Cherax albertisii mempunyai prospek yang cerah dalam
bisnis perikanan, karena permintaan
pasar terhadap Cherax sangat tinggi terutama untuk ukuran 5 –10 cm. Cherax mudah dibudidayakan, lokasi usaha
tidak perlu telalu luas, mempunyai harga yang tinggi, karena selain untuk
keperluan konsumsi juga sebagai udang hias dalam akuarium (Sukmajaya dan
Suharjo, 2005).
Keberhasilan budidaya Cherax bukan hanya dalam kegiatan
pembenihan dan pembesaran saja, melainkan juga pada kegiatan pendederan. Lamanya masa pendederan relatif singkat yaitu
selama 90 hari, dimana Cherax yang dihasilkan berukuran 3 – 5 cm dengan
bobot 2 – 6 g (maskur dkk, 2005).
Gambar 1. Cherax albertisii |
Masa kritis Cherax terjadi pada masa pendederan, yaitu pada saat Cherax pertama kali mengalami proses moulting. Dimana saat moulting kondisi tubuh Cherax sangat lemah sehingga kemungkinan tumbuhnya sifat kanibal antar Cherax sangat besar, hal tersebut menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat kelangsungan hidup Cherax.
Menurut Braindex (2005), klasifikasi lobster air tawar
jenis Cherax albertisii adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum : Arthopoda
Sub filum :
Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub Kelas :
Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Parastacidae
Genus : Cherax
Spesies :
Cherax albertisii
Secara morfologi, lobster air tawar memiliki ciri-ciri
morfologi tubuh terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian depan yang terdiri
dari kepala dan dada yang disebut Cephalothorax, sedangkan bagian
belakang terdiri dari badan dan ekor yang disebut abdomen (Wiyanto dan
Hartono, 2005). Sedangkan menurut Maskur dkk (2005), bahwa morfologi lobster
air tawar dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kepala dada (Cephalothorax),
bagian badan (abdomen), dan bagian ekor (telson).
Organ tubuh lobster air tawar memiliki beberapa alat
pelengkap yaitu sebagai berikut :
1.
Sepasang
antenna yang berperan sebagai perasa dan peraba terhadap pakan dan
kondisi lingkungan.
2.
Sepasang
antanela untuk mencium pakan, satu mulut, dan sepasang capit yang lebar
dan ukuran lebih
panjang dibandingkan dengan ruas dasar capitnya.
3.
Enam
ruas badan (abdomen) agak memipih dengan lebar badan rata-rata hampir
sama dengan lebar kepala.
4.
Bagian
ekor terdiri dari satu ekor tengah (telson) dan dua pasang ekor samping
(uropoda).
5.
Memiliki
enam pasang kaki renang (pleopoda) yang berperan melakukan gerakan
renang, sedangkan kaki renang pada induk betina yang sedang bertelur memiliki
karakteristik memberikan gerakan dengan tujuan meningkatkan oksigen terlarut
dan membersihkan telur atau larva dari tumpukan kotoran yang terendap.
6.
Memiliki
empat pasang kaki untuk berjalan (periopoda)
Gambar 2. Morfologi Cherax albertisii |
Sebagaimana diatas mengenai organ tubuh lobster, maka ciri-ciri khusus yang dapat membedakan Cherax albertisii dengan jenis Cherax lainnya yaitu : Warna badan biru kecoklatan, Kaki jalan dan kaki renang serta capit berwarna biru, bentuk capit relatif kecil, pada bagian rostrum terdapat dua gerigi, dan pada pangkal rostrum terdapat cekungan yang membentuk dua pasang carina (Maskur dkk, 2005). Berdasarkan warnanya sehingga nama lokal untuk lobster air tawar (Cherax albertisii) biasa disebut huna biru (Patasik, 2003).
1.
