Kamis, 15 Maret 2018

TEKNIK BUDIDAYA : PEMBENIHAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS)



Dalam pembenihan rajungan, diperlukan beberapa ketentuan antara lain penyediaan induk rajungan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta kondisi lingkungan yang sangat menentukan terhadap keberhasilan dari perbenihan rajungan di mana suhu, salinitas, makanan, dan sistem pemeliharaan yang berbeda akan mengakibatkan proses intermoult (lama antar pergantian kulit) dan waktu untuk metamorfosis 1 akan berbeda juga. Berikut beberapa keterangan tentang teknik pembenihan rajungan.

Gambar. Rajungan (Portunus pelagicus)


MORFOLOGI DAN KLASIFIKASI RAJUNGAN
Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Dilihat dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam :
Phylum                 : Arthropoda 
Class                     : Crustacea
Ordo                     : Decapoda
Sub ordo               : Branchyura
Famili                   : Portunidae
Genus                   : Portunus 
Species                 : Portunus pelagicus 

HABITAT RAJUNGAN
Induk rajungan yang akan dipijahkan berasal dari alam yaitu di pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur, dan di pulau berkarang. Induk rajungan yang mengandung telur banyak terdapat pada bulan Maret sampai Mei dan pada bulan Juni sampai Agustus.

PERSIAPAN PEMBENIHAN
Induk rajungan yang ditangkap dari alam kemudian ditempatkan pada bak beton tertutup dengan kedalaman 50 cm, dan dilakukan pergantian air atau air mengalir. Pada bak induk harus dihindari adanya alga karena akan mengganggu perkembangan telur. Pengamatan akan  perkembangan telur selalu dipantau setiap hari dan akan terlihat perubahan warna telur dari orange ke coklat dan kemudian berwarna hitam.

PENETASAN TELUR
Penetasan telur biasanya akan terjadi pada waktu malam hari pukul 20.00 - 24.00, kemudian induk diambil, dilanjutkan dengan menghitung larva, larva dipindahkan ke bak pemeliharaan. Larva yang menetas diseleksi,  larva yang kurang baik dengan tanda-tanda kurang tertarik pada cahaya dan ukuran larva kecil < 0,65 mm dibuang.

PEMELIHARAAN LARVA
Pemeliharaan larva rajungan mempunyai masa stadia zoea yang lebih singkat yaitu hanya mengalami 4 masa stadia zoea (Z1-Z4). lama perkembangan masa stadia zoea sekitar 3-4 hari dalam kondisi suhu media air 20°C-25°C, stadia megalopa dan crablet selama 5-7 hari.
Larva dipelihara pada bak bulat yang ditempatkan di luar ruangan atau ruang kaca. Sumber air yang baik digunakan dalam pemeliharaan larva rajungan berupa air laut yang disaring dengan filter pasir yang kemudian disterilkan dengan sodium hipoklorit dan dinetralkan dengan sodium tiosulfat.
Langkah yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak dengan bak, dengan memper tahankan suhu air yang konstan; salinitas air 30-33 ppt; pH air sekitar 8-8,5; dan oksigen 15--20 L/ton/menit. Penebaran larva rajungan dapat dilakukan dengan kepadatan 100 ind./L. Kepadatan optimal untuk produksi massal Portunus pelagicus yang dipelihara dalam bak volume 400 liter adalah berturut-turut untuk Zoea 1, 2, 3, dan 4 sebanyak 312.000, 294.000, 200.000, dan 104.000 ekor, begitu juga pola pemberian pakan untuk bak tersebut adalah 2 x 1 juta artemia ditambah 2 x 10 g pakan tambahan. jenis makanan yang diberikan dan caranya selama pemeliharaan larva sampai crablet rajungan berurutan berupa rotifera, pakan tambahan, naupli artemia, dan ikan rucah yang diblender, Juwana (2002) memberikan pola makan pada P. pelagicus berurutan berupa naupli artemia, formulasi diet, dried mysid, dan kerang hijau cincang.

