Jumat, 21 Juni 2019

PEMBESARAN IKAN KOI (Cyprinus Carpio)


Pada kegiatan pembesaran Ikan Koi penetasan telur dapat dilakukan dengan dua cara yaitu induk dipindahkan ke tempat lain atau telur dipindahkan ke kolam penetasan. Agar telur menetas dengan baik maka telur harus selalu terendam dan suhu air tetap konstan. Jika suhu terlalu dingin penetasan akan berlangsung lama, sedangkan jika suhu terlalu tinggi telur bisa mati dan membusuk (Putranto, 1995). Dalam keadaan normal  telur akan menetas dalam waktu 2-3 hari. Setelah menetas, kakaban kemudian diangkat dan dipindahkan ke tempat lain.                                                                                                                                                         
Budidaya Ikan Koi
                                                                                  
Perawatan Benih
Telur yang baru menetas masih membawa kuning telur sebagai persediaan makanan dan akan bertahan 2-3 hari. Setelah persediaan kuning telur habis maka benih membutuhkan pakan alami berupa udang renik atau kutu air (Hikmat, 2002). Dua atau tiga hari kemudian benih akan sudah mulai berenang dan bisa dipisahkan ke kolam pemeliharaan.
Sebelum digunakan kolam pemeliharaan benih harus dikeringkan dulu selama dua hari dan disemprot dengan pestisida agar hewan lain yang dapat mengganggu akan mati. Sebelum benih dipindahkan pada kolam sebaiknya seminggu sebelumnya sudah ditumbuhi pakan alami.

Seleksi Benih
Penyeleksian benih dilakukan setelah benih berumur satu sampai dengan tiga bulan, penyeleksian tersebut dapat dilakukan 3 atau 4 kali. Seleksi benih yang pertama yaitu benih dipisahkan berdasarkan ukurannya. Selanjutnya seleksi yang kedua dilakukan untuk menentukan pola warna dan kualitas secara keseluruhan (Susanto, 2000). Secara umum benih yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut
a. Badan dan siripnya normal, tidak cacat.
b. warna badannya sudah nampak menonjol, sesuai dengan varietasnya.
c. Warna putih, merah hitam atau kuning nampak jernih tidak tercampur dengan warna lain.

Parameter Kualitas Air        
Air merupakan media paling penting bagi kehidupan ikan. Selain jumlahnya, kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam budidaya. Beberapa parameter kualitas air yang perhatikan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Suhu
Ikan koi merupakan termasuk hewan berdarah dingin, sehingga temperatur tubuhnya tergantung pada suhu air sebagai lingkungan hidupnya. Ikan Koi dapat hidup pada kisaran suhu 0-350 C, tetapi pada suhu yang terlalu ekstrem (misalnya 00 C) ikan akan berhenti makan dan sistem kekebalan tubuhnya akan hilang. Sedangkan suhu yang ideal untuk Koi adalah 15-250C (Hikmat, 2002). Perubahan suhu yang terlalu drastis dapat menimbulkan gangguan terhadap laju respirasi, aktivitas jantung, aktivitas metabolisme dan aktivitas lainnya dan jika suhu terlalu tinggi ikan akan kekurangan oksigen dan sistem enzim tidak dapat berfungsi dengan baik yang dapat menyebabkan timbulnya stres (Afrianto dan Liviawaty, 1992).

Derajat Keasaman (pH)
Sebagian besar ikan dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan yang mempunyai derajat keasaman (pH) berkisar antara 5-9 (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Menurut Hikmat (2002), pH yang ideal untuk ikan Koi agar tumbuh sehat yaitu berkisar 6,5-8,5. Pada malam hari biota dalam air akan melakukan proses respirasi dan menghasilkan carbon monoksida (CO) yang dapat menurunkan pH, sedangkan pada siang hari alga akan melakukan fotosintesis yang akan menghasilkan oksigen dan menetralkan pH air oleh karena itu pH air pada pagi hari cenderung rendah sedangkan pada siang hari pH cenderung lebih stabil. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan ikan Koi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh pH terhadap kehidupan ikan
Kisaran pH
Pengaruh terhadap ikan
4 – 5
5 - 6,5
6,5 - 9
> 11
Tingkat keasaman yang mematikan dan tidak ada reproduksi
Pertumbuhan lambat
Baik untuk reproduksi
Mematikan
Sumber : (Afrianto dan Liviawaty, 1992)

Kelarutan Oksigen (DO)
Oksigen adalah salah satu faktor pembatas yang penting dalam budidaya ikan. Kandungan oksigen yang baik untuk Ikan Koi adalah berkisar 5-7 ppm, pada kondisi tersebut koi akan merasa cukup mendapatkan oksigen sehingga koi dapat bergerak santai, tidak gelisah dan responsif terhadap pakan. Jika oksigen kurang dari 5 ppm akan menyebabkan ikan sulit bernafas, tidak mau makan dan mengakibatkan koi menjadi kurus dan sakit (Amri dan Khairuman, 2002).

