Selasa, 26 Februari 2019

Mengenal Lele Sangkuriang



Kebutuhan masyarakat akan protein hewani cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun.  Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola penyediaan menu masyarakat.  Kekurangan protein merupakan masalah dunia, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang (Soetomo, 2000).  Protein hewani dapat diperoleh dari daging, susu, telur dan ikan.  Menurut Rukmana (2003), daging ikan Lele Dumbo mengandung protein 17,7%, lemak 4,8%, mineral 1,2%.  Dengan demikian lele merupakan salah satu jenis ikan konsumsi sumber protein hewani yang permintaannya terus meningkat (Subandi, 2003).
Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa.  Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidayanya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, mudah dalam pemasarannya dan modal usaha yang dibutuhkan relatif kecil.  Pengembangan usaha budidaya lele semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan Lele Dumbo ke Indonesia pada tahun 1985.  Keunggulan Lele Dumbo dibandingkan dengan lele lokal antara lain dapat tumbuh lebih cepat, jumlah telur lebih banyak dan lebih tahan terhadap penyakit (Direktorat Pembudidayaan, 2005).
Lele Sangkuriang

Perkembangan produksi lele secara nasional mengalami kenaikan sebesar 18,3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 57.740 ton pada tahun 2003 (Nurdjana, 2006).  Namun, perkembangan usaha budidaya tersebut dibarengi dengan kualitas benih yang cenderung semakin menurun.  Perkawinan sekerabat (inbreeding), seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah menjadi penyebab utama menurunnya kualitas benih.  Penurunan kualitas ini dapat diamati dari karakter umum pertama matang gonad, derajat penetasan telur, pertumbuhan harian, daya tahan terhadap penyakit dan nilai FCR atau Feeding Conversion Rate (Direktorat Pembudidayaan, 2005).  Oleh karena itu, sebagai upaya perbaikan mutu ikan Lele Dumbo maka Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya melalui UPT-nya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetika untuk menghasilkan Lele Dumbo strain baru yang diberi nama “Lele Sangkuriang”.  Lele Dumbo strain baru ini telah dilepas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Kepmen No. Kep. 26/MEN/2004 pada tanggal 21 Juli 2004 (Nurdjana, 2006).
Untuk menunjang usaha pembesaran diperlukan ketersediaan benih lele yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi, sebab keberhasilan budidaya ditentukan oleh tersedianya benih dalam jumlah yang cukup dan bemutu baik (Muflikhah, 1994).  Dengan demikian, peluang usaha di setiap subsistem terbuka lebar karena kegiatan pendederan dan kegiatan pembesaran tidak dapat berjalan jika tidak ada kegiatan pembenihan.  Hal ini disebabkan oleh karena benih yang akan dipelihara pada kegiatan pendederan dan pembesaran pasti berasal dari kegiatan pembenihan.  Dari berbagai faktor yang diperlukan dalam usaha pembenihan ikan lele ini, maka pengetahuan dan kemampun teknis untuk pelaksanaannya sangat mutlak diperlukan.  Faktor-faktor produksi larva ikan lele ini perlu diketahui lebih jauh untuk dapat menghasilkan benih yang berkualitas dalam jumlah yang cukup.

Secara umum, Suyanto (2006), mengemukakan bahwa sistematika lele adalah sebagai berikut :
Phylum            : Chordata
Kelas               : Pisces
Subkelas         : Teleostei
Ordo                : Ostariophysi
Subordo          : Siluroidae
Famili              : Clariidae
Genus             : Clarias
Spesies           : Clarias sp.
Menurut Najiyati (2003), ikan lele mempunyai bentuk badan yang berbeda dengan jenis ikan lainnya.  Ikan lele memiliki bentuk badan yang memanjang, berkepala pipih, tidak bersisik, memiliki empat pasang kumis yang memanjang sebagai alat peraba, dan memiliki alat pernapasan tambahan.  Bagian depan badannya terdapat penampang melintang yang membulat, sedang bagian tengah dan belakang berbentuk pipih.
Lele Sangkuriang merupakan hasil uji silang balik antara Lele Dumbo betina generasi kedua (F2) dan jantan generasi keenam (F6) memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, dan tidak bersisik.  Jika terkena sinar matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti mozaik hitam – putih.  Mulut Lele Sangkuriang tidak jauh berbeda dengan LLele Dumbo yaitu relatif lebar, yaitu sekitar ¼ dari panjang total tubuhnya.  Tanda spesifik lainnya dari ikan lele adalah adanya kumis di sekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau mencari makan (Khairuman dan Amri, 2002).
Alat pernapasan tambahan terletak di bagian kepala di dalam rongga yang dibentuk oleh dua pelat tulang kepala.  Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh                kapiler – kapiler darah.  Mulutnya terdapat di bagian ujung moncong dan dihiasi oleh empat pasang sungut, yaitu satu pasang sungut hidung, satu pasang sungut maksilar (berfungsi sebagai tentakel), dan dua pasang sungut mandibula.  Insangnya berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian belakang.
Siripnya terdiri dari lima jenis, yaitu sirip dada, sirip punggung, sirip perut, sirip dubur, dan sirip ekor.  Sirip dadanya berbentuk bulat agak memanjang dengan ujung runcing, dan dilengkapi dengan sepasang duri yang biasa disebut patil.  Patil pada Lele Sangkuriang dan Lele Dumbo  tidak begitu kuat dan tidak begitu beracun dibanding jenis lele lainnya.  Lele lokal misalnya, sangat tajam dan beracun, terutama yang masih muda.  Sirip perutnya pendek, sedang sirip dubur dan punggungnya memanjang hingga mendekati sirip ekor (Najiyati, 2003). 

Riwayat Lele Sangkuriang
Menurut Direktorat Pembudidayaan (2005), Lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina Lele Dumbo generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6).  Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua Lele Dumbo yang diperkenalkan ke Indonesia pada tahun 1985.  Sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Besar Pengembangan Buidaya Air Tawar Sukabumi.  Induk dasar yang digunakan dihasilkan dari silang balik tahap kedua antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan hasil silang balik tahap pertama (F2-F6).  Adapun standar nasional (SNI) benih maupun induk yang digunakan oleh Lele Sangkuriang ini masih mengikuti standar yang digunakan oleh Lele Dumbo.

