Rabu, 31 Januari 2018

Mengenal Rumput Laut Eucheuma cottonii


Rumput Laut secara alami bisa kita temukan di hampir sepanjang pantai di Indonesia, terutama pantai yang berkarang. Ada banyak sekali jenis rumput laut yang bisa kita jumpai dan ini menjadi kekayaan hayati laut di negara kita.  Namun untuk budidaya rumput secara komersial tidak semua jenis rumput laut cocok untuk budidaya karena berbagai faktor.  Setidaknya ada empat jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia yaitu Eucheuma cottonii,Eucheuma spinosum, Gracilaria spp dan Sargassum spp.   

Gambar 1. Eucheuma cottonii

Yang paling banyak dikembangkan dari empat jenis tadi adalah Euchemma cottonii karena permintaan pasar yang sangat luas untuk kebutuhan industri kosmetik dan farmasi. Kalau anda suka makan es rumput laut, maka yang anda makan adalah rumput laut jenis ini. Daerah pembudidaya rumput laut Euchema cottonii bisa dijumpai di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat.

Secara taksonomi bilogi, Eucheuma cottonii dapat digolongkan dan diklasifikasikan sbb: 
Divisio             : Rhodophyta
Kelas               : Rhodophyceae
Ordo                : Gigartinales
Famili              : Solieriaceae
Genus             : Eucheuma
Spesies           : Eucheuma cottonii

Rumput laut merupakan jenis tumbuhan tingkat rendah yang belum memiliki akar, batang, dan daun sejati. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler).
Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous}, lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya.
Eucheuma cottonii dapat dibedakan dari thallusnya. Pada Eucheuma cottonii, thallusnya bercabang-cabang berbentuk silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks.
Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia.
Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan juga jarak tanam bibit dalam satu rakit apung. Laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara 2-3% per hari. Pada kedalaman tidak terjangkau cahaya matahari, maka rumput laut tidak dapat tumbuh. Demikian pula iklim, letak geografis dan faktor oseanografi sangat menentukan pertumbuhan rumput laut. Metode budidaya yang digunakan adalah metode dasar dan lepas dasar atau metode terapung.

Untuk membudidyakan Rumput laut Eucemma cottonii yang harus diperhatikan adalah :

LOKASI BUDIDAYA
Lokasi yang mempunyai arus tidak terlalu keras tetapi juga tidak tenan. Untuk menghindari kerusakan secara fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh adanya penghalang atau pulau di sekitarnya. 

Gambar 2. Budidaya Eucheuma cottonii


SYARAT EKOLOGIS
Faktor ekologis suatu lokasi merupakan  faktor  terpenting, dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya. Parameter ekologis yang perlu diperhatikan antara lain : Ketersediaan bibit, arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran dan tenaga kerja.

A. Ketersediaan bibit
Lokasi yang terdapat stock alami rumput laut yang akan dibudidaya, merupakan petunjuk lokasi tersebut cocok untuk usaha budidaya rumput laut. Apabila tidak terdapat sumber bibit dapat memperolehnya dari  lokasi lain.  Pada lokasi dimana Euchema cottonii bisa tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti Gracilaria, dan Sargassum.

B. Arus
Rumput laut merupakan organisma yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya atau melalui sintesa bahan makanan di sekitarnya dengan bantuan sinar matahari. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 25 –29oC.  Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut, maupun karena angin dan ombak. Besarnya kecepatan arus yang baik antara : 20 – 40 cm/detik. Suatu lokasi yang memiliki arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.

C.  Kondisi dasar perairan
Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Euchema cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik, sedangkan apabila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar itu terkena gelombang yang besar dan apabila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.

D.  Kedalaman air.
Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Euchema cottonii dengan metoda lepas dasar  adalah 30 – 60 cm pada waktu surut terendah, dan 1 - 15 m untuk sistim apung, dengan metode rakit bambu, metode jalur dan long-line. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

E.  Salinitas.
Euchema  adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28 - 34 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan  muara sungai.

F. Kecerahan.
Rumput laut memerlukan cahaya sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Lokasi yang potensial hendaknya dipilih yang memiliki kecerahan air  tinggi.
Air yang keruh biasanya mengandung lumpur dan dapat menghalangi tembusnya cahaya di dalam air, dan dapat menimbun permukaan thallus, sehingga akan mengganggu  pertumbuhan dan perkembangannya. Lokasi yang baik bagi budidaya rumput laut memiliki kecerahan lebih dari 1,5 m pada pengukuran dengan alat secchi disk.

G.  Pencemaran.
Lokasi yang telah tercemar, baik yang berasal dari limbah rumah tangga, aktivitas pertanian, maupun limbah industri harus dihindari untuk budidaya rumput laut, Sebaiknya dihindari pula lokasi budidaya yang berdekatan dengan muara sungai, karena terutama pada saat musim penghujan, merupakan sumber sampah dan kotoran lumpur. Kondisi ini akan menutupi permukaan thallus rumput laut dan akan mempengaruhi pertumbuhannya.

H.  Tenaga kerja.
Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di lapangan sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya, dan memiliki kemauan bekerja. Hal ini dapat menghemat biaya.


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi

Rabu, 24 Januari 2018

PEMBESARAN IKAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)

Kegiatan yang dilakukan pada pembesaran ikan patin merupakan inti dari budidaya ikan tersebut. Kegiatan tersebut terdiri dari seleksi benih, penebaran benih dan pakan. Kegiatan tersebut akan diuraikan pada sub sub bab selanjutnya.

Media Pembesaran Patin
Media pembesaran dapat patin dilakukan di Keramba Jarang Apng (KJA). Hal ini sesuai dengan habitat aslinya dimana komoditi ikan Patin Jambal merupakan ikan yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemanfaatan areal sungai relatif masih rendah sehingga budidaya ikan patin jambal mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan.
Menurut Ditjenkanbud (2001) bahwa kecepatan arus yang ideal untuk pembesaran yaitu 15-30cm/detik. Susanto dan Amri (2002) juga menyarankan bahwa dipilih sungai yang berarus lambat untuk pemeliharaan ikan patin, sehingga sungai layak untuk dijadikan tempat budidaya. Selain itu juga pastikan tidak terdapat bangunan pabrik yang limbahnya dapat mencemari air sungai.