Amonia
Konsentrasi amonia dapat terjadi karena pengeluaran hasil metabolisme, proses dekomposisi dari sisa pakan atau plankton yang mati. Konsentrasi amonia dibawah 0,02 ppm relatif aman, sedangkan jika di atas angka tersebut dapat menyebabkan timbulnya keracunan pada ikan. Konsentrasi amonia di atas 0,3 ppm akan mempercepat kerusakan insang sehingga akan kesulitan mengambil mengambil oksigen dari lingkungannya. Peningkatan konsentrasi amonia akan menjadi lebih berbahaya apabila terjadi pada pH tinggi atau konsentrasi oksigen rendah (Afrianto dan Liviawaty, 1992)    

Pengendalian Air Media Pemeliharaan
Dua puluh persen dari kegiatan budidaya ditentukan oleh kualitas air, dan selebihnya ditentukan oleh faktor lainnya. Ada empat cara untuk menjaga kualitas air  agar tetap dalam kondisi baik (Hikmat, 2002).
a. Mengganti Air Secara Rutin
Penggantian air dilakukan dua minggu sekali secara rutin. Penggantian air bertujuan untuk membuang zat-zat beracun dan sisa-sisa makanan yang terdekomposisi yang dapat membahayakan bagi ikan.
b. Membersihkan Kolam
Pembersihan kolam dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan sifon, serok dan pompa. Penyiponan berfungsi untuk menyedot kotoran lembut atau lumpur yang mengendap di dasar kolam. Alat untuk penyiponan dengan menggunakan slang. Serok digunakan untuk membersihkan puing-puing dan dedaunan yang jatuh kedalam kolam, juga untuk membersihkan buih dan lumut yang mengambang di permukaan air. Serok yang baik terbuat dari kain trilin, karena bahan tersebut sedikit menyerap air. Sedangkan pompa digunakan untuk membersihkan kolam. Fungsi pompa selain untuk mengeluarkan air dan kotoran yang mengendap, juga untuk menambah aerasi kolam jika pompanya dilengkapi batu terjunan.  Jika pompa hanya digunakan untuk membersihkan kolam saja, sebaiknya dioperasikan pagi hari.
c. Menyaring Air
Kolam hendaknya dilengkapi dengan filter empat lapis yang dapat bekerja secara mekanis. Penyaring pertama berguna untuk menyaring sampah dan lumpur, bahan yang biasa digunakaan adalah kerikil, pasir dan ijuk. Penyaring kedua menggunakan karbon aktif berupa zeolit, yang berfungsi untuk menghilangkan racun, bau tidak sedap, dan membunuh bibit penyakit. Penyaring ketiga menggunakan bahan berupa pestisida yang tidak mematikan bakteri pengurai tapi dapat mengikat mengikat bakteri pengurai yang berperan dalam proses penjernihan air. Penyaring keempat menggunakan tanaman atau bebatuan yang dapat mengikat kotoran.
d. Pemberian Obat Pengikat Dalam Air
Pemberian obat pengikat pada kolam bertujuan untuk mengikat kotoran yang hancur sehingga akan menjadi gumpalan yang mudah disedot atau disifon dan untuk menetralisir air yang sudah terlalu basa. Bahan yang digunakan misalnya dengan Aquadien atau Aquavital.

Pengelolaan Pakan
Ikan Koi bersifat omnivor, artinya hewan pemakan segala jenis pakan. Pakan yang baik adalah pakan yang mampu meningkatkan kualitas warna, mempercepat pertumbuhan, dapat menangkal bibit penyakit dan dapat membantu pembentukan warna tubuhnya (Effendy, 1993). Pakan yang diberikan harus mempunyai kandungan gizi yang seimbang. Keseimbangan gizi diatur berdasarkan ukuran tubuh, usia, kematangan koi dan suhu air. Pemberian pakan yang berlebihan akan berpengaruh kurang baik, tubuh menjadi cepat gemuk dan mudah terserang penyakit. Begitu juga sebaliknya jika kekurangan pakan dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus, kualitas warna kurang baik,  pertumbuhannya lambat dan mudah terserang penyakit.
Sebelum dilakukan pemberian pakan sebaiknya pakan direndam terlebih dahulu dalam air selama satu menit, sehingga akan memudahkan dalam proses pencernaan. Jumlah pakan yang diberikan harus sesuai dengan berat dan ukuran ikan. Frekuensi bemberian pakan dapat dilakukan sebanyak dua kali sehari pada pagi dan siang atau sore hari. Idealnya pakan diberikan tiga jam setelah matahari terbit dan tiga jam sebelum matahari terbenam. Sebaiknya pemberian pakan tidak terlalu pagi atau terlalu sore, karena kandungan oksigen dalam air sedikit sedangkan setiap setelah koi makan membutuhkan oksigen yang lebih banyak dari keadaan biasanya (Hikmat, 2002).
Tabel 3. Jumlah pemberian pakan
Ukuran ikan
Jumlah pakan per hari (% berat badan)
Baru menetas >2 cm
Anakan (berat 3gr, panjang 2-4 cm)
Sedang (berat 10 gr, panjang 5 cm)
Dewasa (berat 100gr, panjang 12 cm)
15-20 %
10-15 %
5 %
2 %
Sumber : Hikmat, 2002