PENEBARAN BENIH
Kepadatan optimal untuk produksi massal Portunus pelagicus yang dipelihara dalam bak volume 400 liter adalah berturut-turut untuk Zoea 1, 2, 3, dan 4 sebanyak 312.000, 294.000, 200.000, dan 104.000 ekor.
Suhu optimal untuk pemeliharaan zoea sekitar 30°C atau berkisar 27°C-32°C, sementara untuk stadia megalopa sekitar 34°C, salinitas optimum untuk zoea sekitar 27-30 ppt. Untuk stadia crablet membutuhkan air bersalinitas 28-32 ppt; dan suhu 28°C-30,5°C.

PEMANENAN BENIH RAJUNGAN
Setelah benih mencapai stadia crablet maka rajungan dapat segera diangkut menuju tempat pembesaran di tambak dengan kepadatan 150 ekor/liter dengan suhu air 15°C-19°C.




Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi


Rabu, 14 Maret 2018

TEKNIK BUDIDAYA : NILA GIFT (Oreochromis niloticus)



Sejak awal kedatangan ikan Nila (Oreochromis niloticus) ke Indonesia pada tahun 1990, ikan nila terus berkembang dan semakin populer. Kepopulerannya pun dapat mengalahkan jenis ikan lainnya yang sudah lama lahir di Indonesia. Hal ini sangat wajar karena selain harganya yang ekonomis, ikan nila juga memiliki rasa daging yang cukup enak sehingga banyak digemari oleh konsumen.
Sebagai salah satu komunitas budidaya, ikan nila menjadi salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu, ikan nila juga dapat di ekspor ke berbagai negara. Ikan nila juga dapat berperan dalam menunjang Usaha Peningkatan Gizi Keluarga.


Gambar. Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus)

PEMBENIHAN IKAN NILA PENYEDIAAN INDUK
Keberhasilan suatu usaha pembenihan ikan nila dipengaruhi oleh kualitas induk-induk yang kualitas genetisnya kurang baik. Maka, benih yang dihasilkan kualitasnya kurang baik pula. Oleh karena itu, sebaiknya induk yang digunakan harus mempunyai kualitas yang baik.
Tanda-tanda induk yang berkualitas baik adalah kondisi sehat, berbadan normal, sisik besar dan tersusun rapih, kepala relatif kecil dibandingkan dengan badanya, badan tebal dan berwarna mengkilap, gerakan lincah serta memiliki respon yang baik terhadap pakan tambahan.
Jenis kelamin pada ikan nila dapat dibedakan dari tanda pada tubuh bagian luar, yaitu bentuk, warna, dan alat kelamin. Induk jantan memiliki tubuh yang lebih tinggi dan membulat, warna lebih cerah dan memiliki satu lubang kelamin yaitu digunakan sebagai tempat pengeluaran sperma dan air seni. Sementara yang betina bertubuh lebih rendah atau lebih memanjang, warna lebih gelap serta berlubang kelamin dua, yaitu satu untuk mengeluarkan telur dan yang lainnya untuk mengeluarkan air seni.

PERSIAPAN KOLAM
Persiapan kolam pemijahan dimulai dari pengeringan kolam, dilakukan selama 2 – 3 hari. Pengeringan kolam berlangsung sampai dengan permukaan dasar kolam yang pecah-pecah dengan pengeringan tidak sampai lima hari karena mengakibatkan rusaknya pematang akibat kebocoran, kemudian perbaikan pematang dan perbaikan kamalir kolam.
Pengolahan dasar tanah dicangkul dan dibalik sedalam 30 cm hingga bahan organik yang berlebihan dari dasar kolam sebagai akibat dari pemberian pakan yang berlebihan akan terbuang. Setelah pengolahan dan pengeringan kolam selanjutnya dilakukan pemupukan. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang 250 – 1000 gr/m2, Urea 15 gr/m2 dan SP – 36 10 gr/m2. Setelah selesai, kolam diairi setinggi 40 – 60cm.