Konstruksi Keramba Jaring Apung
Pembesaran ikan patin jambal dilakukan dengan menggunakan Keramba Jaring Apung, ukuran keramba yang digunakan untuk memelihara ikan tersebut yaitu 3 x 4 x 2 m. Konstruksi KJA terdiri dari kerangka rakit, kantong jaring dan pelampung.

Kerangka KJA
Kerangka KJA yang digunakan terbuat dari kayu jenis bulian. Kayu ini mempunyai ketahanan hingga lima tahun sehingga para pembudidaya di daerah tersebut banyak menggunakan kayu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Jangkaru (1995) bahwa digunakan jenis kayu yang tahan lama.  Kayu jenis tersebut memang sangat bagus digunakan sebagai kerangka KJA, hal ini dapat terlihat dari KJA yang telah digunakan lebih dari empat tahun masih layak untuk digunakan. Kemudahan untuk memperoleh kayu jenis ini juga menjadi salah satu keuntungannya. Selain itu diasumsikan bahwa kayu ini adalah salah satu jenis kayu yang apabila terendam dalam air maka tekstur kayunya akan semakin padat sehingga tidak mudah lapuk.
Ukuran kerangka rakit yaitu 3 x 4 x 2 m, dilihat dari tinggi kerangka dan dibandingkan dengan kedalaman sungai yaitu empat meter maka kemungkinan ikan patin terkontaminasi sisa pakan dan sisa metabolisme sangatlah kecil, karena masih ada jarak sekitar dua meter dari dasar jaring ke dasar perairan. Jadi ukuran kerangka rakit sudah layak karena dilihat dari tinggi kerangka sudah sesuai dengan kedalaman sungai. Konstruksi kerangka yang berbentuk bujur sangkar juga sudah baik sehingga dalam peletakkan drum dapat diletakkan seimbang.
Gambar 1. Kerangka Keramba Jaring Apung

5.2.2 Jaring
Jaring yang digunakan terbuat dari bahan polietilen. Jaring  tersebut terbuat dari benang yang relatif halus dibanding jaring lain dan berdiameter 2 mm, seperti yang dikemukakan juga oleh Kordi (2005). Pada KJA idealnya mempergunakan jaring tersebut karena jaring tersebut lebih halus bila dibandingkan dengan jaring yang lain dan juga jaring tersebut tidak memiliki simpul yang dapat merusak tubuh ikan.
Ukuran mata jaring yang dianjurkan menurut Kordi (2005) yaitu sebesar 2 inchi atau 1 inchi hal ini berbeda seperti yang ada ditempat praktek dikarenakan ukuran mata jaring yang dianjurkan oleh Kordi (2005) sangat kasar untuk digunakan pada patin jambal dan dapat melukai badan ikan maka dari itu digunakan jaring yang berukuran mesh size 2 mm karena bahannya halus dan tidak melukai badan ikan.
Ikan patin jambal mempunyai kulit badan yang licin dan sangat sensitif terhadap permukaan yang kasar sehingga untuk menghindari terjadinya luka pada tubuh ikan patin maka digunakanlah jaring tersebut. Di tempat praktek hanya ada dua jenis jaring yang dijual di pasaran sehingga tidak banyak pilihan untuk menggunakan jaring yang lebih baik lagi yaitu jaring yang bahannya halus tetapi mempunyai mesh size jaring  lebih besar dari 2 mm. Penggunaan jaring tersebut memang kurang tepat  untuk digunakan sebagai kantong jaring pemeliharaan ikan patin jambal, karena ukuran mesh sizenya yang kecil sehingga kandungan oksigennya akan menjadi rendah.

Pelampung
Pelampung yang digunakan adalah drum plastik. Drum plastik tersebut diletakkan di keempat sudut rakit dengan cara diikatkan dengan tali pada kerangka rakit sehingga tidak bergeser. Drum bekas selain mudah didapat juga harganya relatif murah dibanding pelampung yang lain. Pelampung drum bekas mempunyai daya tahan selama lima tahun.
Penggunaan drum plastik sebagai pelampung dikarenakan sudah umum digunakan pada KJA di tempat praktek. Drum plastik juga mudah diperoleh dan memiliki daya apung yang baik. Selain itu keuntungan lain dari drum plastik yaitu tidak mengalami korosif atau pengkaratan, karena apabila korosif ini terjadi bisa berdampak negatif terhadap kualitas air (air tercemar). Sehingga sangat bagus digunakan drum dari bahan plastik sebagai pelampung karena tahan lama, murah dan mudah diperoleh.
Gambar 2. Posisi Pelampung KJA

Persiapan Keramba Jaring Apung
Persiapan KJA yang dilakukan sebelum benih ditebar yaitu diperiksa terlebih dahulu kondisi jaring untuk mengetahui apakah jaring tersebut koyak atau tidak. Diharapkan dengan mengetahui kondisi jaring dapat menghindari benih yang lolos karena jaring yang koyak. Selanjutnya yaitu  apabila jaring tersebut telah dipergunakan, terlebih dahulu sebaiknya dilakukan pembersihan jaring dengan cara menyikat jaring guna membuang kotoran-kotoran yang ada dan menempel pada jaring, baik itu kotoran sisa pakan, sisa metabolisme ikan dan lumpur-lumpur yang mengendap di jaring. Hal tersebut sudah baik untuk dilakukan selain untuk membersihkan jaring serta sirkulasi oksigen juga bisa berjalan dengan baik .
Tahap selanjutnya yaitu jaring dijemur untuk membunuh bakteri yang menempel pada jaring. Penjemuran jaring dilakukan selama 1-2 hari. Setelah selesai dijemur barulah jaring dapat dipergunakan kembali.
Gambar 3. Penjemuran Jaring


Seleksi benih
Benih-benih yang akan dibesarkan di jala apung, keramba, ataupun hampang harus diseleksi terlebih dahulu sebelum ditebarkan. Seleksi benih dilakukan menurut kesehatan dan ukurannya. Tujuan seleksi benih adalah untuk mendapatkan benih-benih ikan yang sehat dan berukuran seragam agar pertumbuhan selama pemeliharaan dapat seragam. Berdasarkan kesehatannya, benih yang dipilih harus tidak terdapat cacat, baik karena luka pada saat pengangkutan ataupun akibat infeksi patogen. Benih ikan yang sehat tampak segar dan berenang gesit (Djarijah, 2001).