DAFTAR PUSTAKA


Afrianto, D. dan E. Liviawati. 1990.  Budidaya Mas Koki dan Pemasarannya. Kanisius. Yogyakarta.  

Afrianto, D. dan E. Liviawati. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Jakarta.  

Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Amri, K. dan Khairuman. 2002. Menanggulangi Penyakit Pada Ikan Mas    dan      Koi. Agromedia. Jakarta.

Bachtiar, Y. 2004. Ikan Hias Air Tawar Untuk Ekspor.  Agromedia. Jakarta.

Ditjenkanbud (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya). 2006. Kebijakan dan       Program Prioritas Tahun 2007. Ditjen     Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan

Effendi, M.I. 1979.  Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Effendy, H. 1993. Mengenal Bebeberapa jenis Koi. Kanisius. Jakarta.

Hikmat, K. 2002. Koi Siikan Panjang Umur. Agromedia. Jakarta.

Hardjo, B. 2004. Pemijahan Ikan Koi Secara Alami. http://www. Blitar koi. Info Pusat informasi dan penjualan.go.id.
\
Khairuman, Dodi Sutenda dan Bambang Gunadi. 2002. Budidya Ikan Mas Secara Intensif. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Pasaribu, A. 1993. Analisa Budidaya Udang intensif dan Semi Intensif. Budidaya Pantai Maros Sulawesi Selatan.

Putranto, A. 1995. Budidaya Produktif Ikan Mas. Karya Anda. Surabaya.

Ria, A. 1995. Seleksi Induk Koi dari Tiga Tipe Pola. Pusat Informasi Pertanian (PIP).        DEPTAN.

Ryanto. 1995. Dasar Penyusunan Evaluasi Proyek. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Rausin. 2003. Manajemen Pembesaran Kerapu Macan di Keramba Jaring  Apung.
Loka Budidaya Laut Batam. Batam. Hal 1-47.

Soeharto. 1999. Manajemen Proyek dari konseptual Sampai Operasional. Erlangga.
Sudarsono dan Sudjiharno. 1998. Analisa Usaha Skala Menengah. Pembenihan Ikan Kerapu macan. Ditjenkan. Balai Budidaya Laut Lampung.

Sukamajaya, Suharjo dan Aminudin. 2004. Pengembanagan Rekayasa    Reproduksi Benih Ikan Hias Koi (Cyprinus carpio). BBAT  Sukabumi.

Sutisna, D. H. dan Ratno Sudarmanto. 1995.  Pembenihan Ikan Air  Tawar.         
Kanisius. Jakarta.

Susanto, H. 2002 . KOI. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suseno, D. 2002. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Utami. 1995. Pembenihan Ikan Koi Juara. Pusat Informasi Pertanian (PIP).  DEPTAN


Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi


Selasa, 18 Juni 2019

TEKNIK BUDIDAYA RUMPUT LAUT EUCHEMA COTTONII DENGAN MODEL TERAPUNG


Eucheuma cottoni merupakan salah satu jenis rumput laut merah dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena keraginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Umumnya Eucheuma tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat  batu karang mati.

Lingkungan yang cocok untuk budidaya Eucheuma adalah :
1.    Substrat stabil, terlindung dari ombak yang kuat dan umumnya di daerah terumbu karang.
2.    Kedalaman air pada surut terendah 1 – 30 cm.
3.    Perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang pantai.
4.    Kecepatan arus antara 20 – 40 m/menit.
5.    Jauh dari muara sungai, tidak mengandung lumpur dan airnya jernih.
6.    Suhu air berkisar 27 – 28oC, salinitas berkisar 30 – 37 ppt dan pH 6,5 – 8,5

Gambar 1. Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottoni 
Sistim Lepas Dasar. 
Metode ini merupakan perbaikan dari metode sebelumnya. Dimana pada daerah yang telah ditetapkan (lokasi budidaya) dipasang patok-patok secara teratur berjarak antara 50 – 100 cm.  Pada sisi yang berlawanan  dengan jarak 50 – 100 m juga diberi patok dengan jarak yang sama. Satu patok dengan patok lainnya dihubungkan dengan  tali jalur yang telah berisi rumput laut tersebut. Pada jarak 3 meter diberi pelampung kecil yang berfungsi untuk menggerakan tali tersebut setiap saat agar tanaman bebas dari lumpur (adanya sedimentasi)

