkisar
antara 4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses perkembangbiakan telur di
dalam kokon sampai menetas menjadi embrio tubifex membutuhkan waktu sekitar
10-12 hari. Daur hidup cacing sutra dari telur, menetas hingga menjadi dewasa
serta mengeluarkan kokon dibutuhkan waktu sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008).
Cacing Tubifex sp dewasa dapat menghasilkan kista telurnya yang dapat bertahan
dalam kekeringan selam dua minggu dan lebih lama lagi pada daerah pembuangan
yang ditutupi oleh sampah (Arkhipova, 1996).
E.
Makan dan Kebiasaan Makan
Menurut Pennak (1978),
makanan oligochaeta akuatik sebagian besar terdiri dari ganggang berfilament,
diatom dan detritus berbagai tanaman dan hewan. Sebagian besar oligochaeta
memperoleh makanan dengan menyaring substrat seperti kebiasaan cacing yang
lain. Komponen organik pada substrat ditelan melalui saluran pencernaan. Cacing
ini memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat. Cacing
sutra mencari makan dengan cara masuk ke dalam sedimen, beberapa sentimeter di
bawah permukaan sedimen dan memilih bahan makanan yang kecil serta lembek
(Morgan, 1980 dalam Isyaturradhiyah, 1992).
Jumlah makanan yang
dikonsumsi sehari-hari oleh cacing sutra (Tubifex sp) adalah 2-8
kali bobot tubuh (Monakov, 1972). Menurut Pondubnaya dan Sorokin (1961) dalam
Monakov (1972) cacing tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah
permukaan pada kedalaman 2cm-5cm. Dijelaskan pula bahwa pada lapisan tersebut
banyak zat-zat makanan yang tertimbun akibat dekomposisi anaerobik. Selain
makanan, pertumbuhan populasi cacing sutra juga ditentukan oleh faktor–faktor
lain seperti ruang (tempat) dan lingkungan. Pennak (1978) dalam Febrianti
(2004) menyatakan bahwa tubificidae memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm
dari permukaan substrat.
Menurut (Gilbert
dan Granath 2003). Kebiasaan makan Tubifex
adalah dengan cara mencerna sedimen dan memperoleh nutrisi dengan mencerna
bakteri secara selektif dan menyerap molekul melalui dinding tubuh. Untuk
memacu pertumbuhan cacing sutra perlu penambahan pakan yang cukup. Cacing sutra
membutuhkan suplay pakan yang mengandung bahan organik tinggi sehingga
kebutuhan pakan bagi cacing sutra terpenuhi.
Kemudian
dinyatakan oleh Fadholi et al., (2001) bahwa cara makan Cacing Tubifex sp yaitu
dipermukaan atau didalam sedimen dengan membuat lubang berupa tabung dan
menyaring makanan atau mengumpulkan partikel halus dipermukaan. Makanan
tersebut dapat berupa bahan organik dan detritus.
E. Kualitas Air
Kualitas air media hidup
bagi cacing sutra memerlukan kondisi media yang sesuai dengan kondisinya di
alam, salah satunya oksigen, pH, suhu, kandungan nutrien, nitrogen dan karbon
yang mencukupi agar mendukung bagi kelangsungan hidup cacing sutra. Untuk
mendapat kondisi yang sesuai bagi kelangsungan hidup cacing sutra maka
diperlukan kisaran suhu yang optimal.
Cacing ini memiliki
toleran terhadap pH antara 5,5-7,5 dan 6,0-8,0 (Whitley, 1968). Oksigen terlarut
dalam suatu perairan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup cacing sutra
dalam media uji. Pada masa embrio cacing sutra membutuhkan oksigen berkisar
antara 2,5-7,0 ppm. Apabila kandungan oksigen rendah disuatu perairan kurang
dari 2 ppm, maka bisa menghambat aktivitas makan dan reproduksi cacing sutra.
Jika kadar oksigen mencapai lebih dari 3 ppm dapat meningkatkan populasi cacing
sutra (Marian dan Pandian).
Pada proses dekomposisi
bahan organik mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dalam
suatu rangkaian reaksi yang kompleks.
Pada proses ini melibatkan
enzim untuk mempercepat reaksi atau sebagai katalisator.