Penebaran benih
Kepadatan penebaran merupakan keterkaitan antara jumlah ikan yang ditebarkan dengan daya tampung optimal jala apung. Kepadatan penebaran yang umum digunakan yaitu 5-10 kg/m3. Penentuan ukuran ikan yang akan ditebarkan berkaitan dengan ukuran mata jaring. Apabila penentuan ini salah maka ikan yang akan ditebarkan justru dapat meloloskan diri. Kejadian ini sering kali karena ukuran tubuh ikan lebih kecil daripada lebar mata jaring. Oleh karena itu, ada patokan umum yang biasanya digunakan oleh peternak ikan untuk membesarkan ikan patin di jala apung. Penebaran ikan yang berukuran 50-100 gr/ekor memerlukan mata jaring yang berukuran 2 inci. Apabila ukuran yang digunakan lebih kecil maka ukuran mata jaring yang digunakan juga lebih kecil, misalnya 1 inci (Susanto dan Khairul Amri, 2005).
Penebaran benih ikan sebaiknya dilakukan pada sore hari atau pagi hari saat kondisi perairan tidak terlalu panas. Agar ikan tidak stress, sebelum ikan di tebarkan, perlu  dilakukan aklimatisasi (Penyesuaian kondisi lingkungan) sekitar 5-10 menit. (Siregar,2002).

Pakan
Pemberian pakan tambahan pada proses pembesaran patin di keramba sangat mutlak untuk memacu pertumbuhan. Pakan tambahan itu berupa pellet atau sisa-sisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasanya 3-4% dari bobot total ikan per hari. Pellet ini ada yang dibuat sendiri (pellet lokal) dan ada pula pellet buatan pabrik (pellet komersial). Pakan tambahan lainnya juga bisa diberikan adalah limbah ikan, udang-udangan, moluska dan bekicot. Pemberian pakan jenis ini sesuai dengan pakan ikan patin di alam (Susanto dan Amri, 2005).
Dalam pemberian pakan, efisiensi penggunaan pakan menjadi penting karena sangat mempengaruhi tingkat keuntungan. Ikan budidaya mempunyai konversi pakan yang berbeda, tergantung dari jenis, umur, ukuran ikan, pakan dan kondisi lingkungan. Ikan patin yang dipelihara sistem intensif (di kolam dan keramba jaring apung), konversi pakannya antara 1,4-4,0 (Kordi, 2005).
Agar penggunaan pakan lebih efisien serta menjaga lingkungan hidup ikan tetap optimal, maka teknik pemberian pakan terbaik perlu diterapkan. Pada prinsipnya tujuan penerapan teknik pemberian pakan adalah untuk menekan sedikit mungkin pakan terbuang percuma, sehingga petani ikan memetik keuntungan yang besar. Dalam pemberian pakan ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu cara pemberian pakan, saat atau waktu pemberian pakan, jumlah (porsi) pakan, frekuensi dan tempat pemberian pakan (Kordi, 2005).
Untuk mengetahui baik atau tidaknya kualitas pakan yang dihasilkan bagi pertumbuhan dibutuhkan nilai konversi pakan. Semakin baik nilai konversi pakan tersebut maka pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan secara efisien. Konversi pakan atau FCR (Food Convertion Ratio) merupakan perbandingan antara pakan yang digunakan dengan daging ikan yang dihasilkan (Ditjenkan Budidaya, 2004).

Kualitas Air
Kualitas air dalam budidaya ikan adalah setiap peubah (variabel), yang mempengaruhi pengelolaan dan sintasan, perkembangbiakan, pertumbuhan atau produksi ikan. Air yang baik adalah yang mampu menunjang kehidupan ikan dengan baik (Huet, 1979 dalam Purnamawati, 2002).

Temperatur
Suhu air pada umumnya ditentukan oleh suhu udara, sedangkan suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian lokasi dari muka laut. Semakin tinggi lokasi di atas muka laut semakin rendah suhu udaranya dan sebaliknya (Jangkaru, 1993). Suhu air merupakan salah satu sifat fisika yang dapat mempengaruhi nafsu makan ikan dan pertumbuhan badan ikan. Perubahan suhu yang mendadak menyebabkan ikan mati, meskipun kondisi lingkungan lainnya optimal (Purnamawati, 2002). Menurut Kordi (2005) suhu untuk pemeliharaan ikan patin yang optimal yaitu 25-33oC.

Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan Secchi disk. Secchi disk dikembangkan oleh profesor secci pada sekitar abad 19, yang berusaha menghitung tingkat kekeruhan air secara kuantitatif. Tingkat kekeruhan air tersebut dinyatakan dengan suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan Secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Perairan yang aman bagi ikan patin adalah perairan yang dapat ditembus oleh sinar matahari hinggga kedalaman lebih dari 40 cm.

Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basa suatu perairan. Derajat keasaman suatu perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa yang bersifat asam (Lesmana, 2002). Menurut Khairuman dan Sudenda (2002), ikan patin mempunyai toleransi yang panjang terhadap derajat keasaman yaitu antara 5,0-9,0 dan derajat keasaman yang optimum adalah 7,0. pH antara 6,5-9 merupakan kadar optimum untuk pertumbuhan ikan dan pH 11 merupakan titik mati basa (Boyd, 1981 dalam Purnamawati 2002).