Sistim Apung 
a. Metode rakit
Metode ini sering disebut metode rakit kotak, dibentuk dari empat buah bambu yang dirakit sehingga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2,5 - 4 x 5 - 7 m.  Pada rakit tersebut dipasang tali pengikat rumput laut secara membujur dengan jarak 30 cm kemudian  rumput laut (bibit) diikat pada tali tersebut.   Berat bibit yang digunakan berkisar antara 50 – 100 gram. Setelah rumput diikat maka rakit tersebut ditarik dan ditempatkan pada lokasi yang telah ditetapkan dengan menggunakan dua buah jangkar pada kedua ujung rakit tersebut dengan kedalaman perairan berkisar antara 0,5 – 10 meter.

b. Metode Long Line berbingkai
Konstruksi metode ini semuanya terbuat dari tali PE. Adapun teknik pembuatan konstruksinya sbb : Menyiapkan tali PE Ø 0,10 cm sepanjang 260 m. Kedua ujung tali tersebut dihubungkan kemudian dirancang  hingga berbentuk persegi panjang berukuran 100 x 25 m. Pada keempat sudut  dilengkapi dengan empat buah pelampung yang berfungsi mempertahakan konstruksi agar tetap  berada pada permukaan air. Agar konstruksi tersebut tetap pada posisi yang diharapkan maka pada keempat sudut yang sama dilengkapi dengan enam buah jangkar. Setelah selesai menyiapkan konstruksi maka tahap berikutnya adalah menyiapkan 165 buah tali jalur yang terbuat dari tali PE Ø 0,5 cm. Tali tersebut dipotong masing – masing 25 m sesuai dengan panjang konstruksi. Pada satu tali jalur dipasang 120 tali coban (tali
titik) berjarak 25 cm yang berfungsi sebagai tempat mengikat bibit yang akan digunakan.
Bibit yang digunakan adalah tanaman muda dari hasil budidaya. Sebelum diikat bibit tersebut dipotong agar ukurannya sesuai dengan bobot yang dikehendaki. Untuk mengetahui perkembangan tanaman, ditentukan beberapa sampel dengan berat rata-rata 100 gram kemudian  setiap minggu  dilakukan penimbangan sampel tersebut.

Gambar 2. Budidaya Rumput Laut Metode Longline

c. Metode jalur (kombinasi)
Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar, pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali PE Ø 0,6 cm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 7 m. perpetak. Satu unit metode ini terdiri dari 7 – 8 petak dan pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar.   Kegiatan penanaman diawali dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE Ø 0,1 cm.  Setelah bibit diikat pada tali jalur maka tali jalur tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25 cm x 30 cm.

Bibit
Dalam satuan unit usaha budidaya rumput laut diperlukan perhatian khusus tentang bibit yang digunakan. Disarankan, untuk setiap kegiatan usaha budidaya rumput laut harus memiliki rakit khusus sebagai penyuplai bibit. Karena dengan rakit khusus ini bibit yang digunakan dapat  tersedia setiap saat dan dapat memenuhi kriteria bibit yang baik.   Kriteria bibit yang baik:
1.    Bercabang banyak dan rimbun,
2.    Tidak terdapat bercak dan terkelupas,
3.    Warna spesifik (cerah),
4.    Umur 25 – 35 hari,
5.    Berat bibit 50 – 100 gram.

Penanaman
Kegiatan penanaman untuk semua metode relatif sama, penanaman diawali dengan mengikat rumput laut (bibit) ke tali jalur yang telah dilengkapi dengan tali pengikat rumput laut. Pengikatan bibit rumput laut harus dilakukan di lokasi yang terlindung dari sinar matahari langsung, umumnya dilakukan ditepi pantai di bawah pohon atau pondok yang disiapkan khusus.  Berat bibit yang ditanam berkisar antara 50 sampai 100 gram per ikatan.
Jarak tanam (jarak antar tali jalur) untuk metode  rakit dan metode jalur relatif sama yaitu 30 – 35 cm, sedangkan jarak tanam untuk metode long - line berkisar antara 50 – 100 cm.  Setelah selesai  mengikat rumput laut  maka tali jalur yang berisi rumput tersebut diikatkan pada kerangka yang telah tersedia.

Pengontrolan Rutin
Keberhasilan suatu usaha budidaya rmput laut sangat tergantung dari manajemen budidaya rumput laut. Kegiatan pengontrolan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan sesering mungkin untuk membersihkan   tanaman dari tanaman pengganggu dan juga untuk melakukan penyulaman terhadap tanaman yang terlepas.  Khusus untuk kegiatan penyulaman hanya dilakukan pada minggu pertama setelah rumput laut  ditanam.