PEMELIHARAAN INDUK
Pemeliharaan induk dilakukan secara terpisah antara induk jantan dan betina. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan telur yang banyak dan berkualitas, serta bertujuan agar tidak terjadi pemijahan secara liar (mijah maling) dan proses pematangan gonad dapat berlangsung sempurna. Keuntungan lain dari pemisahan induk jantan dan betina ialah memudahkan seleksi induk dan bisa dengan mudah membedakan induk yang sudah dipijahkan.
Untuk mendukung kondisi induk, diusahakan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan induk dalam keadaan baik. Di samping itu, pemberian pakan tambahan harus mencukupi agar perkembangan gonad optimal. Karena itu, air kolam pemeliharaan induk harus mengalir dan makanan tambahan yang diberikan harus mencukupi yakni 3 - 3,5% dari bobot tubuh total induk yang dipelihara dengan kandungan protein 3%. Induk yang dipijahkan, diseleksi dengan berat 200 - 300 gram untuk induk betina dan 300 - 400 gram untuk induk jantan.

PEMIJAHAN
Ikan nila gift termasuk ikan yang sangat mudah untuk memijah. Dalam proses pemijahannya tidak diperlukan manipulasi lingkungan secara khusus. Induk jantan dan betina yang akan dipijahkan ditebarkan secara bersamaan. Padat tebar induk untuk pemijahan ialah 1 ekor/m2 dengan perbandingan induk jantan 1:3 sampai 1:5. Artinya, untuk luas kolam 400 - 600 m2 bisa ditebar induk sebanyak 400 - 600 ekor (100 ekor jantan dan 300 - 500 ekor betina). Ikan nila akan memijah setelah umur 5 - 6 bulan. Saat itu biasanyaberat induk betina dapat mencapai 200 - 500 gram dan induk jantan 250 - 300 gram. Kandungan telur dari setiap induk betina berbeda, tergantung umur dan beratnya. Induk betina yang beratnya 200 - 250 gram mengandung telur 500-1000 butir dan dapat menghasilkan larva 200 - 400 ekor.
Pemijahan akan terjadi setelah hari ketujuh sejak penebaran induk. Pemijahan terjadi dilubang-lubang (lekukan berbentuk bulat) berdiameter 30 - 50 cm di dasar kolam yang merupakan sarang pemijahan. Ketika pemijahan berlangsung, telur yang dikeluarkan induk betina dibuahi sperma jantan. Selanjutnya, telur yang sudah dibuahi tersebut dierami induk betina di dalam mulutnya. Induk betina yang sedang mengerami telurnya biasanya tidak makan atau puasa. Oleh karena itu, seminggu setelah induk ditebar, jumlah pakan tambahan yang diberikan dikurangi sekitar 25% dari jumlah semula.

PERAWATAN LARVA
 Larva yang sudah dikeluarkan induk belum bisa dipelihara di kolam pendederan, tetapi harus dipelihara di kolam pemeliharaan benih hingga mencapai 3 - 5 cm. Agar dapat tumbuh cepat, setiap hari benih diberi pakan tambahan berupa pellet yang dihaluskan atau dedak halus dengan dosis berbeda setiap minggunya. Untuk setiap 100.000 ekor larva dosis pada minggu ke-1 sebanyak 1 kg, minggu ke-2 sebanyak 1,2 - 2,5 kg, minggu ke-3 sebanyak 3 - 4 kg dan minggu ke-4 sebanyak 4,5 - 5,5 kg. Selain itu kolam perlu dipupuk apabila kesuburan kolam sudah menurun. Pupuk yang digunakan berupa pupuk kandang dengan dosis 200 - 300 gram/m2. Selama masa pemeliharaan, kondisi kolam harus tetap baik sehingga pengontrolannya harus tetap dilakukan setiap harinya.