Habitat Dan Penyebaran
Habitat atau lingkungan hidup ikan lele ialah semua perairan air tawar.  Di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau diperairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa serta genangan-genangan kecil seperti kolam, merupakan tempat hidup ikan lele.  Ikan lele tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen dan relatif tahan terhadap pencemaran            bahan-bahan organik.  Ikan lele hidup dengan baik di dataran rendah sampai dengan perbukitan yang tidak terlalu tinggi, misalnya di daerah pegunungan dengan ketinggian di atas 700 m.   Namun, ikan lele tidak pernah ditemukan hidup di air payau ataupun air asin (Suyanto, 2006).
Ikan lele tersebar luas di benua Afrika dan Asia, terdapat di perairan umum yang berair tawar secara liar.  Di beberapa negara, khususnya di Asia, seperti Filipina, Thailand, Indonesia, Laos, Kamboja, Vietnam, Birma dan India, ikan lele telah banyak dibudidayakan dan dipelihara di kolam.  Di Indonesia ikan lele ini secara alami terdapat di Pulau Jawa (Suyanto, 2006).

Pakan dan Kebiasaan Makan
Menurut Suyanto (2006), ikan lele digolongkan sebagai ikan karnivora.  Pakan alami yang baik untuk benih ikan lele adalah jenis zooplankton seperti Moina sp., Dapnia sp., cacing-cacing, larva (jentik-jentik serangga), siput-siput kecil dan sebagainya.  Pakan alami biasanya digunakan untuk pemberian pakan lele pada fase larva sampai benih.  Selain pakan alami, lele juga memerlukan pakan tambahan untuk pertumbuhan dan mempercepat kematangan gonad.  Untuk itu, jenis pakan tambahannya harus banyak mengandung protein hewani yang mudah dicerna.  Pakan tambahan tersebut harus dapat mempercepat pertumbuhan sehingga produksi yang diharapkan dapat tercapai. Pakan tambahan yang digunakan dapat berupa pelet komersial yang mengandung protein di atas 20% (Prihartono et al., 2000).     
Ikan lele biasanya mencari makanan di dasar kolam (Suyanto, 2006).  Peningkatan nafsu makan ikan Lele Dumbo seiring dengan peningkatan suhu air dan kebiasaan hidupnya.  Ikan Lele Dumbo lebih banyak beraktivitas pada malam hari atau sering disebut nokturnal terutama dalam hal mencari makan.  Namun, karena sudah menjadi kebiasaan, maka tidak jarang Lele Dumbo yang beraktivitas pada siang hari.  Oleh karena itu, pemberian pakan sebaiknya dilakukan antara 2-3 kali sehari, yaitu pada pagi sekitar puku 09.00 WIB, sore menjelang malam sekitar pukul 17.00-18.00 WIB dan malam sekitar pukul 20.00-22.00 WIB (Prihartono et al., 2000). 

Musim Pemijahan
Di alam, pemijahan ikan lele lebih banyak terjadi pada musim penghujan.  Namun, berdasarkan pengalaman para petani pada umumnya ikan lele dapat dipijahkan setiap saat sepanjang tahun apabila air media pemeliharaannya dilakukan pergantian secara terus menerus.  Selain itu, pemijahan juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, semakin baik mutu pakan lele maka akan semakin meningkatkan vitalitas dan kematangan gonad sehingga induk lele akan lebih sering memijah (Suyanto, 2006).


DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries And Allied Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Page 135-161.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. 2006. Modul Pelatihan Penguatan Kemampuan Dan Bakat Siswa (Life Skills). Pembenihan Ikan Lele Dumbo “Sangkuriang” (Clarias gariepinus). Pemerintah Kota Sukabumi. Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan. Sukabumi. Hal.1-3.

Direktorat Pembudidayaan. 2005. Budidaya Lele Sangkuriang. Direktorat Pembudidayaan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal. 1-13.

Direktorat Perbenihan. 2006. Pedoman Praktis Pengawasan Benih Bina. Deskripsi Lele Sangkuriang (Kepmen No. KEP. 26/MEN/2004).  Direktorat Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Deskripsi 7.

Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta. 257 Hal.

Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. 185 Hal

Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Hernowo dan S. R. Suyanto. 2004. Pembenihan dan Pembesaran Lele di Pekarangan, Sawah dan Longyam. Penebar Swadaya. Jakarta. 85 Hal.

Kasmir dan Jakfar. 2006. Studi Kelayakan Bisnis. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 356 Hal.

Khairuman dan K. Amri. 2002. Budidaya Lele Dumbo Secara Intensif. Argo           Media Pustaka. Jakarta.

Muflikhah, N. 1994. Pengaruh Jenis Pemberian Pakan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Baung (Mystus nemurus). Buletin Penelitian Perikanan Darat. Volume 12. No. 2. Hal. 37-40.

Najiyati, S. 2003. Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya.   Jakarta.

Nurhidayat, M.A., A. Sunarma dan J. Trenggana. 2004. Rekayasa Uji Keturunan (Progeny Test) Lele Dumbo Hasil Silang Balik (Backcross) dalam Jurnal Budidaya Air Tawar. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Vol. 1. No. 1. Sukabumi. Hal.18-22.

Nurdjana, M.L. 2006. Sambutan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya pada        Pembukaan Forum Pengembangan Budidaya Lele. Hotel Saphir         Yokyakarta, Tanggal 20 – 22 April 2006.

Prihartono, E.R., J. Rasidik dan U. Arie. 2000. Mengatasi Permasalahan Budidaya Lele Dumbo. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal. 1-81.

Rukmana, H.R. 2003. Budidaya dan Pascapanen Lele Dumbo. CV. Aneka Ilmu    Anggota IKAPI. Semarang.

Rausin. 2001. Manajemen Pembesaran Kerapu Macan di Karamba Jaring Apung. Loka Budidaya Laut Batam. Batam. Hal 1-47.

Ryanto. 1995. Dasar Penyusunan Evaluasi Proyek. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

SNI   : 01-6484.1-2000. Induk Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus x Clarias fuscus) Kelas Induk Pokok (Parent Stock). Badan Standar Nasional.

           : 01-6484.2-2000. Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus x Clarias fuscus) Kelas Benih Sebar. Badan Standar Nasional.

           :  01-6484.3-2000. Produksi Induk Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus x Clarias fuscus) Kelas Induk Pokok (Parent Stock). Badan Standar Nasional.

           :  01-6484.4-2000. Produksi Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus x Clarias fuscus) Kelas Benih Sebar. Badan Standar Nasional.

Soetomo, H.A. Moch. 2000. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar Baru Algensindo. Bandung. Hal. 1-98.

Subandi, M.M. 2003. Panduan Menghitung Biaya Usaha Lele Dumbo. Penebar    Swadaya. Jakarta.

Sunarma, A. 2004. Peningkatan Produktifitas Usaha Lele Sangkuriang      (Clarias sp.). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Sukabumi. Hal.1-6.

Sutisna, D.H dan R. Sutarmanto. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius.    Yogyakarta. Hal. 37-96.

Suyanto, R.S. 2006. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal. 3-38.