Panen dan Pasca panen
Akhir dari kegiatan proses produksi budidaya rumput laut adalah pemanenan, oleh sebab itu kegiatan pemanenan hingga penanganan pasca panen harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang akan berpengaruh terhadap kualitas produk yang akan dihasilkan. Secara umum kebutuhan akan rumput laut Eucheuma cottonii (Kappaphucus alvarezii) adalah untuk mendapatkan bahan karagenan yang terkandung dalam rumput laut tersebut. Untuk mendapatkan rumput laut yang memiliki kandungan karagenan sesuai dengan kebutuhan industri maka beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan adalah sebagai berikut:

Umur
Umur rumput laut akan sangat menentukan kualitas dari rumput laut tersebut.   Jika rumput laut tersebut akan digunakan sebagai bibit maka pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur 25 – 35 hari karena pada saat itu tanaman belum terlalu tua.  Sedangkan jika rumput laut tersebut dipanen untuk dikeringkan maka sebaiknya pemanenan dilakukan pada saat rumput tersebut berumur 1,5 bulan atau lebih karena pada umur tersebut kandungan karaginan cukup tersedia. 

Cuaca
Hal kedua yang sangat penting pada saat panen adalah cuaca. Jika pemanenan dan penjemuran dilakukan pada cuaca cerah maka mutu dari rumput laut tersebut dapat terjamin. Sebaliknya jika pemanenan dan penjemuran dilakukan pada cuaca mendung akan terjadi proses fermentasi pada rumput tersebut yang menyebabkan mutunya tidak terjamin.

Cara Panen
Pembudidaya yang memiliki usaha dalam jumlah besar hendaknya melakukan kegiatan pemanenan dengan cara melepaskan tali jalur yang berisikan rumput laut siap panen. Rumput laut tersebut diangkut ke tepi pantai kemudian dirontokan dengan jalan memasang dua patok kayu dalam satu lubang kemudian kedua ujung patok atas direntangkan sehingga membentuk huruf Y.  Setelah itu dua sampai tiga ujung dari tali jalur yang berisikan rumput laut hasil panen tersebut dimasukkan ke antara kedua patok tersebut dan ditarik sehingga rumput laut rontok dan siap untuk dijemur. Hal ini akan menimbulkan luka yang cukup banyak pada rumput laut tersebut. Kondisi ini akan memberikan dampak yang kurang baik dimana pada luka tersebut akan mengakibatkan keluarnya air termasuk karagenan yang terkandung dalam rumput laut tersebut. Oleh sebab itu pemanenan yang baik adalah meminimalkan luka pada rumput laut dari setiap hasil panen tersebut.

Cara panen dan pasca panen hasil budidaya rumput laut yang dilakukan :
1.    Proses perontokan rumput laut dapat dilakukan seperti di atas tetapi cukup dengan satu tali jalur.
2.    Perontokan rumput dilakukan dengan memotong setiap tali pengikat rumput laut.
3.    Penjemuran rumput laut dilakukan sekaligus dengan tali jalur tanpa dirontokkan. Setelah hari ke dua rumput laut tersebut dapat dirontokkan dengan jalan memotong thalus tempat mengikat rumput laut tersebut.
4.    Penjemuran harus dilakukan diatas wadah penjemuran agar terhindar dari kotoran (sebaiknya di atas para-para).
5.    Penjemuran sebaiknya dilakukan selama 3 – 4 hari pada cuaca cerah (apabila cuaca mendung maka penjemuran dapat dilakukan lebih dari 4 hari).
6.    Hindari rumput laut yang dijemur dari air hujan dengan cara menyiapkan plastik atau terpal di lokasi penjemuran.
7.    Hindari rumput laut yang dijemur dari air hujan dengan cara menyiapkan plastik atau terpal di lokasi penjemuran.

Rumput laut industri kualitas eksport harus mempunyai kondisi sebagai berikut: 
a.    Umur panen 45 hari atau lebih,
b.    Kurangi luka pada thallus saat panen,
c.    Penjemuran dilakukan di atas wadah,
d.    Kadar air 30 – 35 % dan
e.    Kemurnian minimal 97 %



Firman Pra Setia Nugraha, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi


Jumat, 14 Juni 2019

MENGENAL IKAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)


Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) merupakan salah satu jenis ikan asli dari perairan Indonesia termasuk ikan unggulan lokal dari Sungai Batanghari Provinsi Jambi yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera, memiliki prospek sebagai komoditi ekspor karena dagingnya yang berwarna putih, hampir sama dengan Pangasius bocourti yang merupakan komoditas ekspor dari Taiwan. Populasi ikan Patin Jambal saat ini di alam semakin menurun sebagai akibat tingginya intensitas penangkapan.
Dewasa ini, permintaan pasar untuk ikan tersebut dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan baik di pasar  dalam negeri maupun di pasar luar negeri, bahkan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menempatkan ikan ini sebagai pilihan bagi mereka yang ingin hidup sehat. Selain sebagai ikan konsumsi, ikan ini pada saat ukuran kecil dapat digunakan sebagai ikan hias (Khairuman dan Sudenda, 2002).
Nilai ekonomis yang cukup tinggi  menyebabkan ikan ini mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Selain itu ikan ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain responsif terhadap pemberian makanan tambahan, mempunyai pertumbuhan relatif cepat karena dalam umur enam bulan ikan ini bisa mencapai  panjang 35-40 cm, dan sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk membesarkan tubuhnya, bahkan kandungan oksigen rendah pun sudah memenuhi syarat untuk membesarkannya (Siregar, 2002).
Tercatat pada tahun 2005 tingkat pemanfaatan budidaya di keramba sebesar 115.000 unit dengan tingkat pemanfaatan 7995 unit (6,9%). Hal tersebut membuka peluang yang sangat besar untuk melakukan budidaya ikan patin jambal. Ikan patin jambal merupakan ikan yang mempunyai peluang ekspor yang besar karena karakteristik dagingnya dan disukai oleh masyarakat luar negeri.

Gambar 1. Ikan Patin Jambal 


Menurut Cholik et al., (2005) klasifikasi Ikan Patin Jambal adalah sebagai   berikut  :
            Phyllum           : Chordata
            Kelas               : Pisces
            Ordo                : Silluriformes
            Famili              : Pangasiidae
            Genus             : Pangasius
            Spesies           : Pangasius djambal

Morfologi
Ikan ini mempunyai rasio panjang standar/panjang kepala 4,12, kepala relatif panjang, melebar ke arah punggung. Mata berukuran sedang pada sisi kepala. Mulut subterminal relatif kecil dan melebar ke samping. Mempunyai gigi tajam dan sungut mencapai belakang mata. Jarak antara ujung moncong dengan tepi mata lebih panjang. Rasio panjang standar/tinggi badan 3,0. Tubuh relatif memanjang. Warna punggung abu-abu kehitaman, pucat pada bagian perut dan sirip transparan. Perut lebih lebar dibandingkan panjang kepala. Jarak sirip perut ke ujung moncong relatif panjang (DKP Jambi, 2006).


Gambar 2. Morfologi Ikan Patin Jambal terdiri dari : Sungut (a), Sirip dada (b), Sirip punggung (c), Sirip perut (d), Sirip dubur (e), Sirip adifose dan Sirip Ekor (g).

Pakan dan Kebiasaan Makan
Ikan ini termasuk ikan omnivora. Makanan ikan ini diantaranya ikan-ikan kecil, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, udang-udang kecil dan mollusca (Susanto dan Amri, 2002). Ikan ini memerlukan makanan sebagai sumber energi yang digunakan untuk  pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Lubis, 2006).
Pemberian pakan tambahan pada proses pembesaran patin  sangat mutlak untuk memacu pertumbuhan. Pakan tambahan itu berupa pelet atau sisa-sisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasanya 3-4% dari bobot total ikan per hari. Pellet ini ada yang dibuat sendiri (pelet lokal) dan ada pula pelet buatan pabrik (pelet komersil). Pakan tambahan lainnya yang juga bisa diberikan adalah limbah ikan, udang-udangan, moluska dan bekicot. Pemberian pakan jenis ini sesuai dengan pakan ikan patin di alam (Susanto dan Amri, 2002).

Media Pembesaran Ikan Patin
Ikan Patin dapat dibesarkan secara intensif di beberapa media, seperti kolam, jaring apung atau keramba. Pembesaran ikan patin di jaring apung hanya dapat dilakukan di daerah-daerah yang memiliki waduk atau danau yang memenuhi syarat untuk budidaya perikanan. Pembesaran patin di keramba umumnya dilakukan para petani ikan di sungai-sungai yang terdapat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Khairuman dan Sudenda, 2002).
Ada tiga jenis keramba yang biasa digunakan untuk pembesaran ikan patin. Pertama, keramba dasar yang terpasang di dasar perairan. Kedua, keramba di bawah permukaan air. Ketiga, keramba di permukaan air. Sebelum digunakan untuk pembesaran ikan patin, keramba perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Pertama, tentukan terlebih dahulu tempat keramba tersebut akan dipasang. Kedua, perhatikan kondisi keramba sebagai wadah pemeliharaan ikan. Pastikan bahwa konstruksi keramba cukup kuat dan mampu menahan beban arus dan tekanan air. Periksa setiap sisi keramba dari kemungkinan bolong untuk mencegah ikan meloloskan diri. Jika tidak ada yang beres, sebaiknya segera diperbaiki sebelum keramba dioperasikan karena perbaikan di dalam air sulit dilakukan (Khairuman dan Sudenda, 2002).