Habitat dan penyebaran
Lobster air tawar terdiri dari tiga keluarga besar, yaitu
Astacidae, Cambaridae, dan Parastacidae yang menyebar di
semua benua, kecuali Afrika dan Antartika (Patasik, 2005). Keluarga Astacidae
banyak ditemukan di perairan bagian barat Rocky Mountain di barat laut
Amerika Serikat sampai Kolombia, Kanada, dan juga di Eropa. Keluarga Cambaridae
banyak ditemukan dibagian timur Amerika Serikat (80 % dari spesies) dan bagian
selatan Meksiko, sementara keluarga Parastacidae ditemukan banyak hidup
di perairan Australia, Selandia Baru, dan Madagaskar (Wiyanto dan Hartono,
2005).
Spesies lobster air tawar
di Indonesia umumnya ditemukan didanau, rawa atau sungai air tawar yang
terletak di kawasan perairan Papua. Menurut Sabar (1975) dalam Sukmajaya
dan Suharjo (2005), ada 14 jenis lobster air tawar yang ditemukan di perairan
Papua (Merauke, Manokwari, Sorong, Paniai, Timika dan Jayawijaya), diantaranya
: C.albertisii, C.lorentzi,
C.misolinus, C.palidus, C.murido, C.buitendijkae, C.longipes, C.communis,
C.bosmae, C.paniaicus, C.solus, C.monticola, C.divergens, dan C.papuanus. Habitat C.albertisii.
Mengingat asal habitatnya di sungai dataran rendah, maka C.albertisii
lebih cocok hidup pada lingkungan air yang relatif hangat. Dari hasil kajian teknis budidaya jenis ini
dapat hidup dan berkembang pada suhu 22 – 29 0C (Sukmajaya, dkk.,
2004 dalam Maskur dkk,
2005). Secara khusus habitat alami yang
biasa ditempati lobster air tawar yaitu aliran air yang relatif dangkal pada
perairan tawar dengan dasar yang terdiri dari campuran lumpur, pasir dan
batuan. Selain itu ditumbuhi tanaman air
atau tanaman darat yang memiliki akar atau batang terendam air dan daunnya
terendam air di atas permukaan air.
2.
Sistem reproduksi dan siklus hidup
Proses perkembangbiakan Cherax, diawali dengan
induk betina menyiapkan telurnya untuk dibuahi oleh induk jantan. Kematangan telur betina dapat dilihat dari
perkembangan ovariumnya yang berada dibagian punggung. Sementara induk jantan
mempersiapkan kematangan sperma yang
ditentukan oleh perkembangan alat kelamin (petasma)
mengandung spermatophora.
Setelah matang gonad, induk jantan akan melakukan
perkawinan dengan induk betina. Dalam
beberapa waktu, telur akan dibuahi oleh sperma.
Pembuahan terjadi secara internal, yaitu sperma membuahi sel telur di
dalam tubuh induk betina.
Telur yang telah terbuahi berwarna kuning akan muncul dan
melekat di bagian bawah perut (brood chamber) induk betina, hingga akan
menetas telur berubah warna menjadi orange dan timbul bintik-bintik hitam
(Wiyanto dan Hartono, 2005). Telur yang
telah menetas menjadi benih, menempel pada rongga perut induknya atau masih
diasuh oleh induknya selama 1 – 2 minggu.
Gambar 3. Siklus Hidup Cherax albertisii |
3. Karakteristik dan tingkah laku
Sukmajaya
dan Suharjo (2005), menyatakan ciri-ciri khusus yang dimiliki lobster air tawar
yaitu :
1.
Seluruh
proses siklus hidup lobster air tawar dilaksanakan di air tawar.
2.
Memiliki
sistem pengeraman hingga telur menetas.
3.
Pengasuhan
benih dilakukan sejak benih masih memiliki kuning telur hingga berbentuk juvenil dengan ukuran
dan umur tertentu.
Kajian terhadap tingkah laku lobster air tawar di Kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa
umumnya lobster air tawar tidak
menentang arus (rheotaxis negatif), walaupun tampaknya lobster air tawar memerlukan tempat
yang berarus sesuai dengan habitat aslinya di sungai Baliem (Amarulah dkk.,
1984). Sedangkan tingkah laku lainnya
dari lobster air tawar menurut Wiyanto
dan Hartono (2005), yaitu :
1. Lobster air tawar tergolong sebagai
hewan pemakan segala (omnivora).