Umar, H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Teknis Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komprenensif. Gramedia Pustaka Utama. Edisi 2. 424 Hal.


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kabupaten Banyuwangi

Rabu, 20 Februari 2019

Wadah Untuk Budidaya Air Tawar


Wadah yang digunakan untuk budi daya ikan di air tawar berupa kolam air te-nang atau kolam air mengalir, kolam air deras, kolam tadah hujan, kolam terpal, keramba, keramba jaring apung, hampang, sekat, sawah, akuarium, drum, to­ren, dan tambak.
Pemilihan wadah yang digunakan untuk budi daya ikan air tawar disesuaikan de­ngan lokasi atau sumber air, jenis ikan, skala usaha, tahap kegiatan (pembenih­an, pendederan, pembesaran), dan modal usaha.

A. KOLAM AIR TENANG
Kolam air tenang (KAT) atau kolam air mengalir adalah kolam yang massa airnya mengalami penggantian karena badan air selalu mendapat pasokan air dengan debit minimum ю liter/detik/ hektar. KAT yang ideal adalah kolam yang mudah diairi dan dikeringkan. Karena kolam mendapat pasokan air secara terus-mene-rus, kualitas air di KAT selalu terjamin. Semua spesies ikan air tawar dapat di­pelihara di KAT. Demikian juga, semua proses budi daya ikan air tawar dapat di­lakukan di KAT: pembenihan, pendederan hingga pembesaran.
KAT biasanya dibangun di sekitar sungai, saluran irigasi, atau sumber air lainnya untuk memudahkan mengalirkan air tersebut ke dalam kolam. Untuk mengalir-kan air ke dalam kolam dibuat saluran, baik berupa saluran terbuka atau saluran tertutup berupa gorong-gorong atau pipa. Pada KAT ukuran kecil dapat meng­gunakan pipa atau selang plastik ukuran kecil.
KAT dapat berupa kolam tanah, kolam semi beton (pematang dan saluran di­buat beton, dasar kolam berupa tanah), kolam beton, dan kolam terpal. KAT da­pat berbentuk segi empat, empat persegi panjang, bulat, atau tidak beraturan. Sedangkan ukuran KAT mulai dari kecil, hanya beberapa meter hingga beberapa hektar. Untuk kegiatan pendederan dan pembesaran sebaiknya membangun kolam ukuran sedang antara 500 - 600 m2. Kolam yang terlalu luas selain mem­butuhkan biaya yang besar, apalagi dibangun beton, juga agak sulit dalam pe-ngelolaannya.
Gambar 1. Kolam Air Tenang


B. KOLAM AIR DERAS
Kolam air deras (KAD) adalah kolam yang airnya mengalir secara terus-menerus dalam jumlah besar, antara 25 - 100 liter/detik. KAD hanya сосок untuk kegiatan pembesaran ikan-ikan yang dapat hidup pada air yang mengalir. Karena itu, ikan-ikan yang habitat alaminya sungai dapat dipelihara di KAD seperti mas, tawes, lalawak, nilem, nila, mola, karper rumput, sidat, jelawat, dan semah. Pengguna­an KAD untuk pemeliharaan ikan di Indonesia mulai berkembang pada tahun 1980-an. Spesies ikan yang dipelihara adalah ikan mas. KAD berbentuk segi empat, empat persegi panjang, oval, segi tiga, dan tidak beraturan. Umumnya KAD dibuat berbentuk segi empat, empat persegi pan­jang, oval, dan segi tiga. KAD berupa kolam semi beton dan beton. Ukuran ko­lam dari ukuran kecil sampai ratusan meter, namun ukuran yang dianggap ideal adalah 100 - 200 m2 dengan kedalaman 1 -1,5 m. Di Jawa Barat, KAD untuk pem­besaran ikan mas, yang juga digunakan untuk pembesaran nila, ukurannya (P x L x T) 6 x 2,5 x 2 m dan 8 x 3 x 1,5 m. Ukuran KAD yang kecil memudahkan pengelolaan. Sistem pemberian air ke KAD bisa dibuat berseri, paralel atau kombinasi seri dan paralel, tergantung debit air dan kondisi lahannya. Namun untuk menjamin air kolam selalu baru, sebaiknya kolam dibuat paralel sehingga sistem pemberian air berlangsung secara paralel.
Gambar 2. Kolam Air Deras


