Senin, 10 September 2018

Budidaya Lobster Cherax albertisii



Cherax albertisii mempunyai prospek yang cerah dalam bisnis perikanan,  karena permintaan pasar terhadap Cherax sangat tinggi terutama untuk ukuran 5 –10 cm.  Cherax mudah dibudidayakan, lokasi usaha tidak perlu telalu luas, mempunyai harga yang tinggi, karena selain untuk keperluan konsumsi juga sebagai udang hias dalam akuarium (Sukmajaya dan Suharjo, 2005).
Keberhasilan budidaya Cherax bukan hanya dalam kegiatan pembenihan dan pembesaran saja, melainkan juga pada kegiatan pendederan.  Lamanya masa pendederan relatif singkat yaitu selama 90 hari, dimana Cherax yang dihasilkan berukuran 3 – 5 cm dengan bobot    2 – 6 g (maskur dkk, 2005). 

Gambar 1. Cherax albertisii

Masa  kritis Cherax terjadi pada masa pendederan, yaitu pada saat  Cherax pertama kali mengalami proses moulting.  Dimana saat moulting kondisi tubuh Cherax sangat lemah sehingga kemungkinan tumbuhnya sifat kanibal antar Cherax sangat besar, hal tersebut menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat kelangsungan hidup Cherax.
Menurut Braindex (2005), klasifikasi lobster air tawar jenis Cherax albertisii adalah sebagai berikut :
Kingdom             :  Animalia
Filum                  :  Arthopoda
Sub filum            :  Mandibulata
Kelas                  :  Crustacea
Sub Kelas           :  Malacostraca
Ordo                   :  Decapoda
Famili                 :  Parastacidae
Genus                :  Cherax
Spesies              :  Cherax albertisii

Secara morfologi, lobster air tawar memiliki ciri-ciri morfologi tubuh terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian depan yang terdiri dari kepala dan dada yang disebut Cephalothorax, sedangkan bagian belakang terdiri dari badan dan ekor yang disebut abdomen (Wiyanto dan Hartono, 2005). Sedangkan menurut Maskur dkk (2005), bahwa morfologi lobster air tawar dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kepala dada (Cephalothorax), bagian badan (abdomen­), dan bagian ekor (telson).
Organ tubuh lobster air tawar memiliki beberapa alat pelengkap yaitu sebagai berikut :
1. Sepasang antenna yang berperan sebagai perasa dan peraba terhadap pakan dan kondisi lingkungan.
2. Sepasang antanela untuk mencium pakan, satu mulut, dan sepasang capit yang lebar dan ukuran lebih panjang dibandingkan dengan ruas dasar capitnya.
3. Enam ruas badan (abdomen) agak memipih dengan lebar badan rata-rata hampir sama dengan lebar kepala.
4. Bagian ekor terdiri dari satu ekor tengah (telson) dan dua pasang ekor samping (uropoda).
5. Memiliki enam pasang kaki renang (pleopoda) yang berperan melakukan gerakan renang, sedangkan kaki renang pada induk betina yang sedang bertelur memiliki karakteristik memberikan gerakan dengan tujuan meningkatkan oksigen terlarut dan membersihkan telur atau larva dari tumpukan kotoran yang terendap.
6. Memiliki empat pasang kaki untuk berjalan (periopoda)

Gambar 2. Morfologi Cherax albertisii

Sebagaimana diatas mengenai organ tubuh lobster, maka  ciri-ciri khusus yang dapat membedakan Cherax albertisii dengan jenis Cherax lainnya   yaitu :  Warna badan biru kecoklatan, Kaki jalan dan kaki renang serta capit berwarna biru, bentuk capit relatif kecil, pada bagian rostrum terdapat dua gerigi, dan pada pangkal rostrum terdapat cekungan yang membentuk dua pasang carina (Maskur dkk, 2005). Berdasarkan warnanya sehingga nama lokal untuk lobster air tawar (Cherax albertisii) biasa disebut huna biru (Patasik, 2003). 