2.
Sering
melakukan pergantian kulit (moulting), pergantian kulit terjadi pada
umur 2 – 3 minggu dan sering terjadi pada lobster muda hingga sampai umur 6 – 7
bulan. Moulting berfungsi selain
untuk merangsang atau mempercepat pertumbuhan, juga untuk mempercepat proses
pematangan gonad pada induk dan menumbuhkan kembali bagian yang rusak atau
patah. Iskandar (2003), mengatakan
proses moulting juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan.
3.
Memiliki
sifat kanibal, yaitu suatu sifat yang suka memangsa jenis sendiri. Umumnya
sifat ini terjadi saat sedang ganti kulit dan juga saat persediaan makanan
kurang tersedia.
Menurut Jones (1990), Cherax tumbuh dan berkembang
dengan melalui proses moulting atau pergantian kulit. Moulting merupakan proses pergantian
kulit yang tua, yang selanjutnya akan tumbuh kulit yang baru menyesuaikan dengan
bentuk tubuh yang baru. Kulit yang baru
kondisinya masih lunak dan sangat lemah, pada proses menjadi keras Cherax
membutuhkan shellter sebagai tempat bersembunyi sehingga tidak dimakan
oleh Cherax lain.
Cherax bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan
pada malam hari, aktivitas terbesar pada Cherax berlangsung menjelang
malam. Suhu sangat mempengaruhi aktivitas Cherax, pada suhu yang ekstrim
metabolisme tidak berlangsung secara normal, pada kondisi lingkungan yang
demikian pertumbuhan Cherax terhambat dan dapat mengakibatkan kematian
(Fiona, 2000).
4.
Sarana Budidaya
Patasik (2005), menyatakan bahwa usaha yang sukses tidak
terlepas dari persiapan yang baik, begitu pula dalam usaha pendederan lobster
air tawar. Persiapan usaha terutama
pengadaan sarana dan prasarana, mutlak dilakukan jika ingin terjun dalam usaha
budidaya lobster air tawar. Persiapan sebelum kegiatan budidaya lobster air
tawar antara lain pengadaan wadah pemeliharaan, pengadaan peralatan pendukung,
serta penyediaan sumber air berkualitas sesuai kebutuhan.
A.
Wadah pemeliharaan
Wadah yang
digunakan dalam kegiatan pendederan lobster air tawar pada skala rumah
tangga, dapat berupa akuarium, bak fiber glass dan bak semen (Maskur
dkk, 2005)
1.
Akuarium,
dapat dirancang sendiri sesuai kebutuhan. Akuarium pemeliharaan benih dapat
dibuat dengan ukuran 100 cm x 75 cm x
25 cm, untuk mencegah lobster kabur disetiap bagian atas diding dipasang
kaca dengan lebar 5 – 8 cm (Wiyanto dan Hartono, 2005). Iskandar (2003), penggunaan akuarium sebagai
wadah pemeliharaan, selain ringkas dan tidak memakan tempat, juga memudahkan
pengontrolan dan pengawasan lobster.
2.
Bak fiber
glass yang digunakan dapat berbentuk bulat atau persegi, sesuai dengan
ketersedian wadah yang ada.
3. Bak semen, dibangun
dengan bahan campuran semen dan pasir.
Ukuran bak yang ideal sekitar 200 cm x 100 cm x 50 cm, bak terlalu luas
kurang baik karena sulit dalam pengontrolan saat ganti kulit.
B.
Peralatan pendukung
Beberapa peralatan pendukung yang harus dipersiapkan
dalam kegitan pemeliharaan lobster air
tawar, menurut Patasik (2005) antara
lain :
1.
Pompa
air, digunakan untuk suplai air ke bak-bak penampungan atau pemeliharaan.
2.
Aerator,
digunakan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam air selain itu dapat
berfungsi sebagai media pelepasan gas-gas beracun dalam air.
3.
Heater,
digunakan untuk menstabilkan suhu air pada kondisi optimal.
4.
Peralatan
pengukuran kualitas air seperti :
Pengukur suhu (thermometer), pengukur derajat keasaman (pH meter), pengukur
oksigen terlarut dalam air (DO meter).
5.
Perlengkapan
lain yang digunakan, seperti peralatan pembersih wadah pemeliharaan dan tabung
oksigen bila diperlukan saat mengirimkan benih.
6.
Tempat
persembunyian untuk lobster dapat dibuat dari batako berlubang, pipa paralon
dan kayu-kayu tua yang berlubang.
Penyedian tempat bersembunyi, dimasudkan agar lobster tidak diserang
atau dimakan oleh lobster lain saat mengalami proses moulting (Iskandar,
2003). Pada pemeliharaan benih,
penyediaan jumlah pipa paralon sebagai shellter harus jumlahnya mendekati sama banyak dengan
banyaknya benih (Wiyanto dan Hartono, 2005).
C.
Sumber air
Air menjadi kebutuhan utama dalam budidaya Cherax,
karena selain sebagai media internal (pengangkut bahan pakan dan memperlancar metabolisme
dalam tubuh lobster), air juga sebagai media eksternal (sebagai habitat) bagi
lobster (Wiyanto dan Hartono, 2005).
Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pemeliharaan lobster air tawar
antara lain air tanah (sumur), air sungai, dan air PAM (air ledeng).
1.
Air
tanah (sumur), sebelum digunakan air tanah sebaiknya di saring dengan kain kasa
dan di treatment aerasi untuk menghilangkan gas-gas beracun dan
meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air.
2.
Air
sungai, sebaiknya sebelum dipakai diendapkan agar jernih dan treatment aerasi
selama 5 jam dimasudkan agar air sungai tersebut kualitasnya baik dan siap
untuk dipakai.
3.
Air
PAM (air ledeng), pada pengelolaannya air ledeng tidak begitu sulit
dibandingkan air sungai dan air tanah, namun untuk meningkatkan kualitasnya
maka air ledeng harus di treatment aerasi juga selama 5 jam.
5.
Pemeliharaan Benih
Pendederan Cherax
albertisii atau huna biru, dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu pendederan
I dan pendederan II. Pendederan I
dilakukan pada di bak fiber glass ukuran 1 m3, dengan
kepadatan benih 1000 ekor per 300 liter dan lama pemeliharaan 30 hari. Pada
pendederan II kepadatan benih 400 ekor per 300 liter dan lama pemeliharaan 60
hari (Maskur dkk, 2005).
Menurut Sukmajaya
dan Suharjo (2005), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan
benih adalah kedalaman air, tingkat kepadatan, jenis dan ukuran pakan, kondisi
lingkungan, dan pencegahan serangan penyakit.
Secara alamiah semakin tinggi ukuran organisme yang dipelihara dalam
wadah, akan semakin rendah kepadatan penebarannya. Semakin tinggi kedalaman air dalam bak
pemeliharaan, akan semakin tinggi pula tekanan yang diberikan.
6.
Pemberian pakan
Seperti halnya manusia, lobster
air tawar juga memerlukan makanan sebagai sumber energi untuk proses
perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya.
Dalam hal ini menurut Iskandar (2003), bahwa pertumbuhan pada lobster air tawar ditentukan oleh pola pemberian
pakan yang sesuai dengan umurnya.
Lobster air tawar merupakan pemakan segalanya (omnivora)
baik bahan makan yang berasal dari bahan hewani seperti cacing sutera, cacing
tanah, plankton serta yang berasal dari bahan nabati seperti lumut, dan akar
selada. Namun kebutuhan pakan Cherax
sangat sedikit bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang besar, karena
kebutuhan pakannya hanya 2 – 3 g / hari yang digunakan untuk perkembangbiakan
dan pertumbuhan (Wiyanto dan Hartono, 2005).