PEMANENAN
Benih bisa segera dipanen setelah induk melepaskan benih dari dalam induknya. Pemanenan ini harus dilakukan pada saat yang tepat (paling lambat 2 hari setelah dikeluarkan dari mulut induk). Waktu panen yang ideal dilakukan pada pagi hari ketika kondisi oksigen dalam air masih rendah. Hal ini ditandai dengan banyaknya larva yang muncul kepermukaan air kolam, terutama dibagian pinggir kolam. Jika pemenenan terlambat dilakukan, larva sudah berpindah ke arah tengah kolam sehingga sulit untuk ditangkap. Pemanenan dilakukan dengan cara ditangkap dengan scoopnet atau waring. Setelah ditangkap, larva dimasukan ke dalam ember dan ditampung dalam hapa kemudian dipindahkan ke dalam kolam pendederan. Biasanya larva yang dipanen berukuran panjang 10 - 12 mm dengan berat antara 0,05 - 0,010 gram. Satu induk betina yang beratnya 500 gram dapat menghasilkan larva sebanyak larva sebanyak 500 - 700 ekor.




Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi

Rabu, 07 Maret 2018

MUTU ATAU KUALITAS BAHAN BAKU IKAN



1.      Mutu Ikan Segar
Penanganan ikan setelah penangkapan atau pemanenan memegang peranan penting untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah satu faktor yang menentukan nilai jual ikan dan hasil perikanan yang lain adalah tingkat kesegarannya. Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli maka harga jual ikan tersebut akan semakin mahal. Tingkat kesegaran ikan ini sangat terkait dengan cara penanganan ikan (Junianto, 2003).

Gambar 1. Contoh ikan segar


Menurut Hadiwiyoto (1993), Penanganan yang tepat merupakan kunci keberhasilan mempertahankan kesegaran ikan, karena hal tersebut menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk menentukan nilai jualnya. Untuk mendapatkan hasil perikanan yang mempunyai kesegaran yang baik perlu diperhatikan beberapa hal pada pekerjaan pengesan, antara lain adalah :  jumlah es yang digunakan,  cara penambahan es pada hasil perikanan,  waktu lamanya pemberian es,  ukuran wadah yang digunakan,  menghindari pengesan ikan yang masih kotor dan luka.

Jumlah es yang diberikan akan berbeda sesuai dengan suhu awal ikan tersebut.Mutu bahan baku yang sesuai menurut SNI 01-2729.1-1992 adalah bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukkan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.

Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karekteristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut :
Rupa dan warna         : bersih, warna daging spesifik jenis ikan segar
Bau                             : segar spesifik jenis, bau rumput laut  segar.
Daging                        : elastis, padat dan kompak
Rasa                            : netral agak manis.

Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karenanya, sangat penting untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati. Dengan demikian, dapat dilakukan tindakan penanganan yang baik dalam upaya mempertahankan kesegaran ikan (Junianto, 2003).

2.      Parameter Ikan Segar
Tingkat kesegaran adalah tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan-perubahan sifat ikan pada waktu masih hidup. Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam 4 kelas mutu (Hadiwiyoto, 1993 dalam Suryawan 2004), yaitu:

a.       Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima)
Ikan yang kondisinya baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar. Dalam uji organoleptik, ikan pada kondisi berada pada nilai 9 yaitu dengan mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah dan jernih, sayatan daging cemerlang.

b.      Ikan yang kesegarannya masih baik (advance)
Ikan yang masih dalam keadaan segar, namun tidak sesegar seperti pada kondisi pertama. Dalam penilaian secara organoleptik, ikan ini mempunyai nilai antara 7 sampai 8, yaitu dengan bola mata agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun agak lunak bila ditekan.

c.       Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang)
Ikan yang kondisi organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan. Nilai organoleptik untuk ikan ini berkisar antara 5 sampai 6, yaitu dengan bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek.

d.      Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk)
Ikan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Daging ikan pada kondisi ini sudah lunak dengan sayatan daging tidak cemerlang, bola mata cekung, insang berubah menjadi coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah menyebarkan bau busuk. Nilai organoleptik untuk ikan pada kondisi ini, yaitu 1 sampai 4.