Proses respirasi oksigen
diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik oleh mikroorganisme. Beberapa
faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan organik yaitu suhu, setiap kenaikan
suhu 10 OC akan meningkatkan proses dekomposisi dan kosumsi oksigen
menjadi dua kali lipat. pH, proses dekomposisi bahan organik akan berlangsung
lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis. Pasokan oksigen, proses
dekomposisi secara aerob memerlukan oksigen secara terus-menerus. Kadar oksigen
yang rendah pada perairan akan membahayakan organisme akuatik karena akan
meningkatkan toksisitas (Effendi, 2003).
Oksigen terlarut
dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin, 2000).
Bahan organik merupakan
hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari
limbah domestik dan industri (Wardoyo, 1995). Pemecahan bahan organik diartikan
bahwa bahan ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya
diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973).
F. Tahapan Kegiatan Budidaya
Menurut Khairuman dkk,
2008, pembudidayaan sebaiknya dimulai secara bertahap yaitu dimulai dari
produksi dalam skala kecil untuk digunakan sebagai starter, baru dikultur dalam
skala besar. Adapun tahapan kegiatan kultur cacing Tubifex menurut (Rapiuddin,
dkk 2010) adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan
dibersihkan dari sampah, yang dapat menggau tumbuhnya cacing Tubifex.
2.
Pembuatan media kultur.
komposisi substrat yang digunakan pada kultur cacing tubifex
adalah sebagai berikut: Lumpur 87,8 % Pupuk organik 5,56 %g , Dedak halus 5,56
%, dan Tepung ikan/pellet 1,1 % dengan ketebalan substrat 7-10 cm. Bahan yang telah
disiapkan dicampur rata dan tebar secara merata pada bak atau media kultur yang
telah disiapkan.
3.
Pemasukan Air
Air dimasukkan secara
perlahan pada media kultur dengan mengatur debit air yang mengalir, yaitu
sekitar 200 ml/detik. Media direndam dan
di biarkan selama 4 hari supaya terjadi dekomposisi. Setelah terjadi dekomposisi diharapkan pakan
alami sudah mulai tumbuh dan cacing siap ditebar.
4.
Penebaran Bibit
Bibit tubifex ditimbang
sebanyak 100 gr/m2, lalu dimasukkan kedalam ember atau baskom kemudian disiram
air agar gumpalan buyar. Cacing tubifex
yang sudah terurai ini kemudian ditebar keseluruh permukaan pada media budidaya
secara merata. Seterusnya atur aliran air yang masuk kedalam media budidaya.
Dan terus dikontrol jangan sampai Media budidaya kering atau kelebihan air.
Setelah bibit atau starter ditebar kita tebar lagi ampas tahu pada permukaan
media dengan maksud untuk mempercepat proses tumbuhnya cacing Tubifex.
5.
Pemasangan Penutup media
penutup dipasang diatas
media kultur untuk menghindari cahaya matahari langsung.
6.
Pemeliharaan
Dalam masa pemeliharaan
yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan air dan pengelolaan pakan.
Pengelolaan air selama
pemeliharaan adalah sebagai berikut;
Debit air (Q) : 200
ml/detik = 1200 ml/menit
Volume air yang
digunakan/hari = 1728 l/hari
Persentase pergantian air 685,7%
Pengelolaan pakan ; waktu
pemberian pakan dimulai satu minggu setelah penebaran starter cacing Tubifex
yang ditandai dengan cacing tubifex mulai kelihatan dipermukaan substrat Masa
pemeliharaan cacing tubifex sekitar 3-4 minggu.
7.
Panen
Panen dilakukan dengan
cara panen selektif, yaitu dengan cara mengambil gumpalan cacing yang terlihat
pada permukaan media. Cacing tubifex yang sudah diangkat dari media kemudian di
cuci dan dibilas dengan air untuk membuang lumpurnya, kemuadian didiamkan pada
tempat yang gelap dan ditutup dengan kain agar cacing tubifex keluar dari
pori-pori kain dan sudah bersih 100%.
Selanjutnya cacing yang sudah bersih diangkat dan ditampung pada
steroform atau bak penampungan yang di
aliri air secara terus menerus.
Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kabupaten
Banyuwangi