Rakit
Rakit adalah kerangka yang mengapung di permukaan air dan berfungsi sebagai tempat menggantungkan keramba, kantong, dudukan bangunan dan jalan, serta sangkar. Kerangka rakit dapat dibuat dari bambu, balok kayu, kayu, pipa besi dan besi siku (Jangkaru, 1995).
Tinggi kerangka antara 20 – 30 cm di atas permukaan air dan lebar kerangka antara 30 - 50 cm. Kerangka berfungsi juga sebagai jalan kontrol atau jalan titian. Untuk memperpanjang umur pakai kerangka bambu, jalan kontrol dihampari tanaman air seperti enceng gondok dan apu-apu, agar bambu terlindungi dari panas sinar matahari secara langsung (Jangkaru, 1995).
Pelampung  balok kayu dapat merangkap fungsi sebagai kerangka rakit. Bagian  balok yang mencuat di atas permukaan air terbatas sehingga perlu dipasang tiang sebagai tempat mengikatkan kantong dan tiang tersebut dipakukan dibadan pelampung. Sama halnya dengan kerangka bambu, tiang tersebut tidak saja mencuat di atas permukaan air, tetapi sebagian besar tiang menjorok ke dalam air karena kedua ujungnya berfungsi sebagai peregang kantong. Pemakaian balok sebagai kerangka merangkap pelampung memberikan keuntungan bagi kehidupan ikan dalam kantong karena air bagian permukaan terlindungi dari gelombang. Dengan demikian, pakan tidak cepat keluar dari kantong. Keuntungan tersebut akan lebih terasa jika lokasi keramba jaring apung dalam arus atau gelombang air (Jangkaru, 1995).
Kerangka kayu dapat diikatkan pada pelampung drum, ban atau busa plastik. Kayu yang digunakan sebagai kerangka sebaiknya memiliki daya tahan tinggi terhadap sifat-sifat air. Ukuran kayu disesuaikan dengan beban yang dipikulnya (Jangkaru, 1995).

Kantong Jaring
Bahan kantong jaring harus bersifat tahan dalam air dan dapat menahan beban, terutama pada waktu panen. Salah satu bahan yang memenuhi persyaratan tersebut antara lain jaring polietilen yang umum dipakai untuk jaring trawl. Jaring tanpa simpul lebih baik digunakan daripada jaring bersimpul. Dalam air, simpul sering bergeser sehingga ukuran mata jaring berubah. Simpul juga menjadi tempat menempelnya organisme air seperti alga benang dan sponge. Kedua organisme air tersebut akan berkembang pesat sehingga dapat menutupi mata jaring dan selanjutnya menghalangi sirkulasi air. Selain itu adanya organisme air tersebut akan menambah beban pada jaring (Jangkaru, 1995).
Ukuran benang dan mata jaring ditentukan oleh ukuran dan jumlah ikan yang dipelihara di dalamnya. Untuk ikan ukuran kecil digunakan mata jaring dan benang yang berukuran kecil. Ukuran mata jaring merupakan jarak kedua simpul yang bersilangan pada sebuah mata yang diregangkan. Semakin besar mata jaring  maka semakin jauh jarak kedua simpul. Ukuran mata jaring yang akan dipakai harus disesuaikan dengan ukuran ikan yang dipelihara. Sebagai pedoman ukuran mata jaring harus sama dengan tinggi ikan. Namun dalam prakteknya perlu dikaji lagi ketepatannya karena badan ikan ada yang pipih dan membulat (Jangkaru, 1995).
Bahan berupa jaring polietilen yang tersedia di pasaran digulung dan dijual berdasarkan bobot. Jaring polietilen no. 380 D/9 dengan ukuran mata jaring (mesh size) sebesar 2 inci (5,08 cm) bisa digunakan sebagai keramba/kantong luar dan no. 380 D/1 dengan ukuran mata jaring 1 inci (2,5 cm) atau 1,5 inci (3,81 cm) digunakan sebagai keramba dalam (Kordi, 2005).

Pelampung
Pelampung berfungsi mengapungkan kantong, kerangka rakit, bangunan gudang, ruang jaga dan pelataran kerja. Bahan yang dapat digunakan sebagai pelampung antara lain bambu, balok kayu, drum, ban bekas dan busa plastik (styrofoam) (Jangkaru, 1995).
Menurut Cahyono (2001), bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pelampung dan daya tahannya dapat dilihat pada Tabel 1 :

Tabel 1. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk pelampung dan daya tahannya.
No
Nama Bahan
Daya Tahan
1
Drum Plastik
> 3 Tahun
2
Drum Besi
0,5 - 1 Tahun
3
Styrofoam
> 5 Tahun
4
Drum besi dibungkus plastik
0,8 - 1 Tahun
5
Fibre glass
> 5  Tahun
6
Bambu
1 - 1,5 Tahun
7
Gelondong Kayu
1 Tahun
Sumber : Cahyono (2001)

Penggunaan drum bekas, baik logam maupun plastik, semakin populer di kalangan petani ikan. Drum bekas dapat dengan mudah diperoleh di pedagang barang bekas dan harganya pun relatif murah. Daya apung drum ditentukan oleh volume udara di dalamnya. Untuk itu harus dipilih drum yang tidak bocor. Teknik pemasangan drum dalam air ditentukan oleh jenis bahan kerangka rakit tempat drum diikatkan. Untuk kerangka yang terbuat dari kayu, maka drum dipasang membujur. Jarak antar drum 2-3 m untuk pelampung dan 1 m untuk bangunan gudang, ruang jaga serta peralatan kerja. Tumpuan drum pada kerangka rakit, terutama untuk drum plastik, harus lebar. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah drum robek akibat gesekan (Jangkaru, 1995). 


DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, B. Budidaya Ikan di Perairan Umum.Kanisius. Yogyakarta. 2001. Hal 16
Cholik F, A. G. Jagatraya, Poernomo, A. Jauzi. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa, Masyarakat Perikanan Nusantara dan Taman Akuarium Air Tawar Taman Mini Indonesia Indah. Jakarta.Hal 154.
Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi. 2006. Profil Pengembangan Kawasan Budidaya Patin Ekspor di Provinsi Jambi. Jambi. Hal 6-7.
Direktorat Jendral Perikanan. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Macan di Keramba Jaring Apung. Departemen Kelautan Dan Perikanan Balai Budidaya Laut Lampung. Hal 10.
Djarijah, A. S. 2001. Budidaya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta. Hal 23
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.Hal 56-60
Effendi, MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. Hal 115
Hardjamulia, A. 2000. Teknologi Pembenihan Ikan Patin (Pangasius spp.). Makalah pada temu aplikasi paket teknologi pertanian IPPTP. Banjarbaru, tanggal 28-29 februari. Hal 6
Jangkaru, Z. 1993. Pengembangan Perikanan Kolam di Wilayah Beriklim Basah Tanpa Irigasi. Disampaikan pada Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta, 25-27 Agustus 1993. Hal 70
Jangkaru, Z.1995. Pembesaran Ikan Air Tawar di berbagai lingkungan Pemeliharaan. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 57-69
Khairuman dan D. Sudenda. 2002. Budidaya Ikan Patin Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Hal 5 dan 58
Kordi K, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Hal 26, 88 dan 124
Lesmana. 2001. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 28 
Lubis, E. 2006. Teknik Pembenihan dan Analisa Finansial Ikan Patin Siam (Pangasius Hypophthalmus) di BBAT Jambi. Karya Ilmiah Praktek Akhir Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. Hal  58
Nasution. Z, Dharyati. E dan Rupawan. 1997. Adopsi Teknologi Budidaya Ikan Patin Pada Masyarakat Tani Di Desa Mariana-Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian dan Perikanan Volume III No. 2 Balai Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Hal 37
Purnamawati. J. 2002. Perananan Kualitas Air terhadap keberhasilan budidaya ikan di kolam. Warta penelitian perikanan Indonesia. Hal 14
Purnomo.K, Kartamihardja E.S, Koeshendradjana S.2003. Pertumbuhan, Mortalitas, dan Kebiasaaan Makan Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) Introduksi Di Waduk Wonogiri.  Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 9 No. 3. Balai Riset Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Hal 17
Rangkuti, F. 2001. Buissness Plan Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 59-65
Rochdianto. 2002. Budidaya Ikan di Jaring Terapung. Swadaya. Jakarta. Hal 46
Schimittou H.R, M.C Cremer dan Jiang Zhang.2004. Beberapa Prinsip dan Praktek Budidaya Ikan Pada Kepadatan Tinggi Dalam Keramba Volume Rendah. American Soybean Association. Hal 17
Slembrouck J, Oman Komarudin, Maskur dan Marc Legendre. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangasius Djambal. Karya Pratama. Jakarta. Hal 14.
Suparman, M. 2006. Studi Tentang Usaha Pembesaran Udang Galah (Macrobium roseenbergi) Pada Pembudidaya Udang Galah di Minggir Sleman Yogyakarta Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.Hal 35
Susanto, H dan K, Amri. 2002. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 6 dan 37
Soeharto, I. 1997. Manajemen Proyek Dari Konseptual sampai Operasional. Erlangga. Jakarta.Hal 433-435
Umar, H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 197-20


Firman Pra Setia Nugraha,S.St.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Banyuwangi