3.      Kemunduran Mutu Ikan Segar
Ikan adalah bahan pangan yang mudah sekali rusak terutama dalam keadaan segar akan cepat sekali mengalami kerusakan sehingga mutunya menjadi rendah. Kerusakan ini dapat terjadi secara biokimiawi maupun secara mikrobiologi. Kerusakan biokimiawi disebabkan oleh adanya enzim-enzim dan reaksi-reaksi biokimiawi yang masih berlangsung pada tubuh ikan segar. Kerusakan biokimiawi ini sering kali disebut dengan otolisa, yakni kerusakan yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Sementara itu kerusakan mikrobiologi disebabkan karena aktifitas mikroba, terutama bakteri. Di dalam pertumbuhannya atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mikroba memerlukan energi yang dapat diperoleh dari subtrat tempat hidupnya. Daging ikan merupakan subtrat yang baik sekali untuk bakteri karena dapat menyediakan senyawa-senyawa yang dapat menjadi sumber nitrogen, sumber karbon, dan kebutuhan-kebutuhan nutrien lainnya untuk kebutuhan hidupnya (Hadiwiyoto, 1993).
Menurut Afriyanto dan Liviawaty (2002), proses pembusukkan dapat terjadi karena perubahan akibat aktivitas enzim-enzim tertentu yang terdapat di dalam tubuh, aktivitas bakteri dan mikroorganisme lain atau karena proses oksidasi lemak oleh udara. Biasanya aktivitas penyebab pembusukkan di atas dapat dikurangi atau dihentikan sama sekali apabila suhu lingkungan diturunkan, misalnya dengan menggunakan suhu rendah. Salah satu cara pengawetan dengan suhu rendah yaitu dengan menggunakan es batu.
Tahap-tahap perubahan yang terjadi setelah ikan mati dapat dibagi dalam tiga fase menurut tingkat kesegarannya, yaitu fase pre-rigor, fase rigor mortis dan fase post rigor. Lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada ikan, tergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi ikan waktu hidup, cara kematian dan suhu penyimpanan. Fase pre-rigor merupakan perubahan pertama yang terjadi ketika ikan mati, yang ditandai melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan mudah dilenturkan. Perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen untuk kegiatan metabolismenya. Meskipun telah mati, di dalam tubuh ikan masih berlangsung proses enzimatis. Proses ini berjalan tanpa kendali, sehingga mengakibatkan perubahan biokimia yang luar biasa.

Beberapa saat kemudian tubuh ikan menjadi kaku (rigor mortis) akibat dari berbagai reaksi biasanya proses ini berlangsung selama lima jam. Selama berada dalam fase ini, ikan masih dalam sangat segar. Ini berarti bahwa apabila rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama, maka proses pembusukkan dapat ditekan. Pada fase rigor mortis, PH tubuh ikan menurun menjadi 6,2 – 6,6 dari PH mula-mula 6,9 – 7,2. Tinggi rendahnya PH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam posfat, TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto, 2003). Fase rigor mortis diakhiri dengan fasepost rigor yang merupakan permulaan dari proses pembusukkan. Fase ini meliputi autolisi, pembusukkan oleh bakteri dan ketengikan. Pada saat ikan masih hidup terdapat sejumlah bakteri pada kulit, insang dan saluran pencernaan. Bakteri-bakteri ini tidak dapat menyerang ikan karena adanya kulit dan lendir yang berfungsi sebagai penghalang. Setelah ikan mati, penghalang tersebut tidak berfungsi lagi sehingga bakteri dapat menyerang  kulit, insang dan saluran pencernaan. Pembusukkan akan lebih cepat dengan adanya penyinaran langsung dari sinar matahari (Yunizal dan Wibowo, 1998 dalam Suryawan, 2004).