C. KOLAM TADAH HUJAN
Kolam tadah hujan (KTH) adalah kolam yang dibangun pada lahan kering iklim basah. Lahan yang potensial untuk membangun KTH adalah lahan yang belum terjangkau jaringan irigasi, tetapi memiliki curah hujan di atas 2.000 mm per tahun. Di Indonesia, luas lahan kering iklim basah dengan kondisi seperti ter­sebut diperkirakan lebih dari 123 juta ha (Jangkaru, 2000), yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara.
Lahan tersebut sangat potensi untuk pembuatan KTH. Karena pasokan air yang terbatas, KTH hanya сосок untuk budi daya ikan-ikan yang tahan hidup pada lingkungan yang minim oksigen seperti gurami, betok, tambakan, sepat, lele, belut, gabus, dan toman. Ikan-ikan lain dapat dipelihara pada KTH bila kolam dikelola dengan cara resirkulasi atau menggunakan aerator untuk memasok oksigen.
Prinsip pembuatan KTH sama dengan lainnya. Dalam pembuatan KTH perlu di­perhatikan tekstur tanah yang berkaitan dengan fraksi atau ukuran butiran pe-nyusun tanah. Tanah liat dianggap paling сосок untuk pembangunan KTH. Ben­tuk dan ukuran kolam tergantung dari luas lokasi. KTH dapat bebentuk segi empat, empat persegi panjang, atau kolam tidak beraturan. KTH berbentuk segi empat atau bujur sangkar dengan ukuran kecil, misalnya 5x5 m, 6x6m hingga 10 x 10 m, kedalaman 1,25 - 1,50 m dan kedalaman air sekitar 1 meter, adalah ukuran yang banyak diterapkan oleh petani ikan.
Untuk meningkatkan kekedapan tanah yang mengandung fraksi pasir dilakukan pelapisan dengan plastik lembar, terpal, tanah liat, atau dengan bahan kimia. Pelapisan plastik lembar dilakukan dengan menanamnya di belakang dinding kolam. Jika sebuah KTH direncanakan berukuran 5 x 5 x 1,25 m, di sekeliling ko­lam pada jarak 50 cm dari dinding kolam digali parit dengan lebar 30 - 40 cm dan kedalaman 150 cm. Lembaran plastik dipasang dalam parit yang dimulai dari dasar sampai ketinggian sesuai dengan tinggi permukaan air kolam. Penimbun-an atau pengurukan kembali dilakukan pada bagian belakang plastik sehingga plastik dibatasi dengan air kolam oleh lapisan tanah yang keras. Dengan cara ini, kesuburan kolam dapat dipertahankan karena tanah asal tetap berhubungan langsung dengan air kolam.
Peningkatan kekedapan tanah dasar dilakukan dengan cara pembentukan lapis­an lumpur setebal 20 - 30 cm. Andaikata dengan lapisan lumpur masih terjadi rembesan air melalui dasar kolam, terpaksa di bawah lapisan lumpur dipasang pelapis lembaran plastik juga. Diusahakan agar plastik di dasar kolam bertemu dengan pelapis dinding.
Pelapisan seluruh permukaan kolam dilakukan dengan menggunakan lembaran fleksibel dari bahan polietilen, vinil, atau karet butil. Lembaran harus bersifat lunak dan dipasang dengan cermat agar jika sudah terpasang dapat berfungsi dengan baik dan tidak bocor. Lapisan permukaan tanah kolam, terutama dasar kolam diberi lapisan pasir 15 - 20 cm. Tebal terpal pelapis dari bahan polietilen dan vinil minimum 2 mm, sedangkan untuk bahan karet butil 4 mm. Apabila butir tanah yang di permukaan kolam lebih kasar, maka bahan pelapis juga harus lebih tebal. Bentuk terpal sebaiknya disesuaikan dengan bentuk dan luas kolam. Jika terpal yang tersedia di pasar berupa lembar dengan lebar sekitar 1 -1,5 m, pemasangan bagian sambungan harus dilakukan serapi mungkin agar tetap kedap air. Kekedapan tanah kolam dapat ditingkatkan dengan bahan kimia atau perekat lainnya.
Bahan kimia yang sering digunakan antara lain garam dapur dan poli-fosfat. Apabila menggunakan garam dapur, dosis yang digunakan antara 0,04 -0,17 kg/m2, sedangkan jika menggunakan polifosfat digunakan dosis antara 0,01 - 0,02 kg/m2. Cara memakainya adalah bahan perekat dicampur merata dengan tanah sampai membentuk adonan. Adonan dilapiskan di atas permukaan tanah kolam. Ketebalan lapisan adonan ditentukan oleh tinggi permukaan air kolam. Semakin tinggi permukaan air kolam, semakin tebal lapisan adonannya. Sebagai contoh untuk air kolam dengan ketinggian antara 80 - 100 cm dibutuhkan lapis­an adonan setebal 15 - 30 cm.
Akan tetapi yang perlu diingat adalah bahwa penggunaan bahan kimia atau ba­han perekat sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu, diperlukan biaya yang relatif mahal. Untuk itu, perlu dilakukan pertimbang-an secara teknis-ekologis dan ekonomis lebih bijaksana.
Pematang kolam sesedikit mungkin ditanami tumbuhan agar angin dapat ber-tiup bebas. Tiupan angin akan membantu pengadukan air sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air kolam bertambah melalui proses difusi dengan atmosfer.
Gambar 3. Kolam Tadah Hujan


D. KOLAM TERPAL
Kolam terpal (KT) atau kolam karpet merupakan salah satu inovasi baru dalam pengembangan budi daya ikan. KT merupakan pengembangan kolam tadah hujan (KTH), namun diterapkan di lahan terbatas. Sistem budi daya ikan di KT pertama kali dikembangkan oleh Bapak Mujarob, seorang petani ikan di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1999 dengan membudidayakan ikan lele. Saat ini KT telah digunakan untuk budi daya berbagai jenis ikan air tawar.
KT сосок untuk pemeliharaan ikan-ikan yang dapat hidup di perairan minim oksi­gen seperti gurami, betok, tambakan, sepat, lele, belut, gabus, dan toman. Ikan-ikan lain dapat dipelihara di KT jika kolam mendapat pasokan air terus-menerus. Cara lainnya adalah mengelola kolam secara resirkulasi atau menggunakan aerator.
Budi daya ikan di KT memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
  • Dapat diterapkan di lahan terbatas. Teknologi budi daya ikan di KT bisa diterapkan di lahan sempit, seperti di pekarangan atau halaman rumah. Bah­kan teknologi ini bisa diterapkan di garasi mobil, kolong rumah (rumah panggung), atau teras rumah.
  • Dapat diterapkan di lahan atau tanah yang porous (tanah yang menyerap air) atau tanah berpasir. Tanah porous atau tanah berpasir tidak baik atau tidak сосок untuk membangun kolam karena tidak mampu menahan air atau menyerap air. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan memba­ngun kolam beton. Namun biaya yang dibutuhkan untuk membangun kolam beton sangat mahal. KT merupakan alternatif yang baik, karena selain biaya pembuatannya murah, kolam juga mudah dipindahkan.
  • Dapat diterapkan di daerah sulit air. Sebelumnya, pada daerah sulit air hanya dikenal sistem budi daya ikan dengan menggunakan KTH. Namun pem­bangunan KTH juga membutuhkan biaya besar. Di samping itu, air pada KTH dapat hilang melalui penyerapan tanah di kolam dan penguapan. KT me­rupakan solusi yang tepat, karena biaya pembuatannya murah dan air di kolam ini hilang hanya melalui penguapan.
  • Pembuatannya praktis. KT hanya membutuhkan sedikit bahan dan waktu pembuatannya cukup beberapa jam. Ini berbeda dengan membuat kolam tanah atau kolam beton yang membutuhkan bahan yang banyak dan waktu pembuatannya memakan waktu berhari-hari.
  • Waktu produksi yang lebih singkat. Jika menggunakan kolam tanah, maka selesai panen, kolam harus dijemur dan diolah lagi. Pada KT, ketika selesai panen, KT cukup dibersihkan dan diisi air untuk pemeliharaan lagi.
  • Ikan-ikan yang dibudidayakan di KT tidak berbau lumpur. Salah satu ke-lemahan ikan yang dipelihara di KTH atau di air tergenang adalah berbau lumpur, hal ini karena kotoran ikan yang menumpuk, sisa-sisa makanan, metabolisme tubuh ikan, ataupun sumber air yang tidak bersih. Pada KT hal-hal tersebut dapat diminimalisasi dengan menyifon (menyedot kotoran da­sar kolam) dasar kolam, karena mudah dilakukan.
  • Sintasan atau kelangsungan hidup (survival rate) ikan yang dipelihara di KT lebih tinggi, yang dapat mencapai 90 - 95%. Hal ini karena pengawasan yang lebih mudah dan intensif.
  • Padat penebarannya lebih tinggi. Pada KTH atau kolam air tergenang, padat penebaran ikan bisa tinggi, namun pertumbuhannya melambat dan sintasan menurun.
  • Pertumbuhan ikan lebih cepat. Ikan yang dibudidayakan di KT, pertumbuh­annya dapat dipacu dengan pemberian pakan yang cukup dan berkualitas.
  • Biaya pembuatan KT lebih murah. KT juga dapat diubah posisinya dan dapat dipindahkan.


Sesuai dengan namanya, KT adalah kolam yang keseluruhan bentuknya, dari bagian dasar hingga sisi-sisi dindingnya, menggunakan bahan utama berupa terpal. Selain berbentuk kolam tanah atau kolam tembok, kolam terpal juga bisa berbentuk bak, tetapi disokong dengan kerangka dari bambu, kayu, pipa ledeng, atau besi.
Berdasarkan peletakannya, KT terdiri atas KT di atas permukaan tanah dan KT di bawah permukaan tanah. Sedangkan berdasarkan bahan dan cara membuat-nya, terutama dinding atau kerangka kolam maka dikenal beberapa KT, yaitu (a) KT dengan kerangka bambu/kayu/pipa ledeng/besi; (b) KT dengan dinding bata-ko atau batu bata; (c) KT dengan dinding tanah; dan (d) kolam beton atau kolam tanah berlapis terpal. Kolam a dan b merupakan KT di atas permukaan tanah. Kolam с adalah KT di bawah permukaan tanah, sedangkan kolam d bisa berupa kolam di bawah permukaan tanah maupun di atas permukaan tanah.
Ukuran KT disesuikan dengan lahan dan ukuran terpal, misalnya 2x3x1m, 4x5 x 1 m, 6 x 4 x 1 m, atau 4x8x1m. Untuk kolam ukuran 6x4x1m digunakan terpal 8 x 6 m, sedangkan untuk kolam ukuran 4x5x1m digunakan terpal ukuran 6x7m. Di salah satu sudut yang telah diatur kemiringannya dipasang paralon sebagai saluran pembuangan air. Terpal disobek sedikit dengan cara mengguntingnya berbentuk bintang agar bisa dipasang bengkokan pipa (knee).

E. KERAMBA
Keramba adalah wadah yang dipergunakan untuk memelihara ikan yang ditem­patkan dalam wadah air yang dangkal sehingga sebagian keramba muncul di atas permukaan air. Metode pemeliharaan ikan dalam keramba umumnya di­terapkan di sungai dangkal atau saluran air. Keramba juga dapat ditempatkan di danau, waduk, dan rawa-rawa pada bagian yang dangkal. Penempatan keramba di dasar perairan dengan tutup yang mencuat di muka air cukup menguntung­kan dalam pemeliharaan ikan.
aliran air, karena tidak semua spesies ikan dapat hidup melawan arus air. Keramba yang ditempatkan di sungai atau saluran irigasi dapat ditebari ikan-ikan sungai seperti ikan mas, tawes, lalawak, patin, nilem, nila, sidat, mola, karper rumput, jelawat, dan semah.
Keramba untuk pemeliharaan ikan dibuat dari bambu, kayu, gabungan bambu dan kayu, atau kawat dengan kerangka kayu/bambu. Ukuran keramba bervariasi tergantung pada luas dan kedalaman perairan. Untuk sungai atau saluran irigasi sempit keramba dibuat ukuran kecil, misalnya 2x1x1m. Sedangkan untuk sungai atau saluran irigasi yang luas, keramba dapat dibuat hingga ukuran 4x2 x 2 m. Untuk memudahkan pemberian pakan, pembersihan keramba dan pemanenan, pada tutup dibuat pintu dengan ukuran 40 x 50 cm, 50 x 50 cm, atau 60 x 60 cm. Penempatan keramba dilakukan di tepian sungai atau di tem­pat khusus yang telah ditentukan dengan cara mengikatkan pada tambatan berupa batang pohon atau tonggak tambatan. Keramba ditenggelamkan seba­gian di dalam air dengan bagian atas tetap mengapung di permukaan air sekitar 10 cm.

F. KERAMBA JARING APUNG
Salah satu teknologi akuakultur untuk budi daya ikan intensif adalah metode keramba jaring apung (KJA). Metode KJA merupakan teknik akuakultur paling produktif. Beberapa keuntungan yang dimiliki metode KJA, yaitu tingginya pa­dat penebaran, jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak diperlukannya peng­olahan tanah, mudahnya pengendalian gangguan predator (pemangsa), mudah-nya pemanenan, serta hasil panen tidak berbau lumpur.
Penerapan sistem budi daya ikan di KJA selain untuk peningkatan produksi per­ikanan air tawar, juga untuk meningkatkan daya saing produksi perikanan, ter­utama untuk pasar ekspor. Ikan yang diproduksi melalui budi daya sistem KJA dapat memenuhi syarat untuk ekspor, yaitu ukurannya seragam, warna ikan le­bih cerah dan terang, tidak berbau lumpur, dan dagingnya bersih. Sistem budi daya ikan di KJA juga berkembang, baik di air tawar maupun laut.
KJA сосок untuk wadah pembesaran ikan. Semua spesies ikan air tawar dapat dipelihara di KJA. Namun, umumnya ikan yang dipelihara di KJA adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti ikan mas, nila, patin, bawal air tawar, gurami, dan sidat.
KJA untuk pemeliharaan ikan air tawar berbentuk segi empat atau empat per­segi panjang dengan berbagai ukuran, misalnya 2x2 m, 4x4 m, 5x5 m, 6x6 m, 7 x 7 m, 8 x 8 m, atau 10 x 10 m, dan ukuran keramba 3x3x3m atau 5x5x3 m dan sebagainya. Rakit KJA dibuat dari bambu, kayu, atau bahan HDPE (High Density Polyethylene), sejenis plastik. Pelampung dibuat dari bambu bulat, balok kayu, drum, ban bekas, dan busa plastik atau stirofoam (styrofoam). Rakit yang dibuat dari bahan HDPE tidak perlu pelampung. Jangkar dibuat dari kantong yang diisi pasir, batu yang dibungkus, besi, kayu, beton cetak atau logam. Bobot jangkar yang digunakan ditentukan oleh arus dan angin, bentuk dasar perairan serta tekstur tanah dasar perairan. Untuk sebuah KJA di perairan tenang, jang­kar yang dibutuhkan cukup dua buah dan masing-masing berbobot 30 kg. Apabi­la ukuran KJA lebih besar atau terdiri dari gabungan beberapa rakit maka dapat digunakan jangkar yang berbobot 50 kg atau lebih. Sedangkan pemberat dapat berupa batu yang dibungkus, batang besi bulat, besi beton, atau tiang pancang. Ukuran pemberat disesuaikan dengan ukuran keramba/kantong jaring.
Bahan untuk pembuatan keramba harus bersifat tahan dalam air dan dapat me-nahan beban, terutama pada saat panen. Salah satu bahan yang memenuhi syarat tersebut adalah jaring poiietilen yang umum dipakai untuk jaring trawl. Selain jaring poiietilen, jaring kawat terbungkus plastik dapat digunakan sebagai bahan pembuat keramba. Pada KJA bertingkat atau berlapis, dibutuhkan tam­bahan jaring lapisan luar, pemberat, dan tambang. Untuk KJA ukuran 12,5 x 6 x 5 m cukup ditambahkan sekitar 40 kg jaring.

G. HAMPANG
Hampang atau pen (fence)—penculture—adalah bagian badan air yang diku-rung pagar dan digunakan untuk memelihara ikan. Hampang juga dikenal seba­gai keramba tancap. Secara ekologis, wadah pemeliharaan ikan dalam bentuk hampang merupakan gabungan antara kolam dengan keramba. Bersifat sebagai kolam karena ikan-ikan berhubungan langsung dengan tanah dasar badan air dan sebagai keramba karena massa airnya merupakan bagian langsung dari badan air keseluruhan.
Hampang dibangun di danau, waduk, atau rawa-rawa pada bagian yang dang­kal.
Semua spesies ikan air tawar dapat dipelihara di hampang. Salah satu ham-batan dalam pemeliharaan ikan di hampang adalah pada saat panen. Karena ukurannya yang luas dan tiang-tiang hampang ditanam di dalam tanah, pema­nenan ikan di hampang dilakukan dengan menggunakan jala atau jaring.
Hampang untuk pembesaran ikan air tawar dapat berbentuk segi empat, empat persegi panjang, bulat, atau tidak beraturan sesuai dengan kondisi lokasi. Ham­pang dapat dibangun/dibuat berbatasan dengan pantai/daratan atau agak jauh dari daratan. Hampang yang dibuat berbatasan dengan daratan akan menghe-mat bahan. Ukuran hampang disesuaikan dengan ukuran lokasi yang ada. Ukur­an hampang yang lebih kecil, misalnya 10 x 5 m, 10 x 10 m, 15 x 10 m, akan memu-dahkan pengelolaan. Hampang yang terlalu luas menyulitkan pengelolaan, ter­utama pemberian pakan. Bahan untuk pembuatan hampang berupa bilah bam­bu, papan, jaring atau kawat anyam. Bahan bilah bambu atau papan disusun seperti krei. Dasar hampang dibenam di dalam tanah 20 - 30 cm dan hampang bagian atas mencuat sekitar 50 cm di atas permukaan air. Untuk memudahkan pengoperasian, hampang dibangun pada badan air dengan kedalaman tidak lebih dari 2 m. Jika menggunakan jaring atau kawat anyam sebagai bahan ham­pang, mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang dipelihara. Jaring de­ngan mata jaring (mesh size) 2 - 2,5 cm lebih umum digunakan.

H. SEKAT
Sekat adalah salah satu teknik budi daya ikan air tawar di saluran irigasi atau sungai (sungai kecil). Teknik budi daya ikan dengan menggunakan sekat meru­pakan modifikasi dan pengembangan dari sistem budi daya ikan di keramba. Pada budi daya keramba, ikan dikurung dalam wadah berbentuk kotak yang ukurannya relatif kecil. Karena ukurannya kecil, populasi ikan yang ditebar, ruang gerak, dan pertumbuhan ikan terbatas.
Untuk mengatasi kendala tersebut, budi daya ikan di wadah keramba dimodifi-kasi dan dikembangkan menjadi sistem sekat. Pada budi daya ikan sistem sekat, ikan budi daya dibiarkan bebas pada saluran irigasi atau sungai kecil. Agar ikan dapat terkontrol keberadaannya, dipasang dua buah sekat pada jarak tertentu untuk mengurung ikan budi daya.
Dibanding budi daya ikan sistem keramba, budi daya ikan sistem sekat memiliki beberapa kelebihan di antaranya: populasi ikan yang dipelihara lebih banyak, ruang gerak ikan lebih bebas, dan pertumbuhan ikan lebih bongsor dan optimal. Selain itu, bila usaha harus dikembangkan tidak membutuhkan modal yang besar karena tinggal menggeser kedua sekat pada jarak yang lebih panjang dari semula. Pada sistem keramba, pembudidaya harus memperbesar ukuran keram­ba atau menambah beberapa buah keramba baru sehingga harus mengeluarkan tambahan modal yang relatif lebih besar.
Budi daya ikan sistem sekat pertama kali berkembang di Kabupaten Tabanan, Bali pada awal tahun 1980-an. Jenis ikan yang pertama kali dibudidayakan pada wadah sekat adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas dipilih sebagai ikan yang dikembangkan karena selain bernilai ekonomis, ikan mas juga dikenal se­bagai ikan sungai yang dapat hidup pada perairan mengalir.
Sekat dibangun di saluran irigasi/sungai ukuran kecil. Untuk memudahkan pema-sangan sekat, saluran irigasi/sungai yang dipilih sebaiknya memiliki lebar 1 - 2 m. Saluran irigasi/sungai yang terlalu lebar akan menyulitkan pemasangan sekat, pengontrolan, dan pengelolaan. Sebaliknya saluran irigasi/ sungai yang terlalu sempit (lebar < 1 m) membuat ikan budi daya tidak leluasa bergerak dan mudah dicuri.
Panjang saluran irigasi atau sungai yang disekat disesuaikan dengan pola usaha yang dikembangkan. Untuk usaha yang dikelola secara perorangan, sebaiknya panjang saluran atau sungai yang disekat antara 10 - 20 m. Sedangkan usaha yang dikelola secara berkelompok tentu lebih luas, bisa 100 - 200 m. Di daerah Tabanan, Bali, masyarakat satu dusun secara berkelompok mampu mengelola dan memanfaatkan saluran irigasi sepanjang 500 -1.000 m.
Kedalaman saluran irigasi yang сосок untuk pemasangan sekat adalah 50 - 100 cm. Kedalaman tersebut selain memudahkan pengelolaan, juga сосок untuk budi daya ikan. Debit air antara 30 - 50 liter/detik. Saluran irigasi yang telah di­bangun beton tentu lebih baik. Saluran irigasi yang mempunyai pintu pengatur air akan lebih baik.
Sekat dibuat dari bambu, kayu, atau jeruji besi. Yang perlu diperhatikan dalam membuat sekat adalah jarak bilah bambu, kayu, atau jeruji besi untuk mencegah ikan budi daya lolos dari wadah. Jarak 2 cm sudah сосок untuk benih ikan ukur­an > 10 cm atau bobot antara 50 - 70 g/ekor. Ikan yang dibudidayakan di wadah sekat adalah ikan-ikan yang mampu berenang pada air mengalir seperti ikan mas, tawes, lalawak, patin, nilem, nila, sidat, mola, karper rumput, jelawat, dan semah.