Oksigen terlarut (DO)
Kandungan oksigen yang optimal untuk pemeliharaan ikan patin yaitu antara      5-6 ppm (Kordi, 2005). Peningkatan kandungan oksigen dalam air dapat dilakukan dengan aerasi, filter mekanis dan penambahan bahan penyegar. Dengan aerasi berarti oksigen atau udara bebas dialirkan ke dalam air sehingga dapat menempati rongga-rongga yang ditinggalkan oleh gas yang lebih ringan yang terusir. Dengan filter mekanis berarti mengurangi kandungan bahan organik dan koloid dalam air sehingga memungkinkan oksigen atau udara bebas memasuki rongga dalam air. Dengan penambahan bahan penyegar berarti memasukkan bahan yang dapat mengikat gas-gas dalam air sehingga rongga yang ditinggalkan dapat diisi oleh oksigen atau udara bebas (Jangkaru, 1993).

Laju/Kecepatan Arus Air
Laju/kecepatan (rate) pertukaran air di dalam sebuah keramba berbanding langsung dengan laju aliran air dan jarak linier yang melintasi keramba; oleh karenanya, semakin kecil keramba semakin besar laju pertukaran air potensialnya. Laju aliran air sebesar 1 m/menit akan berganti air satu kali dalam satu menit dalam keramba dengan lebar sisi 1-m (1-m3), tetapi hanya satu kali dalam tujuh menit dalam keramba dengan lebar sisi 7-m (98-m3) Schimittou, et al., (2004). Ditjenkanbud (2001) mengatakan bahwa kecepatan arus yang ideal untuk pembesaran adalah antara 15-30 cm/detik.

Pemanenan
Pemanenan pada keramba jaring apung dimulai dengan melepaskan tali ris disetiap sudut kantong bagian dasar atau mengangkat pemberat kantong. Ruang gerak ikan disempitkan  dengan cara menggeser sebatang bambu yang ditempatkan diantara mulut kantong dengan kerangka rakit. Populasi ikan yang sudah terkumpul ditangkap dengan seser, tangguk atau tangan kosong. Kepadatan ikan dalam kantong jaring diatur sehingga ikan tidak menjadi panik. Hal ini dilakukan dengan menggeser batang bambu sedikit demi sedikit sebanding dengan jumlah ikan yang telah diangkat (Jangkaru, 1995).


DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, B. Budidaya Ikan di Perairan Umum.Kanisius. Yogyakarta. 2001. Hal 16
Cholik F, A. G. Jagatraya, Poernomo, A. Jauzi. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa, Masyarakat Perikanan Nusantara dan Taman Akuarium Air Tawar Taman Mini Indonesia Indah. Jakarta.Hal 154.
Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi. 2006. Profil Pengembangan Kawasan Budidaya Patin Ekspor di Provinsi Jambi. Jambi. Hal 6-7.
Direktorat Jendral Perikanan. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Departemen Kelautan Dan Perikanan Balai Budidaya Laut Lampung. Hal 10.
Djarijah, A. S. 2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta. Hal 23
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.Hal 56-60
Effendi, MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. Hal 115
Hardjamulia, A. 2000. Teknologi Pembenihan Ikan Patin (Pangasius spp.). Makalah pada temu aplikasi paket teknologi pertanian IPPTP. Banjarbaru, tanggal 28-29 februari. Hal 6
Jangkaru, Z. 1993. Pengembangan Perikanan Kolam di Wilayah Beriklim Basah Tanpa Irigasi. Disampaikan pada Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta, 25-27 Agustus 1993. Hal 70
Jangkaru, Z.1995. Pembesaran Ikan Air Tawar di berbagai lingkungan Pemeliharaan. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 57-69
Khairuman dan D. Sudenda. 2002. Budidaya Ikan Patin Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Hal 5 dan 58
Kordi K, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Hal 26, 88 dan 124
Lesmana. 2001. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 28 
Lubis, E. 2006. Teknik Pembenihan dan Analisa Finansial Ikan Patin Siam (Pangasius Hypophthalmus) di BBAT Jambi. Karya Ilmiah Praktek Akhir Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. Hal  58
Nasution. Z, Dharyati. E dan Rupawan. 1997. Adopsi Teknologi Budidaya Ikan Patin Pada Masyarakat Tani Di Desa Mariana-Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian dan Perikanan Volume III No. 2 Balai Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Hal 37
Purnamawati. J. 2002. Perananan Kualitas Air terhadap keberhasilan budidaya ikan di kolam. Warta penelitian perikanan Indonesia. Hal 14
Purnomo.K, Kartamihardja E.S, Koeshendradjana S.2003. Pertumbuhan, Mortalitas, dan Kebiasaaan Makan Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) Introduksi Di Waduk Wonogiri.  Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 9 No. 3. Balai Riset Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Hal 17
Rangkuti, F. 2001. Buissness Plan Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 59-65
Rochdianto. 2002. Budidaya Ikan di Jaring Terapung. Swadaya. Jakarta. Hal 46
Schimittou H.R, M.C Cremer dan Jiang Zhang.2004. Beberapa Prinsip dan Praktek Budidaya Ikan Pada Kepadatan Tinggi Dalam Keramba Volume Rendah. American Soybean Association. Hal 17
Slembrouck J, Oman Komarudin, Maskur dan Marc Legendre. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangasius Djambal. Karya Pratama. Jakarta. Hal 14.
Suparman, M. 2006. Studi Tentang Usaha Pembesaran Udang Galah (Macrobium roseenbergi) Pada Pembudidaya Udang Galah di Minggir Sleman Yogyakarta Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.Hal 35
Susanto, H dan K, Amri. 2002. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 6 dan 37
Soeharto, I. 1997. Manajemen Proyek Dari Konseptual sampai Operasional. Erlangga. Jakarta.Hal 433-435
Umar, H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 197-20