Tabel 2. Ciri Ikan Segar (SNI 01-2729.1-2006)
PARAMETER
IKAN SEGAR
IKAN BUSUK
Mata
Pupil hitam menonjol dengan kornea jernih, bola mata cembung dan cemerlang
Pupil mata kelabu tertutup lendir seperti putih susu, bola mata cekung dan keruh
Insang
Warna merah tua, tak berlendir, tidak tercium bau yang menyimpang (off odor)
Warna merah cokelat sampai keabu-abuan, bau menyengat, lendir tebal
Tekstur daging
Elastis dan jika ditekan tidak ada bekas jari, serata padat atau kompak
Daging kehilangan elestisitas nya atau lunak dan jika ditekan dengan jari maka bekas tekanannya lama hilang
Keadaan kulit dan lendir
Warnanya sesuai dengan aslinya dan cemerlang, lendir dipermukaan jernih dan transparan dan baunya segar khas menurut jenisnya
Warnanya sudah pudar dan memucat, lendir tebal dan menggumpal serta lengket, warnanya berubah seperti putih susu
Keadaan perut dan sayatan daging
Perut tidak pecah masih utuh dan warna sayatan daging cemerlang serta jika ikan dibelah daging melekat kuat pada tulang terutama rusuknya
Perut sobek, warna sayatan daging kurang cemerlang dan terdapat warna merah sepanjang tulang belakang serta jika dibelah daging mudah lepas
Bau
Spesifik menurut jenisnya, bau rumput laut, pupil mata kelabu tertutup lendir seperti putih susu, bola mata cekung dan keruh
Bau menusuk seperti asam asetat dan lama kelamaan berubaha menjadi bau busuk yang menusuk hidung


Gambar 2. Ikan yang telah membusuk



Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi


Sabtu, 03 Maret 2018

KEMUNDURAN KUALITAS IKAN



Ikan adalah suatu bahan makanan yang sangat mudah membusuk (perishable food) sesaat setelah ikan tertangkap, ikan akan segera mati, dan akan mengalami perubahan-perubahan / kerusakan – kerusakan yang mengakibatkan pembusukan.

Gambar. Ilustrasi ikan yang telah membusuk



A.      Penyebab Ikan Membusuk
Istilah pembusukan meliputi 2 (dua) macam perubahan yang terjadi pada ikan yaitu :
> 
Hilangnya secara perlahan-lahan ciri / karakter ikan segar yang diinginkan.
> 
Timbulnya bau yang tidak diinginkan dan rupa maupun tekstur menjadi jelek / tidak menarik.

Secara umum kerusakan – kerusakan ikan dapat digolongkan menjadi :
Kerusakan biologis

Kerusakan enzimatis
:



:
disebabkan oleh bakteri, jamur, ragi dan serangga;


disebabkan oleh adanya reaksi kimia (oksigen) misalnya ketengikan (rancidity) yang diakibatkan oleh oksidasi lemak;
 
Kerusakan Fisik
:
disebabkan oleh kecerobohan dalam handling / processing, misalnya luka-luka memar pada ikan, patah, kering, dan sebagainya.

Diantara kerusakan tersebut, penyebab utama pembusukan ikan, adalah enzim dan bakteri.
Enzim
:
Suatu substansi organik yang terdapat didalam tubuh ikan yaitu didalam daging ikan dan isi perut, terutama pada alat-alat pencernaan. Pada waktu ikan masih hidup enzim berfungsi sebagai katalis-biologi yang membantu proses pencernaan makanan. Setelah ikan mati, enzim tersebut akan berbuat sebaliknya yaitu daging ikan yang dicerna.
Bakteri
:
Merupakan jasad renik (mikroba) yang hanya dapat dilihat dengan microscope. Pada ikan, bakteri terdapat pada bagian kulit (lender), insang dan pada makanan didalam perutnya. Selama ikan masih hidup, bakteri tidak berpengaruh buruk terhadap ikan. Setelah ikan mati, maka bakteri segera meningkatkan aktifitasnya untuk perkembangan dan menyerang tubuh.