1. Habitat dan penyebaran
Lobster air tawar terdiri dari tiga keluarga besar, yaitu Astacidae, Cambaridae, dan Parastacidae yang menyebar di semua benua, kecuali Afrika dan Antartika (Patasik, 2005). Keluarga Astacidae banyak ditemukan di perairan bagian barat Rocky Mountain di barat laut Amerika Serikat sampai Kolombia, Kanada, dan juga di Eropa. Keluarga Cambaridae banyak ditemukan dibagian timur Amerika Serikat (80 % dari spesies) dan bagian selatan Meksiko, sementara keluarga Parastacidae ditemukan banyak hidup di perairan Australia, Selandia Baru, dan Madagaskar (Wiyanto dan Hartono, 2005).
Spesies lobster air tawar  di Indonesia umumnya ditemukan didanau, rawa atau sungai air tawar yang terletak di kawasan perairan Papua. Menurut Sabar (1975) dalam Sukmajaya dan Suharjo (2005), ada 14 jenis lobster air tawar yang ditemukan di perairan Papua (Merauke, Manokwari, Sorong, Paniai, Timika dan Jayawijaya), diantaranya :  C.albertisii, C.lorentzi, C.misolinus, C.palidus, C.murido, C.buitendijkae, C.longipes, C.communis, C.bosmae, C.paniaicus, C.solus, C.monticola, C.divergens, dan C.papuanus.  Habitat C.albertisii.
Mengingat asal habitatnya di sungai dataran rendah, maka C.albertisii lebih cocok hidup pada lingkungan air yang relatif hangat.  Dari hasil kajian teknis budidaya jenis ini dapat hidup dan berkembang pada suhu 22 – 29 0C (Sukmajaya, dkk., 2004 dalam  Maskur dkk, 2005).   Secara khusus habitat alami yang biasa ditempati lobster air tawar yaitu aliran air yang relatif dangkal pada perairan tawar dengan dasar yang terdiri dari campuran lumpur, pasir dan batuan.  Selain itu ditumbuhi tanaman air atau tanaman darat yang memiliki akar atau batang terendam air dan daunnya terendam air di atas permukaan air.

2. Sistem reproduksi dan siklus hidup
Proses perkembangbiakan Cherax, diawali dengan induk betina menyiapkan telurnya untuk dibuahi oleh induk jantan.  Kematangan telur betina dapat dilihat dari perkembangan ovariumnya yang berada dibagian punggung. Sementara induk jantan mempersiapkan  kematangan sperma yang ditentukan oleh perkembangan alat kelamin (petasma) mengandung spermatophora.
Setelah matang gonad, induk jantan akan melakukan perkawinan dengan induk betina.  Dalam beberapa waktu, telur akan dibuahi oleh sperma.  Pembuahan terjadi secara internal, yaitu sperma membuahi sel telur di dalam tubuh induk betina. 
Telur yang telah terbuahi berwarna kuning akan muncul dan melekat di bagian bawah perut (brood chamber) induk betina, hingga akan menetas telur berubah warna menjadi orange dan timbul bintik-bintik hitam (Wiyanto dan Hartono, 2005).  Telur yang telah menetas menjadi benih, menempel pada rongga perut induknya atau masih diasuh oleh induknya selama 1 – 2 minggu. 

Gambar 3. Siklus Hidup Cherax albertisii


3. Karakteristik dan tingkah laku
Sukmajaya dan Suharjo (2005), menyatakan ciri-ciri khusus yang dimiliki lobster air tawar yaitu :
1. Seluruh proses siklus hidup lobster air tawar dilaksanakan di air tawar.
2. Memiliki sistem pengeraman hingga telur menetas.
3. Pengasuhan benih dilakukan sejak benih masih memiliki kuning telur  hingga berbentuk juvenil dengan ukuran dan umur tertentu.

Kajian terhadap tingkah laku lobster air tawar di Kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa umumnya lobster air tawar tidak menentang arus (rheotaxis negatif), walaupun tampaknya lobster air tawar memerlukan tempat yang berarus sesuai dengan habitat aslinya di sungai Baliem (Amarulah dkk., 1984).  Sedangkan tingkah laku lainnya dari lobster air tawar menurut  Wiyanto dan Hartono (2005), yaitu :
1. Lobster air tawar tergolong sebagai hewan pemakan segala (omnivora).
2. Sering melakukan pergantian kulit (moulting), pergantian kulit terjadi pada umur 2 – 3 minggu dan sering terjadi pada lobster muda hingga sampai umur 6 – 7 bulan.  Moulting berfungsi selain untuk merangsang atau mempercepat pertumbuhan, juga untuk mempercepat proses pematangan gonad pada induk dan menumbuhkan kembali bagian yang rusak atau patah.  Iskandar (2003), mengatakan proses moulting juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan.
3. Memiliki sifat kanibal, yaitu suatu sifat yang suka memangsa jenis sendiri. Umumnya sifat ini terjadi saat sedang ganti kulit dan juga saat persediaan makanan kurang tersedia.

Menurut Jones (1990), Cherax tumbuh dan berkembang dengan melalui proses moulting atau pergantian kulit.  Moulting merupakan proses pergantian kulit yang tua, yang selanjutnya akan tumbuh kulit yang baru menyesuaikan dengan bentuk tubuh yang baru.  Kulit yang baru kondisinya masih lunak dan sangat lemah, pada proses menjadi keras Cherax membutuhkan shellter sebagai tempat bersembunyi sehingga tidak dimakan oleh Cherax lain.
Cherax bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam hari, aktivitas terbesar pada Cherax berlangsung menjelang malam. Suhu sangat mempengaruhi aktivitas Cherax, pada suhu yang ekstrim metabolisme tidak berlangsung secara normal, pada kondisi lingkungan yang demikian pertumbuhan Cherax terhambat dan dapat mengakibatkan kematian (Fiona, 2000).

4. Sarana Budidaya
Patasik (2005), menyatakan bahwa usaha yang sukses tidak terlepas dari persiapan yang baik, begitu pula dalam usaha pendederan lobster air tawar.  Persiapan usaha terutama pengadaan sarana dan prasarana, mutlak dilakukan jika ingin terjun dalam usaha budidaya lobster air tawar. Persiapan sebelum kegiatan budidaya lobster air tawar antara lain pengadaan wadah pemeliharaan, pengadaan peralatan pendukung, serta penyediaan sumber air berkualitas sesuai kebutuhan.

A. Wadah pemeliharaan
Wadah yang  digunakan dalam kegiatan pendederan lobster air tawar pada skala rumah tangga, dapat berupa akuarium, bak fiber glass dan bak semen (Maskur dkk, 2005)
1. Akuarium, dapat dirancang sendiri sesuai kebutuhan. Akuarium pemeliharaan benih dapat dibuat dengan ukuran 100 cm x 75 cm x    25 cm, untuk mencegah lobster kabur disetiap bagian atas diding dipasang kaca dengan lebar 5 – 8 cm (Wiyanto dan Hartono, 2005).  Iskandar (2003), penggunaan akuarium sebagai wadah pemeliharaan, selain ringkas dan tidak memakan tempat, juga memudahkan pengontrolan dan pengawasan lobster.
2. Bak fiber glass yang digunakan dapat berbentuk bulat atau persegi, sesuai dengan ketersedian wadah yang ada.
3. Bak semen, dibangun dengan bahan campuran semen dan pasir.   Ukuran bak yang ideal sekitar 200 cm x 100 cm x 50 cm, bak terlalu luas kurang baik karena sulit dalam pengontrolan saat ganti kulit.  

B. Peralatan pendukung
Beberapa peralatan pendukung yang harus dipersiapkan dalam kegitan pemeliharaan  lobster air tawar, menurut  Patasik (2005) antara lain :
1. Pompa air, digunakan untuk suplai air ke bak-bak penampungan atau pemeliharaan.
2. Aerator, digunakan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam air selain itu dapat berfungsi sebagai media pelepasan gas-gas beracun dalam air.
3. Heater, digunakan untuk menstabilkan suhu air pada kondisi optimal.
4. Peralatan pengukuran kualitas air seperti :  Pengukur suhu (thermometer), pengukur derajat keasaman (pH meter), pengukur oksigen terlarut dalam air (DO meter).
5. Perlengkapan lain yang digunakan, seperti peralatan pembersih wadah pemeliharaan dan tabung oksigen bila diperlukan saat mengirimkan benih.
6. Tempat persembunyian untuk lobster dapat dibuat dari batako berlubang, pipa paralon dan kayu-kayu tua yang berlubang.  Penyedian tempat bersembunyi, dimasudkan agar lobster tidak diserang atau dimakan oleh lobster lain saat mengalami proses moulting (Iskandar, 2003).  Pada pemeliharaan benih, penyediaan jumlah pipa paralon  sebagai shellter  harus jumlahnya mendekati sama banyak dengan banyaknya benih (Wiyanto dan Hartono, 2005).

C. Sumber air
Air menjadi kebutuhan utama dalam budidaya Cherax, karena selain sebagai media internal (pengangkut bahan pakan dan memperlancar metabolisme dalam tubuh lobster), air juga sebagai media eksternal (sebagai habitat) bagi lobster (Wiyanto dan Hartono, 2005).   Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pemeliharaan lobster air tawar antara lain air tanah (sumur), air sungai, dan air PAM (air ledeng).
1. Air tanah (sumur), sebelum digunakan air tanah sebaiknya di saring dengan kain kasa dan di treatment aerasi untuk menghilangkan gas-gas beracun dan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air.
2. Air sungai, sebaiknya sebelum dipakai diendapkan agar jernih dan treatment aerasi selama 5 jam dimasudkan agar air sungai tersebut kualitasnya baik dan siap untuk dipakai.
3. Air PAM (air ledeng), pada pengelolaannya air ledeng tidak begitu sulit dibandingkan air sungai dan air tanah, namun untuk meningkatkan kualitasnya maka air ledeng harus di treatment aerasi juga selama 5  jam.


5. Pemeliharaan Benih
Pendederan Cherax albertisii atau huna biru, dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu pendederan I dan pendederan II.   Pendederan I dilakukan pada di bak fiber glass ukuran 1 m3, dengan kepadatan benih 1000 ekor per 300 liter dan lama pemeliharaan 30 hari. Pada pendederan II kepadatan benih 400 ekor per 300 liter dan lama pemeliharaan 60 hari (Maskur dkk, 2005).
Menurut  Sukmajaya dan Suharjo (2005), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan benih adalah kedalaman air, tingkat kepadatan, jenis dan ukuran pakan, kondisi lingkungan, dan pencegahan serangan penyakit.  Secara alamiah semakin tinggi ukuran organisme yang dipelihara dalam wadah, akan semakin rendah kepadatan penebarannya.  Semakin tinggi kedalaman air dalam bak pemeliharaan, akan semakin tinggi pula tekanan yang diberikan.

6. Pemberian pakan
Seperti halnya manusia, lobster air tawar juga memerlukan makanan sebagai sumber energi untuk proses perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya.  Dalam hal ini menurut Iskandar (2003), bahwa pertumbuhan  pada lobster air tawar ditentukan oleh pola pemberian pakan yang sesuai dengan umurnya.
Lobster air tawar merupakan pemakan segalanya (omnivora) baik bahan makan yang berasal dari bahan hewani seperti cacing sutera, cacing tanah, plankton serta yang berasal dari bahan nabati seperti lumut, dan akar selada.  Namun kebutuhan pakan Cherax sangat sedikit bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang besar, karena kebutuhan pakannya hanya 2 – 3 g / hari yang digunakan untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan (Wiyanto dan Hartono, 2005).
Pakan yang baik untuk lobster air tawar, menurut Sukmajaya dan Suharjo (2005), adalah udang segar, cacing tanah, pellet udang komersial, dan ubi jalar.  Sedangkan standar kandungan protein dalam pakan yang diberikan memiliki nilai optimum 35 – 40 %, selain itu dosis yang diberikan adalah 3 % dari bobot badan dengan frekuensi tiga kali/hari, sebaiknya presentasi pakan yang tinggi diberikan pada malam hari karena lobster bersifat nocturnal atau aktif dimalam hari dari pada disiang hari.
Masa kritis larva lobster air tawar menurut Patasik (2005), yaitu setelah larva lepas dari induknya karena larva akan berenang mencari makan, sehingga peranan pakan tambahan sangat penting agar sebagai tindakan pencegahan timbulnya sifat kanibal pada larva.  Pakan yang diberikan pada larva saat itu dapat berupa kuning telur yang diencerkan dan disaring, sedangkan pada umur lebih dari 10 hari larva diberikan pakan berupa pasta yang bahan penyusunnya terdiri dari telur ayam, daging cumi-cumi, vitamin dan tepung ikan. 
Masa kritis larva dianggap berlalu jika benih telah melewati moulting pertama, yaitu setelah umur 20 hari setelah menetas.  Salah satu hal yang harus dicermati pada saat moulting pertama adalah sifat kanibal, karena saat moulting benih akan mengeluarkan aroma yang khas sehingga merangsang larva lain untuk memangsa.  Umumnya sebagai tindakan pencegahan untuk menghindari terjadi kanibalisme dengan pemberian pakan yang tepat waktu dan dosis sesuai serta pengontrolan (Patasik, 2005).
     
7. Pertumbuhan
Istilah sederhana pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi yaitu sebagai pertambahan jumlah (Effendie, 1997).  Menurut Fujimura (1970) dalam Sianipar (2004), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan benih udang adalah : (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) kemampuan mendapatkan makanan, (4) daya tahan terhadap penyakit, (5) daya adaptasi terhadap lingkungan, (6) adanya tempat berlindung, (7) adanya predator, (8) pemberian pakan yang cukup, (9) suhu air, dan (10) padat penebaran.
Pemberian pakan yang sesuai pada Cherax, dapat merangsang proses moulting serta merangsang kematangan gonad induk. Selain itu dapat berfungsi untuk menumbuhkan kembali bagian-bagian tubuh yang patah atau rusak.  Frekuensi moulting pada lobster air tawar muda (juvenil) terjadi satu kali setiap 10 hari, pada pra-dewasa antara 4 – 5 kali / tahun, sedangkan pada Cherax dewasa antara 1 – 2 kali per tahun.
Pemeliharaan C.albertisii yang dilakukan pada masa pendederan I sampai benih berukuran 1 – 2 cm dengan berat 0,05 – 0,1 g, sedangkan pada pendederan II larva dipelihara sampai mencapai ukuran 3 – 5 cm dengan berat mencapai 2 – 6 g.  Bila C.albertisii dipelihara untuk ukuran konsumsi atau calon induk maka pemanenan dilakukan pada ukuran        9 – 28 g dengan lama pemeliharaan selama 5 bulan dimulai sejak akhir masa pendederan II (Maskur dkk, 2005).

8. Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup suatu biota budidaya selalu berkaitan erat dengan jumlah yang bertahan hidup (survival) dan jumlah yang mati selama masa pemeliharaan (mortalitas).   Menurut Effendie (1997), metode yang umum untuk mengetahui survival organisme yaitu dengan membandingkan jumlah organisme yang hidup pada akhir periode pemeliharaan dengan jumlah organisme yang hidup di awal periode pemeliharaan.
Tinggi rendahnya persentase kelangsungan hidup dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, jumlah populasi, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, umur, ketersediaan makanan dan faktor penanganan (Royce, 1984).  Menurut  Maskur dkk (2005), bahwa sintasan benih atau kelangsungan hidup C.albertisii pada pendederan I 60 – 70 %, untuk  pendederan II juga 60 – 70 %, sedangkan sintasan saat panen untuk ukuran induk atau untuk konsumsi yaitu antara 40 – 60 %.

9. Kualitas air
Berdasarkan  Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, mengelompokan kualitas air pada golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.  Dimana salah satu dari tujuan pemantauan kualitas air, yaitu Establishing Water-Quality Criteria yakni bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara perubahan variabel-variabel ekologi perairan dengan parameter fisika dan kimia, untuk mendapatkan baku mutu kualitas air (Effendi, 2003).
Beberapa faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan pada kegiatan pendederan lobster air tawar, meliputi :
a. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang dapat mempengaruhi aktifitas fisiologis, pertumbuhan, kelangsungan hidup, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980).  
b. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut dalam air merupakan unsur penting dalam proses metabolisme dan respirasi udang (Wardoyo, 1997).  Menurut Howkins (1981) dalam Sianipar (2004), bahwa jumlah oksigen terlarut dalam perairan dipengaruhi oleh tingkat suhu dan salinitas perairan, kelarutan oksigen akan menurun dengan meningkatnya suhu air.
c. Derajat keasaman (pH)
Nilai derajat keasaman menggambarkan keberadaan ion hidrogen dalam air,  yang diklasifikasikan bila pH 7 (netral), bila kurang dari 7 air bersifat asam dan bila lebih dari 7 air bersifat basa, dimana kisaran    pH 0 – 14 (Effendi, 2003). Nilai pH akan meningkat, bila banyak ditemukan amoniak yang tak terionisasi dan bersifat toksik.

Air dalam kegiatan budidaya lobster air tawar, sangat berperan penting sebagai media internal dan eksternal bagi lobster air tawar.  Sebagai media internal air berfungsi sebagai pengangkutan bahan makanan dan memperlancar metabolisme dalam tubuh, sedangkan sebagai media eksternal air berfungsi habitat lobster. 
Kualitas air yang baik untuk kehidupan lobster air tawar yaitu pada suhu 20 – 29 oC, pH 7 – 8, kandungan oksigen terlarut (DO) minimal 3 ppm (Wiyanto dan Hartono, 2005).  Untuk pengontrolan kualitas air sebaiknya dilakukan penggantian air sebanyak  50 % dari volume air yang ada dengan cara penyiponan sisa pakan.

10. Hama dan Penyakit
Pencegahan penyakit menurut Sukmajaya dan Suharjo (2005) dapat dilakukan melalui penggunaan wadah yang steril, sebelum menggunakan wadah dilakukan pengeringan dibawah sinar matahari hingga kering. Kemudian wadah  direndam menggunakan methylene blue dengan dosis 10 mg/l selama 24 jam, atau perendaman dengan menggunakan garam dengan dosis 2 – 3  mg/l serta cara pencegahan lain dengan penggunaan sinar ultraviolet pada sterilisasi air pemeliharaan lobster.
Penyebab timbulnya penyakit dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas pakan, sehingga pakan mudah ditumbuhi jamur atau pakan cacing yang tidak bersih.  Pencegahannya dengan meningkatkan kualitas pakan dengan menyimpan pakan ditempat tertutup sehingga terbebas dari jamur serta pencucian pakan cacing sebelum diberikan pada benih (Wiyanto dan Hartono, 2005).
 
11. Permasalahan dalam Kegiatan Budidaya lobster air tawar
Menurut Sukmajaya dan Suharjo (2005), permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya lobster air tawar yaitu :
1. Belum banyak ilmu pengetahuan alam khususnya biologi perikanan, yang membahas berbagai spesies dalam genus Cherax di habitat aslinya
2. Belum berkembangnya pengetahuan tentang teknik adaptasi dalam usaha domestikasi lobster air tawar yang berasal dari habitat alam
3. Belum banyak diketahui teknik seleksi induk dan pemeliharaan benih
4. Masyarakat petani ikan belum banyak yang memahami teknik pengadaptasian, pengelolaan calon induk, pengelolaan induk, produksi benih, pemanenan, serta pengangkutan induk dan benih.
Secara teknis permasalahan yang dihadapi selama masa pemeliharaan benih, yaitu timbulnya sifat kanibal yang terjadi umumnya pada saat benih pertama kali moulting dan bila benih kekurangan pakan. Selain itu sifat kanibal terjadi bila kepadatan tinggi, serta kurangnya shellter sebagai tempat berlindung bagi benih saat moulting.  



DAFTAR  PUSTAKA
Amarullah, M.H., R.S. Aliah, F. Sabar, D.I. Hartoto, Kusmiati, D. Wowor, S. Irawati, I. Racmatika, M. Surachman, M. Siluba, dan M. Pranowo. 1984.  Pengkajian Ekologi Udi, Cherax monticola Sebagai Dasar Teknik Budidaya.  Progress Report.  Kerjasama Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Jakarta.
Braindex. 2005. Cherax Scientific Classification.
Departemen Kelautan Dan Perikanan.  2003.  Pedoman Investasi Komoditas Udang Indonesia.  Jakarta.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Effendi, H.  2003.  Telaah Kualitas Air  Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.  Kanisius.  Yogyakarta.
Fiona, W.  2000.  Biology Of Yabbies (Cherax destructor). June 2000 AS0004 ISSN 1441-1199.  Melbourne.
Iskandar.  2003.  Budidaya Lobster Air Tawar.  Agro Media Pustaka. Jakarta.
Jones, C.  1990.  Crayfish Biology – Getting Down To Basics.  Australia Fisheries Aquaculture Species : Redclaw.
Kantor Stastistik Daerah Kabupaten Merauke.  2004.  Merauke Dalam Angka (Merauke In Figures).  BPS Kabupaten Merauke.
Kusmini, I. I.  2004.  Bio Reproduksi Cherax albertisii Asal Papua dan Cherax quadricarinatus Asal Australia.  Instalasi Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar.  Depok.
Martosudarmo, B dan Ranoemihardjo, B.S.  1980.  Biologi Udang Penaeid.  Balai Budidaya Air Payau.  Jepara.
Maskur, Y. Sukmajaya, E. Mudjiutami dan Murtiani.  2005.  Domestikasi Cherax albertisii dan Pengembangannya di Indonesia.  Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.  Jakarta.
Patasik, S.  2003.  Iventarisasi Potensi Pengembangan Udang Cherax spp. Di Kabupaten Jayawijaya. Dinas Perikanan Kabupaten Jayawijaya.  Papua.
                 .  2005.  Pembenihan Lobster Air Tawar Lokal Papua.  Penebar  Swadaya.  Jakarta.
Royce, W.F.  1984.  Introduction to The Fisheries Science.  Academi Press.   New York.
Sianipar, E.P.  2004.  Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus).  Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan Universitas Padjadjaran.  Bandung.

Sukmajaya, Y dan I. Suharjo.  2005.  Lobster Air Tawar Komoditas Perikanan Prospektif.  Agro Media Pustaka.  Jakarta.
Varreth, J.  2000.  Fish Nutrition.  Fish Culture and Fisheries Group.  Wageningen University.
Wardoyo, STH.  1997.  Pengelolaan Kualitas Air Tambak Udang.  Makalah Seminar Latihan Manajemen Tambak Udang dan Hatchery. Jurusan Budidaya Perairan.  Fakultas Perikanan IPB.  Bogor.
Wiyanto, R.H. dan R. Hartono. 2005.  Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar.  Penebar Swadaya.  Jakarta.




Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kabupaten Banyuwangi