Pakan yang baik untuk lobster air tawar, menurut
Sukmajaya dan Suharjo (2005), adalah udang segar, cacing tanah, pellet udang
komersial, dan ubi jalar. Sedangkan
standar kandungan protein dalam pakan yang diberikan memiliki nilai optimum 35
– 40 %, selain itu dosis yang diberikan adalah 3 % dari bobot badan dengan
frekuensi tiga kali/hari, sebaiknya presentasi pakan yang tinggi diberikan pada
malam hari karena lobster bersifat nocturnal atau aktif dimalam hari
dari pada disiang hari.
Masa kritis larva lobster
air tawar menurut Patasik (2005), yaitu setelah larva lepas dari induknya
karena larva akan berenang mencari makan, sehingga peranan pakan tambahan
sangat penting agar sebagai tindakan pencegahan timbulnya sifat kanibal pada
larva. Pakan yang diberikan pada larva
saat itu dapat berupa kuning telur yang diencerkan dan disaring, sedangkan pada
umur lebih dari 10 hari larva diberikan pakan berupa pasta yang bahan
penyusunnya terdiri dari telur ayam, daging cumi-cumi, vitamin dan tepung
ikan.
Masa kritis larva dianggap berlalu jika benih telah
melewati moulting pertama, yaitu setelah umur 20 hari setelah
menetas. Salah satu hal yang harus
dicermati pada saat moulting pertama adalah sifat kanibal, karena saat moulting
benih akan mengeluarkan aroma yang khas sehingga merangsang larva lain untuk
memangsa. Umumnya sebagai tindakan
pencegahan untuk menghindari terjadi kanibalisme dengan pemberian pakan yang
tepat waktu dan dosis sesuai serta pengontrolan (Patasik, 2005).
7.
Pertumbuhan
Istilah sederhana pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai
pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan
bagi populasi yaitu sebagai pertambahan jumlah (Effendie, 1997). Menurut Fujimura (1970) dalam Sianipar
(2004), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan benih udang adalah :
(1) umur, (2) jenis kelamin, (3) kemampuan mendapatkan makanan, (4) daya tahan
terhadap penyakit, (5) daya adaptasi terhadap lingkungan, (6) adanya tempat
berlindung, (7) adanya predator, (8) pemberian pakan yang cukup, (9) suhu air,
dan (10) padat penebaran.
Pemberian pakan yang sesuai pada Cherax, dapat
merangsang proses moulting serta merangsang kematangan gonad induk.
Selain itu dapat berfungsi untuk menumbuhkan kembali bagian-bagian tubuh yang
patah atau rusak. Frekuensi moulting
pada lobster air tawar muda (juvenil) terjadi satu kali setiap 10 hari,
pada pra-dewasa antara 4 – 5 kali / tahun, sedangkan pada Cherax dewasa
antara 1 – 2 kali per tahun.
Pemeliharaan C.albertisii yang dilakukan pada masa
pendederan I sampai benih berukuran 1 – 2 cm dengan berat 0,05 – 0,1 g,
sedangkan pada pendederan II larva dipelihara sampai mencapai ukuran 3 – 5 cm
dengan berat mencapai 2 – 6 g. Bila C.albertisii
dipelihara untuk ukuran konsumsi atau calon induk maka pemanenan dilakukan pada
ukuran 9 – 28 g dengan lama
pemeliharaan selama 5 bulan dimulai sejak akhir masa pendederan II (Maskur dkk,
2005).
8.
Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup suatu biota budidaya selalu berkaitan
erat dengan jumlah yang bertahan hidup (survival) dan jumlah yang mati
selama masa pemeliharaan (mortalitas).
Menurut Effendie (1997), metode yang umum untuk mengetahui survival
organisme yaitu dengan membandingkan jumlah organisme yang hidup pada akhir
periode pemeliharaan dengan jumlah organisme yang hidup di awal periode pemeliharaan.
Tinggi rendahnya persentase kelangsungan hidup
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, jumlah populasi, kemampuan menyesuaikan
diri dengan lingkungan, umur, ketersediaan makanan dan faktor penanganan
(Royce, 1984). Menurut Maskur dkk (2005), bahwa sintasan benih atau
kelangsungan hidup C.albertisii pada
pendederan I 60 – 70 %, untuk pendederan
II juga 60 – 70 %, sedangkan sintasan saat panen untuk ukuran induk atau untuk
konsumsi yaitu antara 40 – 60 %.
9.
Kualitas air
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, mengelompokan
kualitas air pada golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan
perikanan dan peternakan. Dimana salah
satu dari tujuan pemantauan kualitas air, yaitu Establishing Water-Quality
Criteria yakni bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara
perubahan variabel-variabel ekologi perairan dengan parameter fisika dan kimia,
untuk mendapatkan baku mutu kualitas air (Effendi, 2003).
Beberapa faktor fisika dan kimia air yang perlu
diperhatikan pada kegiatan pendederan lobster air tawar, meliputi :
a. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang dapat
mempengaruhi aktifitas fisiologis, pertumbuhan, kelangsungan hidup, reproduksi,
tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang (Martosudarmo dan
Ranoemihardjo, 1980).
b. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut dalam air merupakan unsur penting dalam
proses metabolisme dan respirasi udang (Wardoyo, 1997). Menurut Howkins (1981) dalam Sianipar
(2004), bahwa jumlah oksigen terlarut dalam perairan dipengaruhi oleh tingkat
suhu dan salinitas perairan, kelarutan oksigen akan menurun dengan meningkatnya
suhu air.
c. Derajat keasaman (pH)
Nilai derajat keasaman menggambarkan keberadaan ion hidrogen dalam air, yang diklasifikasikan bila pH 7 (netral),
bila kurang dari 7 air bersifat asam dan bila lebih dari 7 air bersifat basa,
dimana kisaran pH 0 – 14 (Effendi,
2003). Nilai pH akan meningkat, bila banyak ditemukan amoniak yang tak
terionisasi dan bersifat toksik.
Air dalam kegiatan budidaya lobster air tawar, sangat berperan penting sebagai media
internal dan eksternal bagi lobster
air tawar. Sebagai media internal
air berfungsi sebagai pengangkutan bahan makanan dan memperlancar metabolisme
dalam tubuh, sedangkan sebagai media eksternal air berfungsi habitat
lobster.
Kualitas air yang baik untuk kehidupan lobster air tawar yaitu pada suhu 20
– 29 oC, pH 7 – 8, kandungan oksigen terlarut (DO) minimal 3 ppm (Wiyanto dan Hartono, 2005). Untuk pengontrolan kualitas air sebaiknya
dilakukan penggantian air sebanyak 50 %
dari volume air yang ada dengan cara penyiponan sisa pakan.
10.
Hama dan Penyakit
Pencegahan penyakit menurut Sukmajaya dan Suharjo (2005)
dapat dilakukan melalui penggunaan wadah yang steril, sebelum menggunakan wadah
dilakukan pengeringan dibawah sinar matahari hingga kering. Kemudian wadah direndam menggunakan methylene blue
dengan dosis 10 mg/l selama 24 jam, atau perendaman dengan menggunakan garam
dengan dosis 2 – 3 mg/l serta cara
pencegahan lain dengan penggunaan sinar ultraviolet pada sterilisasi air
pemeliharaan lobster.
Penyebab timbulnya penyakit dapat disebabkan oleh
rendahnya kualitas pakan, sehingga pakan mudah ditumbuhi jamur atau pakan cacing
yang tidak bersih. Pencegahannya dengan
meningkatkan kualitas pakan dengan menyimpan pakan ditempat tertutup sehingga
terbebas dari jamur serta pencucian pakan cacing sebelum diberikan pada benih
(Wiyanto dan Hartono, 2005).
11. Permasalahan dalam Kegiatan Budidaya lobster air tawar
Menurut Sukmajaya dan Suharjo (2005), permasalahan yang
dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya lobster air tawar yaitu :
1.
Belum
banyak ilmu pengetahuan alam khususnya biologi perikanan, yang membahas
berbagai spesies dalam genus Cherax
di habitat aslinya
2.
Belum
berkembangnya pengetahuan tentang teknik adaptasi dalam usaha domestikasi
lobster air tawar yang berasal dari habitat alam
3.
Belum
banyak diketahui teknik seleksi induk dan pemeliharaan benih
4. Masyarakat
petani ikan belum banyak yang memahami teknik pengadaptasian, pengelolaan calon
induk, pengelolaan induk, produksi benih, pemanenan, serta pengangkutan induk
dan benih.
Secara teknis permasalahan yang dihadapi selama masa pemeliharaan benih, yaitu timbulnya sifat kanibal yang terjadi umumnya pada saat benih pertama kali moulting dan bila benih kekurangan pakan. Selain itu sifat kanibal terjadi bila kepadatan tinggi, serta kurangnya shellter sebagai tempat berlindung bagi benih saat moulting.
Secara teknis permasalahan yang dihadapi selama masa pemeliharaan benih, yaitu timbulnya sifat kanibal yang terjadi umumnya pada saat benih pertama kali moulting dan bila benih kekurangan pakan. Selain itu sifat kanibal terjadi bila kepadatan tinggi, serta kurangnya shellter sebagai tempat berlindung bagi benih saat moulting.
DAFTAR PUSTAKA
Amarullah,
M.H., R.S. Aliah, F. Sabar, D.I. Hartoto, Kusmiati, D. Wowor, S. Irawati, I.
Racmatika, M. Surachman, M. Siluba, dan M. Pranowo. 1984. Pengkajian
Ekologi Udi, Cherax monticola Sebagai Dasar Teknik Budidaya. Progress Report. Kerjasama Pengkajian dan Penerapan Teknologi
dengan Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Jakarta.
Braindex.
2005. Cherax Scientific Classification.
Departemen
Kelautan Dan Perikanan. 2003. Pedoman Investasi Komoditas Udang
Indonesia. Jakarta.
Effendie, M.I.
1997. Biologi Perikanan. Yayasan
Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Effendi,
H. 2003.
Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Fiona, W. 2000. Biology
Of Yabbies (Cherax destructor). June 2000 AS0004 ISSN 1441-1199. Melbourne.
Iskandar. 2003. Budidaya Lobster Air Tawar. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Jones, C. 1990. Crayfish
Biology – Getting Down To Basics.
Australia Fisheries Aquaculture Species : Redclaw.
Kantor
Stastistik Daerah Kabupaten Merauke.
2004. Merauke Dalam Angka
(Merauke In Figures). BPS Kabupaten
Merauke.
Kusmini, I.
I. 2004.
Bio Reproduksi Cherax albertisii Asal Papua dan Cherax
quadricarinatus Asal Australia.
Instalasi Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar. Depok.
Martosudarmo,
B dan Ranoemihardjo, B.S. 1980. Biologi
Udang Penaeid. Balai Budidaya Air
Payau. Jepara.
Maskur, Y.
Sukmajaya, E. Mudjiutami dan Murtiani.
2005. Domestikasi Cherax albertisii dan Pengembangannya di Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Jakarta.
Patasik,
S. 2003.
Iventarisasi Potensi Pengembangan
Udang Cherax spp. Di Kabupaten Jayawijaya. Dinas Perikanan Kabupaten
Jayawijaya. Papua.
. 2005. Pembenihan Lobster Air Tawar Lokal
Papua. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Royce,
W.F. 1984. Introduction
to The Fisheries Science. Academi
Press. New York.
Sianipar,
E.P. 2004. Pengaruh
Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Lobster Air Tawar Red
Claw (Cherax quadricarinatus). Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan
Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sukmajaya, Y
dan I. Suharjo. 2005. Lobster
Air Tawar Komoditas Perikanan Prospektif.
Agro Media Pustaka. Jakarta.
Varreth,
J. 2000.
Fish Nutrition. Fish Culture and Fisheries Group. Wageningen University.
Wardoyo,
STH. 1997. Pengelolaan
Kualitas Air Tambak Udang. Makalah
Seminar Latihan Manajemen Tambak Udang dan Hatchery. Jurusan Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
Wiyanto, R.H.
dan R. Hartono. 2005. Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh
Perikanan Kabupaten Banyuwangi