B.      Tahap – Tahap Pembusukan
  Proses pembusukan ikan berjalan melalui berapa tahap :
 Hyperaemia
Terlepasnya lender dari kelenjar-kelenjarnya didalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan.
 Rigor Mortis
Mengejangnya tubuh ikan setelah mati (rigor = kaku; mortis = mati; rigor mortiskeadaan kaku setelah mati). Hal ini disebabkan karena otot-otot yang berkontraksi akibat reaksi-reaksi kimia yang dipengaruhi oleh enzim.
 Autolysis
Melemasnya kembali tubuh ikan setelah mengalami rigor. Daging menjadi lembek karena kegiatan enzim meningkat. Penguraian daging ikan oleh enzim menghasilkan bahan yang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Bakteri sudah mulai merusak ikan dengan mengurangi protein daging.
Bacterial Decomposition
Pada tahapan ini bakteri telah terdapat dalam jumlah yang sangat banyak akibat perkembangbiakan yang sangat banyak terjadi fase-fase sebelaumnya. Aksi bakteri itu dimulai pada saat hamper bersamaan dengan tahap autolysis, kemudian berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah dari kerusakan yang diakibatkan oleh enzim.

C.      Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Pembusukan Ikan

Dalam setiap operasi penangkapan, ikan yang tertangkap harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya, karena perlakuan ini merupakan langkah pertama yang sangat menentukan mutu ikan dalam proses berikutnya. Ikan yang ditangkap akan segera membusuk, kecepatan pembusukan dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :

a.       Cara penangkapan
Ikan tertangkap dengan payang, pole and line, dan trawl akan lebih baik keadaannya bila dibandingkan dengan ditangkap dengan gill net, long line, dan sebagainya.

b.      Reaksi ikan menghadapi kematian
Ikan yang keras menghabiskan banyak tenaganya dalam menghadapi kematiannya, lebih cepat busuk daripada ikan yang mati dengan tenang atau cepat.
c.       Jenis dan ukuran ikan
Kecepatan pembusukan berbeda pada setiap jenis ikan, karena perbedaan komposisi kimianya; Ikan yang berukuran kecil cepat membusuk dari pada ikan yang berukuran besar.

d.      Keadaan fisik sebelum ditangkap
Ikan yang sangat kenyang akan makanan saat ditangkap, perut dan dinding perutnya segera diurai oleh enzim isi perut dan akan mengakibatkan perubahan warna; Ikan yang kondisi fisiknya lemah, misalnya ikan yang sakit, lapar atau habis bertelur, akan lebih cepat membusuk.

e.      Keadaan cuaca
Udara yang panas, suhu air tinggi, laut yang banyak gelombang, akan mempercepat proses pembusukan.

f.       Cara penanganan dan penyimpanan
Jika ikan dalam keadaan rigor diperlakukan dengan kasar, misalnya ditumpuk terlalu banyak, terlempar, dan sebagainya, proses pembusukannya akan berlangsung lebih cepat. Pembusukan dapat dicegah atau diperlambat jika ikan disiangi dan disimpan pada suhu yang cukup rendah

D.      Prinsip Mencegah Pembusukan Ikan
Kita telah mengetahui bahwa pembusukan ikan terutama disebabkan oleh enzim dan bakteri. Oleh karena itu untuk mencegah pembusukan, akan sangat efektif bila kedua penyebab utama itu disingkirkan dar ikan, dibunuh, dan dicegah kedatangan penyebab lain yang berasal dari luar. Pembusukan itu sendiri bagaimana pun tidak dapat dicegah atau dihindari. Sampai saat ini manusia baru berhasil untuk memperlambat atau menunda proses pembusukan itu.