SAWAH
Sawah adalah salah satu wadah budi daya ikan air tawar yang telah lama dikenal di Indonesia. Sawah yang сосок untuk budi daya ikan adalah yang mendapat pasokan air memadai dari saluran irigasi atau sungai. Sawah yang digunakan untuk budi daya ikan disesuaikan dengan tersedianya air di saluran irigasi.
Sawah yang digunakan untuk budi daya ikan mempunyai pematang, parit, pintu air dan bak penampungan. Pematang kolam sawah dibuat dengan cara men-cangkul sebelah dalam pematang sawah untuk menimbun membentuk pema­tang. Dengan mencangkul berarti telah membuat parit kolam. Ukuran pema­tang, yaitu tinggi 40 - 60 cm, lebar atas sekitar 30 cm dan lebar bawah sekitar 50 cm. Ukuran pematang tidak ada ketentuan yang pasti, tergantung dari kondisi di lokasi tersebut. Jika sering terjadi kelebihan air di musim hujan maka tinggi pematang 60 cm atau lebih, namun bila kelebihan air tersebut tidak ber-bahaya, tinggi pematang antara 25 - 40 cm sudah cukup.
Pembuatan parit bersamaan dengan pembuatan pematang. Bagian dalam yang dicangkul adalah lokasi parit. Ukuran parit yang dibuat, yaitu kedalaman (tinggi) sekitar 30 cm, lebar atas 50 cm, dan lebar bawah 30 cm. Jika ukuran petakan sawah besar, ukuran parit juga dapat diperbesar.
Bentuk parit bermacam-macam, tetapi prinsip pembuatannya tetap sama, yaitu menggali tanah untuk membuat/memperbaiki pematang. Parit yang banyak dibuat petani, yaitu parit keliling, yang dibuat mengelilingi pelataran sawah dan berdampingan dengan pematang. Membuat parit bentuk ini mudah karena ta­nah yang digali langsung ditimbun menjadi pematang tanpa mengangkatnya lagi. Selain parit keliling, bentuk parit yang lain adalah parit tengah, parit dia­gonal, parit palang, dan parit kombinasi.
Pintu air dibuat dari bambu atau pipa paralon yang ditanam pada pematang sawah. Untuk pintu pemasukan air cukup satu, sedangkan pintu pengeluaran dibuat dua buah, pintu yang satu berfungsi sebagai saluran limpas, sedangkan yang satunya lagi sebagai saluran penguras. Pipa atau bambu untuk pintu pe­masukan dipasang agak miring ke dalam sehingga selain pemasukan air berjalan lancar, air yang jatuh sedikit deras menyebabkan kelarutan oksigen di perairan meningkat. Agar berbagai jenis hama dan sampah tidak lolos masuk ke dalam kolam melalui pintu air, pada pintu dipasang saringan dari jaring atau anyaman kawat.
Kolam sawah juga dilengkapi dengan bak penampungan yang berfungsi me­nampung ikan di saat panen, sehingga ikan mudah ditangkap. Bak penampung­an dibuat di sekitar pintu pengeluaran air berbentuk segi empat dengan ukuran 1 x 1 m atau lebih.
Semua jenis ikan air tawar dapat dibudidayakan di sawah, kecuali ikan yang membutuhkan volume air yang besar dan mengalir seperti sidat. Teknik budi daya ikan di sawah yang diterapkan dapat berupa pendederan maupun pem­besaran.

AKUARIUM
Akuarium adalah salah satu wadah yang digunakan untuk pemeliharaan ikan air tawar, terutama ikan hias. Namun, akuarium juga digunakan pemeliharaan ikan konsumsi, khususnya dalam pembenihan, baik untuk penetasan telur maupun pemeliharaan larva dan benih. Ukuran akuarium yang digunakan bermacam-macam. Akuarium yang digunakan terbuat dari plastik maupun kaca.

DRUM
Drum, tong, atau gentong adalah salah satu satu wadah yang digunakan dalam budi daya ikan air tawar. Drum untuk budi daya ikan berupa drum plastik atau drum besi, baik drum bekas maupun baru. Drum bekas biasanya dijual di tempat-tempat penampungan barang bekas, selain mudah dan praktis dalam penggunaannya, juga relatif lebih ekonomis. Namun perlu diwaspadai karena drum tersebut umumnya merupakan bekas penampungan bahan kimia. Untuk itu, sebelum digunakan harus dibersihkan. Drum juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia karena membahayakan ikan budi daya.
Jika harus memilih, sebaiknya memilih drum plastik. Pasalnya, drum plastik rela­tif aman dari risiko berkarat. Jika menggunakan drum yang terbuat besi, harus diperhatikan pelapisan bahan antikarat. Besi akan cepat berkarat jika terkena air. Selain berpengaruh pada usia pakai, karat juga dapat membahayakan ikan budi daya.
Drum yang digunakan sebaiknya yang berukuran 200 liter dan tingginya saat direbahkan adalah 60 cm. Penggunaan drum juga harus mempertimbangkan ke-nyamanan dan keamanan. Bentuk drum yang melingkar, selain membuat tinggi air tidak sama, juga membuat drum mudah terbalik/terguling. Karena itu, pada saat peletakan drum harus dipastikan telah diganjal dengan baik. Lebih baik lagi jika tempat peletakan drum dibuat dengan cara dipondasi/dicor atau dibuat dari kerangka kayu atau besi. Cara lainnya adalah memotong drum menjadi dua bagian sehingga dasar drum tetap datar dan tidak mudah terguling. Namun, cara ini membuat permukaan lebih sempit.
Drum yang akan digunakan sebaiknya tidak berkarat dan tidak bocor. Untuk me-mastikan drum bocor atau tidak, masukkan air ke dalam drum lalu diamkan beberapa saat. Bila tidak ada air yang keluar berarti drum tidak bocor. Cara menggunakan drum dalam budi daya ikan ada tiga, yaitu (a) drum dipotong menjadi dua dalam ukuran yang sama; (b) drum dibelah menjadi dua dalam ukuran yang sama; dan (c) bagian tengah drum dibuka agar belut yang di­masukkan lebih banyak.
Drum yang dibelah atau dibuka bagian tengah dan diletakkan secara mendatar (horizontal) akan memperbanyak belut yang dimasukkan dan gerak belut lebih leluasa. Untuk memperluas wadah budi daya, dua buah drum besi dapat disam-bung dengan cara membuka bagian penutup di ujungnya, kemudian sambung dengan satu drum besi lain yang sudah dibuka bagian ujungnya. Penyambungan dilakukan dengan cara dilas.
Penggunaan drum dengan cara dipotong menjadi dua bagian yang sama lebih praktis dan aman, terutama dari risiko terguling. Namun, cara ini mempersempit permukaan drum dan gerak belut tidak leluasa. Jika menggunakan drum besi, sebaiknya dicat terlebih dahulu untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya karat selama proses budi daya. Setelah cat benar-benar kering, drum harus di-netralisir untuk menghilangkan bau dan zat racun yang dapat membahayakan belut. Caranya, masukkan air ke dalam drum kira-kira sebanyak К bagian, lalu masukkan potongan batang pisang secukupnya. Diamkan selama 5 hari. Selama proses perendaman batang pisang, air tidak perlu diganti. Gosok bagian dinding drum dengan pelepah pisang untuk menghilangkan bau cat.
Atur jarak antardrum agar memudahkan perawatan dan terlihat rapi. Untuk drum dibelah menjadi dua bagian atau dibuka bagian tengah agar tidak ter-guling/terbalik, maka diberi penahan pada sisi kiri dan kanan. Buatkan saluran pembuangan di bagian bawah salah satu sisi drum. Saluran pembuangan bisa menuju ke wadah penampungan untuk digunakan lagi setelah difilterisasi. Bisa juga langsung menuju ke saluran pembuangan. Buatkan atap pada lokasi budi daya sehingga kondisi drum lebih teduh. Atap bisa dibuat secara sederhana dengan menggunakan daun kelapa atau daun nipah.

TOREN
Toren adalah salah satu wadah yang dibuat untuk menampung zat cair. Toren juga biasa disebut drum atau tong, karena bentuknya seperti tabung. Dibanding drum, ukuran toren lebih besar, sehingga jika digunakan untuk budi daya ikan, daya tampungnya lebih besar. Ukuran toren biasanya 500 -1.000 liter.
Ada dua macam bentuk toren, yaitu bentuk tabung dan bentuk kubus. Toren bentuk tabung biasanya digunakan untuk penampungan air minum dan di tem-patkan di menara, kemudian air dialirkan dengan menggunakan pipa ke dalam rumah. Toren banyak digunakan sebagai wadah penampungan air di kantor, rumah, dan lain-lain. Toren bentuk kubus dibuat untuk keperluan penampungan bahan-bahan cair, misalnya cat, gula cair, dan lem. Toren jenis ini biasanya di­lengkapi dengan rangka besi sebagai penahan.
Untuk budi daya ikan air tawar, kedua jenis toren tersebut dapat dipakai. Na­mun toren bentuk kubus lebih baik digunakan sebagai wadah dibanding toren; bentuk tabung. Toren bentuk kubus mempunyai kerangka besi sehingga dapat berdiri dengan kokoh. Di samping itu, bentuknya menyerupai kubus dapat mem-perluas permukaan wadah sehingga ikan budi daya lebih leluasa dan nyaman.
Salah satu ujung toren dipotong kemudian dicuci sampai bersih. Buat saluran pembuangan di salah satu sisi bagian bawah. Toren diatur berjejer secara rapi dan kemudian dilengkapi dengan peneduh sederhana dari daun kelapa atau daun nipah.

FIBERGLASS
Bak fiberglass sudah umum digunakan untuk akuakultur, terutama untuk ke­giatan pembenihan. Selain tersedia dalam berbagai ukuran dan tahan lama, bak fiberglass juga memungkinkan digunakan pada lahan sempit dan terbatas, serta mudah dipindah-pindahkan.

TAMBAK
Tambak atau empang adalah wadah yang dibangun di pesisir pantai atau di pinggir sungai, sehingga tambak mendapat pasokan air laut dan air tawar. Kare­na itu, air pada tambak umumnya bersalinitas payau (5 - 20 ppt). Tambak yang jauh dari pantai mempunyai salinitas sangat rendah (< 5 ppt), bahkan airnya tawar, terutama tambak yang mendapat pasokan air tawar dari sungai.
Sebelumnya tambak hanya dikenal sebagai wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang laut (Penaeus monodon, P. merguiensis, P. indicus, Metapenaeus sp.). Namun sejak awal tahun 2000-an, tambak juga menjadi wadah budi daya selain dua komoditas tersebut, baik ikan maupun nonikan. Tambak juga mulai diguna­kan untuk budi daya komoditas air tawar.
Komoditas air tawar yang dapat dipelihara di tambak antara lain ikan nila, mu­jair, sidat, patin, dan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Nila dan mujair yang merupakan ikan euryhaline (toleran pada kisaran salinitas luas) yang dapat dipelihara di tambak air payau maupun di laut. Sidat juga dapat dipelihara di tambak yang salinitasnya < 7 ppt, sedangkan patin dapat dipelihara di tambak pada salinitas < 5 ppt.
Berdasarkan ujicoba, nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik di tambak bekas udang atau tambak "parkir" (tambak mangkrak). Tambak-tambak bekas udang tersebut tidak digunakan setelah gagal dalam budi daya udang.
Tambak untuk budi daya nila dan mujair berupa tambak bekas atau tambak "parkir" maupun tambak yang baru dibangun. Tambak untuk pembesaran ikan dapat berbentuk segi empat, empat persegi panjang, atau tidak beraturan se­suai dengan kondisi lokasi. Pematang tambak dapat berupa pematang tanah maupun pematang beton. Jika pematang berupa pematang tanah, pembuatan­nya harus kokoh untuk menahan tekanan air yang besar. Tinggi pematang lebih tinggi dari pasang air tertinggi. Saluran tambak berupa saluran beton, saluran tanah maupun pipa PVC. Jika saluran berupa saluran tanah, kemiringan saluran perlu dipertimbangkan agar ketika pemasukan atau pengeluaran air tidak terjadi erosi pada dinding dan dasar saluran. Tambak yang baik mempunyai saluran pemasukan dan pengeluaran air yang berbeda. Pintu tambak berupa pintu be­ton, pintu kayu, atau pipa PVC. Pintu dirancang sedemikian rupa sehingga mam­pu memasukkan dan mengeluarkan air sesuai dengan kebutuhan. Kecuali, pe­masukan air ke tambak menggunakan pompa mesin dan pipa PVC, ukuran pintu air tidak menjadi masalah. Ukuran petak tambak yang dikelola secara intensif tidak lebih dari 1 ha agar pengelolaannya lebih mudah. Ukuran ideal adalah 0,5 ha.

Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan kabupaten Banyuwangi