Firman Pra Setia Nugraha,S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi

Rabu, 10 Januari 2018

PRODUKSI MASSAL TUBIFEX SP. SEBAGAI PAKAN ALAMI LARVA IKAN


Suatu upaya manusia guna mengatasi kekurangan pakan yang dapat dimanfaatkan dari alam melalui penangkapan dan perburuan yaitu dengan cara budidaya. Dalam keseluruhan prosesnya, komponen budidaya yang mutlak perlu diperhatikan antara lain adalah penyediaan benih, pengaturan ruang hidup, penyediaan makanan atau pakan, pemberantasan hama dan penyakit, penciptaan lingkungan yang sehat dll.
Kegiatan usaha budidaya ikan antara lain meliputi pembesaran dan pembenihan larva. Dalam usaha pembesaran yang menekankan pada pertumbuhan, maka kualitas benih dan tersedianya pakan alami dan pakan buatan perlu diperhatikan. Sedangkan usaha pembenihan yang menitik beratkan pada kelangsungan hidup atau penurunan tingkat mortalitas harus memperhatikan kualitas induk serta tersedianya pakan alami yang cukup untuk kebutuhan benih ikan
Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva dan benih ikan. Pakan alami mencakup fitoplankton, zooplankton dan bentos. Fitoplankton, zooplankton dan bentos berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein dengan susunan asam amino yang lengkap serta mineral bagi larva atau benih ikan. Disamping mengandung gizi yang lengkap dan mudah dicerna, pakan alami tidak mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan
Pakan alami selain gizinya lengkap juga ekonomis dalam hal pengelolaannya. Tetapi mengingat penyediaan pakan alami secara terus menerus sulit mengandalkannya dari alam saja maka perlu adanya penanganan tersendiri melalui kegiata budidaya/kultur pakan alami. Dewasa ini pakan alami yang sudah berhasil dibudidayakan antara lain Infusoria, Chlorella, Daphnia, Moina, Rotifera, Artemia, Cacing rambut dll.
Berbagai jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan larva karena pakan alami mengandung semua unsur zat gizi yang dibutuhkan larva serta sifat dari pakan alami yang bergerak tetapi tidak begitu aktif memungkinkan dan mempermudah larva/benih ikan untuk memangsanya Untuk dapat menyediakan pakan alami dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, salah satu cara adalah dengan mengkulturnya, Adapun jenis pakan alami yang dapat dibudidayakan antara lain cacing Tubifex sp (cacing rambut),  jenis bentos ini mempunyai arti penting dalam dunia budidaya.

Gambar 1. Cacing Tubifex SP.


A. Klasifikasi
Tubifex sp. dikenal dengan nama cacing Sutra atau cacing rambut secara sistematika diklasifikasikan sebagai berikut :
Devisi  : Annelida
Kelas   : Oligochaeta
Ordo    : Haplotaxida
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp.

B. Morfologi
Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan ke dalam kelompok Nematoda, bentuk tubuhnya yang panjang dan sangat halus. Tubifex sp. memiliki warna tubuh yang dominan kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya sangat ramping dengan panjang 1 – 2 cm. panjang tubuh cacing rambut 10 – 30 mm berwarna merah kecoklatan, terdiri dari 30 – 60 segmen (Anonimous, 2003 dalam Laksmi Sulmartiwi, 2004). Cacing rambut mempunyai dinding tebal terdiri dari 2 lapis otot membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Dari setiap segmen pada bagian punggung dan perut, keluar seta dan ujung sata bercabang dua tanpa rambut. Cacing ini sangat senang hidup berkelompok atau bergerombol karena masing-masing individu berkumpul menjadi koloni yang sulit diurai dan saling berkaitan satu sama lainnya didasar perairan yang banyak mengandung bahan organik terlarut. Tubifex sp. Memiliki kandungan gizi 57% protein dan 13% lemak dalam tubuhnya (www.maswira.blogspod.com). Membenamkan kepala merupakan kebiasaan cacing ini untuk mencari makan. Sementara itu, ekornya yang mengarah ke permukaan air berfungsi untuk bernapas (Sitanggang, 2002 dalam Laksmi Sulmartiwi, 2004).
Pertambahan bobot kering cacing rambut ditentukan oleh kenaikan kadar oksigen, C-organik dan jumlah bakteri, serta penurunan amoniak, BOD, dan N-organik. Oksigen adalah faktor yang penting dalam proses oksidasi baik dalam tubuh hewan maupun dalam proses perombakan bahan organik. C-organik substrat adalah penyusun karbohidrat dan lemak. Didalam tubuh hewan, karbohidrat dan lemak dioksidasi dan menghasilkan energi untuk proses metabolisme. Sedangkan N-organik dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri, bakteri akan merombak senyawa N-organik substrat menghasilkan amoniak.

C. Reproduksi dan Siklus Hidup
Cacing sutra termasuk organisme hemaprodite atau berkelamin ganda yang berkembang biak lewat telur secara eksternal, yakni kelamin jantan dan betina menyatu dalam satu tubuh. Telur yang dibuahi oleh jantan akan membelah menjadi dua sebelum menetas. Hal ini dimungkinkan karena jaringan reproduksinya mampu membentuk gamet jantan dan gamet betina. Habitat dan penyebaran cacing sutra umumnya berada didaerah tropis.
Cacing rambut termasuk dalam hewan hermaprodit dimana dalam satu individu memiliki 2 alat kelamin. Perkembangbiakan cacing ini dilakukan secara pemutusan ruas tubuh dan pembuahan sendiri. Cacing-cacing yang telah dewasa akan menghasilkan telur dan dibuahi oleh cacing lain yang telah dewasa juga.
Cacing ini biasa hidup pada perairan-perairan jernih yang sedikit, dengan dasar banyak bahan organik. Menurut Anonim (1998), cacing rambut dapat hidup di sungai atau danau bersedimen lembek. Cacing dewasa dapat ditemukan dipermukaan sedimen dengan kedalaman 2 cm. Cacing rambut hidup diperairan dengan kondisi dasar berpasir (41,4%), tanah halus (46,0%) dan lempung (11,3%) (Brinkhurst dan Cook, 1974 dalam Laksmi Sulmartiwi, 2004).
Penyebaran cacing rambut ditentukan oleh kadar oksigen, lingkungan dan tipe dasar sedimen. Pada kadar oksigen air 1,7 mg/l dan kecepatan arus 300 sampai 600 ml/menit (Laksmi Sulmartiwi, 2004) pertumbuhan populasi cacing paling tinggi.



METODOLOGI
I.  Alat :
  1. Bak kultur dengan ukuran 36 cm X 66 cm (steorofom)
  2. Ember Plastik (proses pembusukan)
  3. Pipa 1 inci
  4. Plastik pelindung panas
  5. Sarung tangan
  6. Wadah plastik
  7. Selang 2/3 inchi

II.  Bahan :
  1. Pupuk Organik (kotoran ayam) kering           2 Kg
  2. Dedak                                                             1 Kg
  3. Lumpur                                                            4,4 Kg
  4. Pasir halus                                                      2,6 Kg
  5. Tepung Ikan                                                    1,2 Kg
  6. Ragi (Saccharomyces cereviae)                    5 gr

III. Metode :

Pembuatan Bak Kultur
Bak kultur yang digunakan yaitu steorofom dengan ukuran 33 cm x 66 cm, ketinggian air pembuangan dengan dasar wadah 7 cm sampai 8 cm dengan menggunakan pipa 1 inchi, panjang pipa pembuangan 15 cm.

Persiapan Media :
Pencampuran media dengan menggunakan pupuk organik 2 kg, Dedak halus 1 kg, Lumpur 4,4 kg, Pasir halus 2,6 kg, tepung ikan 1,2 kg, seteleh media ini dicampurkan diberikan ragi sebanyak 5 gr dan penambahan aerasi. Dan dilakukan perendaman selama 4 hari setelah itu dipersiapkan ember plastik yang telah direndamkan pupuk organik sebagai sumber makanan bagi cacing tubifex sp. Ember plastik melalui pipa 1 inci menggunakan stop kran sehingga diatur kecapatan alir masuk 600 ml/menit dibiarkan mengalir selama 2 jam. Setelah itu media diadukan kembali menggunakan kayu untuk membuang sisa hasil pembusukan. Pada bagian inlet wadah diberikan aerasi.

Tebar bibit
Setelah 4 hari perendaman ember plastik yang memiliki sumber organik dialiri air secara kontinu dengan bak kultur selama 2 jam untuk membuang sisa-sisa pembusukan setelah itu masukan dalam media bibit Tubifex sp. 200 gr.

Pemeliharaan
Setelah bibit tubifex ditebar dan dialiri air dengan kecapatan 500 sampai 600 ml/menit dengan pemberian earasi dalam bak kultur. Setelah itu di berikan dedak 100 gr setiap 3 hari. Penambahan pupuk organik di ember plastik dilakukan setiap 7 hari dimana pupuk tersebut dibungkus menggunakan kain.

Gambar 2. Budidaya Tubifex SP.

Cara panen
Panen dilakukan menghentikan air masuk dan aerasi, dibiarkan selama 3 jam sampai kelihatan cacing tersebut berkoloni. Cara panen memungutnya dengan tangan menggunakan sarung tangan secara hati-hati kemudian diberikan diwadah plastik dialiri air bersih dengan kecepatan alir 1 liter/menit diamkan selama 1 jam. Kemudian pisahkan kembali cacing tubifex sp. yang dipanen dari sisa sisa lumpur

Masa panen
Panen dilakukan setelah 14 hari masa pemeliharaan diperoleh 300 gr, ditebar kembali 100 gr dan ditambahkan dedak 500 gr, setelah masa pemeliharaan 21 hari masa pemeliharaan diperoleh 400 gr ditebar kembali 100 gr dan hari ke 26 diperoleh 200 gr. Jadi total panen untuk kegiatan ini 700 gr dalam 2178 m2 media.


DAFTAR PUSTAKA

  • Anonim, Manajemen bisnis, Jakarta: Publikasi Departemen Tenaga Kerja RI, 1998
  • Khairuman, dkk ; Peluang Usaha Budidaya Cacing Sutra, agromedia,2008
  • Laksmi Sulmartiwi,dkk; Modifikasi aliran air dalam budidaya tubifex sp sebagai upaya peningkatan mutu warna ikan; Jurnal Penelitian Medika Eksakta Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 142−149
  • Menegristek Bidang pendayagunaan dan pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pakan Ikan; Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, BAPPENAS.
  • www.maswira.blogspod.com
  • www.ristek.go.id


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi

Rabu, 03 Januari 2018

IKAN NILA SISTEM KARAMBA DIPERAIRAN UMUM



Indonesia mempunyai sumberdaya perairan umum yang cukup besar, baik perairan laut maupun perairan tawar.  Secara umum kegiatan perikanan dapat dikembangkan pada tipe sumberdaya tersebut adalah usaha penangkapan dan usaha budidaya.
Teknologi budidaya air tawar yang telah di kembangkan di Indonesia antara lain adalah pemeliharaan ikan dalam kolam air tenang, kolam air deras, mina padi, longyam, hampang dan karamba. Salah satu teknik budidaya yang cukup potensial dikembangkan di perairan umum terutama di perairan sungai, waduk dan danau adalah budidaya ikan dalam karamba.
Pemeliharaan ikan nila dalam karamba sebagai ikan budidaya sudah berkembang di masyarakat petani ikan, seperti pembesaran ikan introduksi lainnya (mas, patin dan grasscarp) yang dilakukan dalam karamba dan jaring apung
Permasalahan yang timbul pada saat ini pada ikan nila adalah penurunan kecepatan pertumbuhan yang menyebabkan rendahnya efisiensi pakan, ukuran konsumsi dan ukuran eksport masa pemeliharaannya dicapai dalam waktu yang lebih lama, dan kelangsungan hidup terhadap benih menjadi rendah karena penurunan daya tahan terhadap penyakit dan lingkungan.
Penurunan performance ikan nila tersebut diduga karena terjadi inbreeding selama beberapa generasi,  tidak dilakukan seleksi, belum adanya lembaga pemerintah atau swasta yang dapat menyediakan induk dan benih unggul dengan jumlah yang memadai dan pengetahuan para petani pembenih ikan nila mengenai manajemen induk masih kurang.
Untuk mencapai kembali peningkatan produksi budidaya ikan nila dan setiap jenis dan ukuran benih ikan yang diproduksi oleh para pembenih, idealnya harus memiliki standar. Perbaikan kualitas induk dan benih ditujukan untuk meningkatkan dan sekaligus untuk mempertahankan tingkat produksi dan produktivitas yang telah dicapai saat ini.

Gambar 1. Ikan Nila di Jaring Apung


A.     Ikan Nila (Oreocromis niloticus Sp)
Ikan nila (Oreocromis niloticus Sp), sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara kerkembang maupun di negara maju.  Di Asia tenggara, ikan nila banyak dibudidayakan terutama di Filipina, Malaysia, Thailan, dan Indonesia.  Di Indonesia ikan nila sudah tersebar hampir ke seluruh pelosok wilayah tanah air.
Menurut sejarahnya, ikan nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Bogor pada tahun 1969.  Setahun kemudian, ikan ini mulai disebarkan ke beberapa daerah di Indonesia.
Dengan berbagai kelebihannya, ikan nila ini mudah sekali diterima oleh masyarakat, sehingga dalam waktu yang singkat sudah menyebar keseluruh pelosok nusantara.  Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh ikan nila tersebut antara lain :
1.  Mudah berkembang biak
2.  Sangat toleran terhadap lingkungan
3.  Toleran terhadap serangan penyakit
4.  Pemakan segala (omnivora)
5.  Pertumbuhannya relatif cepat.


B.  Klasifikasi
Sistematika ikan nila menurut Saanin 1968 adalah sebagai berikut :
Fillum                   :       Chordata
Sub Fillum           :       Vertebrata
Kelas                   :       Pisces
Sub Kelas            :       Acanthopterigii
Suku                    :       Cichlidae
Marga                  :       Oreochromis
Species               :       Oreocromis, Sp.

Awalnya ikan nila dimasukkan ke dalam jenis Tilapia nilotica atau ikan dari golongan tilapia yang tidak mengerami telur dan larva didalam mulut induknya.  Dalam perkembangannya, para  pakar perikanan menggolongkan ikan nila ke dalam jenis Sarotherodon niloticus atau kelompok ikan tilapia yang mengerami telur dan larvanya di dalam mulut induk jantan dan betinanya.  Akhirnya diketahui bahwa yang mengerami telur dan larva di dalam mulut ikan nila hanya induk betinanya.  Para pakar perikanan kemudian memutuskan bahwa nama ilmiah yang tepat untuk ikan nila adalah Oreochromis niloticus atau Oreochromis sp.  Nama nilotika menunjukkan tempat ikan berasal, yakni Sungai Nil di Benua Afrika.
Secara alami ikan nila melakukan migrasi dari habitat aslinya, yakni di bagian hulu Sungai Nil yang melewati Uganda ke arah selatan melewati Danau Raff dan Tanganyika.  Selain itu ikan nila juga terdapat di Afrika bagian tengah dan barat.  Populasi terbanyak ditemukan di kolam – kolam ikan di Chad dan Nigeria.  Dengan campur tangan manusia saat ini ikan nila telah menyebar ke seluruh dunia, dari Benua Afrika, Amerika, Eropa, Asia, sampai Australia.


C.  Morfologi
Berdasarkan morfologi, kelompok ikan Oreochromis ini memang berbeda dengan kelompok tilapia.  Secara umum bentuk tubuh ikan nila panjang dan ramping, dengan sisik berukuran besar.  Matanya besar, menonjol. Dan bagian tepinya berwarna putih.  Gurat sisi (linea literalias) terputus dibagian tengah badan dan kemudian berlanjut, tetapi letaknya lebih kebawah daripada letak garis yang memanjang di atas sirip dada.  Jumlah sisik pada gurat sisi jumlahnya 34 buah.  Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur mempunyai jari-jari lemah tetapi keras dan tajam seperti duri.  Sirip punggungnya berwarna hitam dan sirip dadanya juga tampak hitam.  Bagian pinggir sirip punggung berwarna abu-abu atau hitam, perbandingan ukuran tubuh ikan nila adalah 3 : 1.
Ikan nila memiliki lima sirip yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin).  Sirip punggungnya memanjag dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip ekor.  Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil.  Sirip anus hanya satu buah dan berbentuk agak panjang.  Sementara itu sirip ekornya berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah.
Jika dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, ikan nila jantan memiliki ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan betina.  Alat kelamin ikan jantan berupa tonjolan agak runcing yang berfungsi sebagai muara urin dan saluran sperma yang terletak di depan anus.  Jika di urut perut ikan nila jantan akan mengeluarkan cairan bening.  Sementara itu ikan nila betina mempunyai lubang genital terpisah dengan lubang saluran urin yang terletak di depan anus.  Bentuk hidung dan rahang belakang ikan nila jantan melebar dan berwarna biru muda.  Pada ikan betina bentuk hidung dan rahang belakangnya agak lancip dan berwarna kuning terang.  Sirip punggung dan sirip ekor ikan nila jantan berupa garis putus-putus.  Sementara itu para ikan betina garisnya berlanjut (tidak putus) dan melingkar.


D.  Makanan
Ikan Nila adalah golongan pemakan segala (Omnivora) sehingga bisa mengonsumsi makanan berupa hewan atau tumbuhan.  Karena itulah ikan ini sangat mudah dibudidayakan.
Ketika masih benih,  makanan yang  disukai ikan nila  adalah    zooplankton  ( plankton hewan ), seperti rotifera sp, moina sp, atau dapnia sp.  Selain itu juga memangsa alga atau lumut yang menempel pada benda-benda di habitat hidupnya.  Ikan nila juga memakan tanaman air yang tumbuh di kolam budidaya.  Jika telah mencapai ukuran dewasa ikan nila bisa diberi berbagai makanan tambahan seperti pellet dan dedak.

Gambar 2. Pemberian Pakan di KJA Nila



E.  Pertumbuhan
Dalam istilah sederhana pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran (Rounsefell dan Everhart, 1962).  Menurut Zainal (1985) pertumbuhan adalah perubahan bentuk ikan baik dalam bentuk panjang maupun berat sesuai dengan pertambahan waktu.
Pertumbuhan dalam individu menurut Ichsan effendi (1978) adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada  kelebihan input enegi dan asam amino (protein) berasal dari makanan.
Menurut Huet (1975) makanan yang dimanfaatkan oleh ikan pertama-tama digunakan untuk memelihara tubuh yang rusak, setelah itu kelebihannya digunakan untuk pertumbuhan. Oleh karena itu perumbuhan maksimal dapat dicapai jika makanan yang diberikan melebihi kebutuhan pemeliharaan tubuh.
Menurut  effendi  (1978) pertumbuhan merupakan suatu proses biologi yang komplek, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan meliputi faktor luar dan faktor dalam. Faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Sadangkan faktor luar yang utama mempengaruhi pertubuhan adalah makanan dan suhu perairan.
Menurut Suhaili Asmawi (1983) kecepatan pertumbuhan tergantung pada jumlah makanan yang diberikan, ruang, suhu, dalamnya air dan faktor-faktor lainnya. Sedangkan Jangkaru (1974) menyatakan bahwa pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti keturunan, kecepatan pertumbuhan relatif , kemampuan memanfaatkan makanan dan kepadatan populasi. Pertumbuhan merupakan parameter dalam budidaya ikan terutama untuk ikan yang bernilai ekonomis, karena pertumbuhan akan menentukan nilai produksi.
Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan dari ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu. 
Menurut Ahmad Mudjiman (1984), bahwa dari sejumlah makanan yang dimakan ikan, lebih kurang 10% saja yang digunakan untuk tumbuh atau menambah berat, sedangkan selebihnya digunakan untuk tenaga atau memang tidak dapat dicerna.
Menurut Siregar (1994) untuk memperoleh benih ikan nila merah ukuran   25 gr/ekor diperlukan waktu pemeliharaan selama 1 – 1,5 bulan.


F.   Pemeliharaan Ikan Dalam Karamba
Karamba adalah wadah/kurungan yang berbentuk persegi yang ditenggelamkan dalam air untuk memelihara ikan, terutama di perairan umum.
Menurut Suhaili Asmawi (1983) berdasarkan cara pemasangan dan penempatan karamba di bagi menjadi tiga bagian yaitu : karamba tenggelam sebagian, karamba tenggelam keseluruhan dan karamba pagar.
Padat penebaran ikan untuk pemeliharaan dalam karamba di tentukan oleh  jenis ikan dan ukuran karamba, juga sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas dari pakan buatan yang diberikan.
Hasil dari kegiatan perekayasaan produksi induk ikan nila dalam karamba diperairan umum pada tahun 2003  selama masa pemeliharaan  4 bulan, untuk pertambahan berat ikan nila Merah sebesar  441,63 gram. Sedangkan   nila GIFT  sebesar 453,43 gram.
Sedangkan pertumbuhan panjang  untuk ikan nila Merah sebesar 24,74 cm dan  ikan nila GIFT  sebesar 18,50 cm.


G.   Kualitas Air
Beberapa kualitas air yang erat hubungannya dengan budidaya ikan meliputi :
1.    Suhu
Suhu air untuk Ikan Nila berkisar 25­­o C – 30o C, suhu air yang optimum untuk selera makan ikan antara 25o C – 27o C (Suhaili Asmawi, 1984). Pada suhu tersebut ikan akan makan rakus, hal ini terjadi pada waktu pagi dan sore hari. Oleh karena itu pemberian makanan yang paling baik adalah pada pagi dan sore hari.
2.     Derajat Keasaman (pH)
pH yang idial dimana ikan akan mengalami pertumbuhan yang optimal berkisar antara 6,5 – 9,0 (Djatmika, 1986). Menurut Suhaili Asmawi (1984) karena ikan air tawar mempunyai titik krisis asam pada pH 4,0 dan titik basa pada pH 11,0
3.    Oksigen Terlarut
Kadar Oksigen terlarut yang baik bagi pertumbuhan ikan antara 6,5 – 12,5 ppm, namun pada oksigen terlarut sebesar 5 ppm masih cukup baik untuk kehidupan ikan.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mudjiman, 1985.  Makanan Ikan.  Penebar Swadaya.  Jakarta.  190 Halaman.
Djajasewaka, Hidayat, 1985.  Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan Pertama.  Penebar Yasaguna.  Jakarta.  47 Halaman.
Effendi, M.I.  1978.  Biologi Perikanan.  Study Natural History Bagian I.  Fakultas Perikanan IPB.  Bogor.  105 Halaman.
Hunter, G.A and E.M. Donaldson, 1983.  Hormonal Sex Control and Site Aplication to Fish Culture dalam WS Hoar D.J Randell and R.M Donaldson (cd) Fish Physiology vol IX B.  Academic Press.  New York.  223 – 291.
Khairul Amri, dan Khairuman, 2003.  Budidaya Ikan Nila Secara Intensif.  Cetakan Pertama.  Agromedia Pustaka.  Jakarta.  145 Halaman.
Laster, 1984. Sugestion For Developing Improved Strains of Tilapia.  ICLARM New Slotter 6 (2) 17 – 18.
Mair, G.C. Panman, D.J Scoot, A. Scibinki, D.O.F. and Beerdmore J.A.  Hormonal Sex Reversal and The Mechanisms of Sex Determination in Oreochomis, Word Symp on Selection, Hybridition and Genetic Engenering, in Aquaculture, Bordeux, Berlin.
Saanin.  1986.  Taksonomi dan Kunci Identifikasi.  Cetakan ke 2.  Bina Cipta.  Bogor.  503 Halaman.
Suhaili Asmawi, 1983.  Pemeliharaan Ikan Dalam Karamba.  Gramedia.  Jakarta.  82 Halaman.
Siregar.  1994.  Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif.  Kanisius.  Jogyakarta.  87 Halaman.
Yamasaki, F.  1983.  Sex Control and Manipulation in Fish Aquaculture.  Halaman 33, 329 – 354.