E.        Usaha Mencegah Pembusukan Ikan

Usaha terbaik yang dapat dilakukan untuk mempertahankan mutu ikan terhadap pembusukan adalah sebagai berikut :

a.            Mengurangi sebanyak mungkin jumlah enzim dan bakteri pada tubuh ikan
Bakteri terdapat pada bagian kulit dan terutama sekali pada insang dan isi perutnya sedangkan enzim pada daging dan sebagian besar pada perutnya. Jika setelah ditangkap dibuang isi perutnya dan insangnya serta kemudian dicuci bersih, dihilangkan lendir-lendirnya maka berarti sebagian besar bakteri dan enzim telah dibuang.

b.      Membunuh sisa-sisa bakteri dan enzim atau sekurang-kurangnya menghambat kegiatannya
Bakteri yang tertinggal pada ikan dapat diperangi dengan berbagai cara yang pada dasarnya dapat dibagi dalam 5 (lima) kategori :
·         Penggunaan suhu rendah;
·         Penggunaan suhu tinggi;
·         Pengeringan (dehidrasi);
·         Penggunaan zat-zat anti septic;
·         Penyinaran atau irradiasi.

Untuk dapat hidup lebih baik, bakteri memerlukan suhu tertentu, tergantung dari jenisnya. Ada tiga macam bakteri berdasarkan pertahanannya terhadap suhu seperti pada table berikut :

Jenis Bakteri
Suhu Minimum
Suhu Optimum
Suhu Maksimum
Thermophylic
25 – 45 ⁰ C
50 – 55 ⁰ C
60 – 80 ⁰ C
Mesophylic
5 – 25 ⁰ C
25 – 37 ⁰ C
43 ⁰ C
Psychropylic
0 ⁰ C
14 – 20 ⁰ C
30 ⁰ C

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan bakteri akan mati atau sekurang-kurangnya akan berhenti kegiatannya bila suhu ikan diturunkan sampai dibawah 0 ⁰ C atau dinaikan sampai diatas 100 ⁰ . Penggunaan suhu rendah kita lakukan dengan menggunakan es atau dengan cara pendinginan lainnya.

Sedangkan suhu tinggi dipakai misalnya dalam pengalengan atau pemindangan. Ikan asin, ikan asap, ikan asam, dan sebagainya akan lebih awet jika disimpan pada suhu rendah.

Air merupakan kebutuhan yang pokok bagi pertumbuhan bakteri. Bakteri selalu menyerap makanannya dalam bentuk larutan, dan untuk itu diperlukan air. Jadi dalam keadaan kering, bakteri tidak akan dapat makan sehingga akan mati. Atas dasar inilah maka ikan dapat diawetkan dengan mengurangi kadar airnya, yaitu dengan cara :
  1. Pengeringan dengan udara (drying);
  2. Penggunaan Garam (osmose);
  3. Pemasakan (perebusan, pengukusan, dan pengetiman);
  4. Pengeringan dengan pembekuan pada ruang hampa (vacuum freeze drying).

Beberapa zat kimia seperti asam cuka, klor (kaporit), Aureonmycin, asam benzoate, natrium benzoate, dll, sangat efektif dipakai untuk membunuh kuman bakteri dan menghentikan enzim. Zat-zat tersebut dapat dipakai untuk mengawetkan ikan dalam batas-batas tertentu.

Irradiasi adalah penyinaran ikan dengan sinar-sinar tertentu, misalnya sinar Cobalt-60 yang sangat efektif untuk mematikan bakteri dan menahan kerja enzim.

c.       Melindungi ikan terhadap kontaminasi bakteri dari luar
Pengawetan tidak akan banyak berarti jika ikan yang telah diawetkan tidak dilindungi dari penyebab kerusakan baru yang dating dari luar ikan. Kerusakan ini bermacam-macam pada ikan olahan dan hasil olahannya, antara lain :
  • Pembusukan akibat pencemaran bakteri dari air, pembungkus, dari ikan lain, dan sebagainya;
  • Oksidasi lemak yang menimbulkan bau tengik;
  • Kerusakan-kerusakan fisik karena serangga, jamur, kecerobohan dalam penanganan, dan sebagainya.

Untuk melindungi ikan terhadap kerusakan-kerusakan ini kita harus menyelenggarakan sanitasi dan higienis yang baik dalam proses penanganan, melakukan pembungkusan / pengepakan yang baik, serta usaha-usaha proteksi yang lain.


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Pertama
Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi